tirto.id - Kiper Swiss Yann Sommer tidak menunjukkan gerak-gerik bakal menebak arah bola. Ia menunggu sampai Jorginho melepaskan tendangan dari titik putih. Betul saja, bola yang melaju pelan berhasil diamankan dengan baik. Laga kualifikasi Piala Dunia Qatar 2022 antara Swiss kontra Italia pada 5 September 2021 berakhir tanpa gol.
Ini kali kedua penalti Jorginho kala berseragam Italia ditepis dalam dua bulan terakhir. Para kiper sepertinya sudah tahu kiat untuk menepis penalti dari algojo utama Italia sekaligus UEFA Men's Player of the Year 2020-2021 itu.
Dalam empat pertandingan terakhir, Italia tidak pernah menang dalam waktu normal. Pada semifinal dan final Euro 2020 lalu, mereka harus meladeni Spanyol dan Inggris hingga babak adu penalti. Sementara pada pertandingan pertama setelah Euro, yakni saat menghadapi Bulgaria, juara Eropa kembali bermain imbang 1-1. Gli Azzurri terakhir kali memenangi pertandingan dalam 90 menit kala mengalahkan Belgia 2-1 pada 8 besar Euro 2020.
Tim lawan sepertinya sudah tahu cara agar tidak kalah. Namun yang belum mereka ketahui dalam nyaris tiga tahun terakhir: cara mengalahkan sang juara Eropa.
Terakhir kali skuad arahan Roberto Mancini menelan kekalahan adalah kala bersua Portugal pada UEFA Nations League, 10 September 2018. Itu adalah kekalahan kedua Italia di bawah kendali Mancini sejak ia mengambil alih pekerjaan Gian Piero Ventura yang gagal membawa tim lolos ke Piala Dunia 2018.
Berkat hasil imbang kontra Bulgaria dan Swiss, Italia kini tak terkalahkan sebanyak 36 laga—melewati rekor sebelumnya yang dipegang bersama oleh tim nasional Spanyol dan Brasil dengan 35 pertandingan.
Melampaui Generasi Emas Spanyol & Brasil
Brasil menjadi timnas pertama yang berhasil mencapai 35 laga tak terkalahkan pada 1993 hingga 1996. Dalam tiga tahun itu, Seleção di bawah Carlos Alberto Parreira menjuarai Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Saat itu, di babak final, mereka menumbangkan Italia dalam drama adu penalti dengan skor 3-2.
Mário Zagallo yang menggantikan Parreira berhasil melanjutkan tren positif tim yang diperkuat nama-nama beken seperti Dunga, Bebeto, dan Romário hingga dua tahun berikutnya. Rekor gemilang Brasil itu baru terhenti ketika dikalahkan Meksiko 2-0 dalam final Gold Cup 1996—turnamen antarnegara Amerika Utara dan Tengah, di mana Brasil menjadi tim tamu.
Sementara Spanyol di bawah Luis Aragonés, yang kemudian dilanjutkan Vicente Del Bosque, menyamai pencapaian Brasil tersebut pada kurun 2007-2009. Dalam 35 laga tak terkalahkan itu, Iker Casillas cs. menjuarai Euro 2008 di Austria-Swiss.
La Furia Roja gagal melewati rekor Brasil ketika secara mengejutkan ditumbangkan AS 0-2 pada semifinal Piala Konfederasi 2009. Namun yang terjadi usai kekalahan itu adalah pencapaian maha sulit untuk timnas mana pun: tiki-taka ala Spanyol mendominasi persepakbolaan dunia kala berturut-turut memenangi Piala Dunia 2010 dan Euro 2012.
Italia kini telah melampaui generasi emas Brasil dan Spanyol itu. Yang menjadi pemisah antara Gli Azzurri saat ini dengan kedua rival tersebut adalah gelar Piala Dunia. Kemenangan di Qatar pada 2022 kelak tentu membuat skuad Mancini ini kian layak disematkan sebutan Generasi Emas Italia.
Namun, akibat dua hasil imbang pasca-Euro 2020, Italia sebaiknya memikirkan cara untuk lolos saja terlebih dulu.
Salah Satu Italia yang Terbaik
Kapten Giorgio Chiellini kembali ke markas Gli Azzurri dan mendapati foto dia dan rekan-rekannya kala menjuarai Euro 2020 bersanding dengan foto-foto timnas Italia periode lampau yang meraih juara Eropa dan dunia, dari mulai timnas di bawah arahan Marcello Lippi yang menaklukkan dunia 15 tahun silam hingga generasi emas lain yang diperkuat salah satu bek terbaik sepanjang masa, Gaetano Scirea, merebut Piala Dunia ketiga pada 1982.
Untuk urusan "tak terkalahkan", saingan Italia-nya Mancini adalah Italia arahan Vittorio Pozzo yang tak terkalahkan dalam 30 pertandingan pada 1935 sampai 1939. Mancini menyadari perbandingan itu. "Senang rasanya bisa menyamai pencapaian legenda seperti Pozzo. Tapi dia memiliki trofi-trofi yang lebih penting daripada 30 pertandingan," katanya.
Dalam unbeaten run saat itu, Italia secara luar biasa meraih emas pada Olimpiade 1936 Jerman yang diikuti dengan kemenangan pada Piala Dunia 1938 di Prancis. Dengan Piala Dunia 1934 yang sebelumnya sudah digenggam, Pozzo menjadi satu-satunya manajer yang pernah memenangi dua trofi Piala Dunia hingga saat ini.
Selain itu, rekor tak terkalahkan timnas asuhannya bertahan untuk waktu yang sangat lama. Argentina baru memecahkannya pada 1993 (31 pertandingan) dan Italia sendiri baru mempertajam rekor mereka pada Euro 2020 lalu.
Rekor tak terkalahkan skuad Mancini sempat diragukan banyak pihak lantaran sebelum fase knockout Euro 2020 lalu mereka belumlah bertemu tim-tim besar. Tidak ada lawan seperti rival Mediterania mereka Kroasia, tak ada pula tim besar Eropa lain (selain Belanda) yang harus dihadapi.
Anggapan itu terbukti keliru ketika Gli Azzurri menjungkalkan Belgia, Spanyol, dan Inggris berturut-turut pada kompetisi tertinggi Eropa.
Tiga tahun lalu, Mancini datang untuk menukangi timnas Italia dengan membawa ide segar. Ia mengajak para pemain yang pernah bermain bersama dia di Sampdoria sebagai asisten, menyertakan tigaoriundike dalam skuad, dan tidak melulu memainkan pemain dari klub-klub di Milan, Roma, dan Turin.
Chiellini dkk. membawa pulang Piala Eropa dengan memainkan sepak bola atraktif, jauh dari citra abadi Italia yang lamban dan doyan bertahan. Dalam 36 laga itu, Italia mencetak 88 gol dan hanya kemasukan 12 gol. Sebanyak 29 laga mereka menangkan (termasuk dua adu penalti), tujuh di antaranya berakhir imbang.
Italia gaya baru ini mungkin bakal terus memperpanjang rekor tak terkalahkan mereka, termasuk saat menghadapi Lithuania nanti malam. Melampaui lebih jauh Brasil dan Spanyol sekaligus menghindari kejaran Aljazair, timnas lain yang saat ini juga sedang menjalani unbeaten run (28 pertandingan).
Yang diperlukan Mancini adalah menjaga semangat dan energi para pemain. Kekalahan tentu bakal sangat dihindari mengingat posisi mereka di grup saat ini hanya unggul empat poin atas Swiss yang masih menyimpan dua pertandingan.
Namun satu-dua kekalahan sesungguhnya tidak apa selama itu malah membuat mereka tampil lebih beringas, mengejar target-target berikutnya, atau bahkan mendominasi dunia seperti yang pernah dilakukan Spanyol. Sebab untuk pertama kalinya, sejak 2006, Italia tampak mampu melakukan itu.
Editor: Rio Apinino