tirto.id - Menjelang akhir abad ke-18, rakyat di sejumlah kerajaan yang terletak di Semenanjung Italia mulai merasakan hidup yang tidak semestinya. Raja berlaku sewenang-wenang. Keputusan politik dan ekonomi yang dibuatnya tidak lagi menguntungkan rakyat. Alhasil, mulai timbul perlawanan terhadap raja untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik. Gerakan ini semakin masif setelah kehadiran Prancis di bawah kuasa Napoleon Bonaparte yang mengambil alih semenanjung Italia pada tahun 1805.
Kehadiran Napoleon tidak hanya berdampak pada perubahan peta politik, tapi juga berpengaruh terhadap lahirnya nasionalisme. Napoleon memperkenalkan pandangan-pandangan revolusioner khas Revolusi Prancis: Liberte, Egalite, & Fraternite (kebebasan, keadilan, dan persaudaraan), yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat dan sistem pemerintah. Perkenalan dengan pandangan baru inilah yang membuat pemikiran rakyat semakin terbuka.
Memasuki tahun 1815, rezim Napoleon runtuh dan digantikan oleh kerajaan-kerajaan yang dibentuk berdasarkan Konvensi Wina. Mereka antara lain Kerajaan Piedmont-Sardinia, Kadipaten Agung Tuscany, Kadipaten Parma, Negara Kepausan, dan Kerajaan Dua Sisilia. Terbentuknya kerajaan-kerajaan tersebut menjadikan Italia tersegregasi kembali dan memunculkan masalah pelik.
Menurut Sejarawan Irlandia, Lucy Riall, dalam The Italian Risorgimento: State, Society, and National Unification (1994), kemunculan kembali kerajaan-kerajaan itu membuat politik absolutisme kian terasa. Rakyat kembali berhadapan dengan rezim konservatif. Di sisi lain, pada saat yang bersamaan muncul suatu gerakan yang ingin menyatukan kerajaan-kerajaan itu ke dalam konsep kerajaan tunggal.
Kemunculan ide tersebut tidak lepas dari benih nasionalisme yang sempat ditebarkan Prancis. Hal ini membuat perjuangan rakyat kian masif. Salah satu tokoh pergerakan ini adalah Giuseppe Garibaldi, kelahiran Nice 4 Juli 1807.
Ketika berusia 25 tahun, Garibaldi menghadapi kenyataan tanah kelahirannya tengah berada dalam kondisi memprihatinkan. Untuk dapat melakukan perjuangan yang lebih pasti, pada tahun 1830 ia bergabung dengan organisasi Italia Muda (Young Italy) besutan Giuseppe Mazzini, aktivis yang sangat lantang mengkritik raja dan ingin melakukan unifikasi Italia. Keikutsertaannya dengan organisasi tersebut menjadi titik balik dalam kehidupan Garibaldi. Pertemuan dan diskusi yang dilakukan bersama Mazzini dan kader lainnya membuat Garibaldi mendapatkan banyak pengetahuan baru yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya.
“Dari Mazzini [dan juga organisasi Italia Muda], Garibaldi mendapatkan ide-ide baru tentang persatuan dan republikanisme; esensi politik dan sosial yang berguna untuk mencapai kebebasan dan keadilan; gagasan persaudaraan antara masyarakat dan pekerja; dan ide tentang hubungan antara lembaga dan sosial,” tulis Giuliana Limiti dalam “Garibaldi and Mazzini: Thought and Action” (2008) yang terbit dalam Journal of Modern Italian Studies.
Beranjak dari sinilah ia semakin progresif untuk memimpikan kehidupan yang lebih baik, khususnya penyatuan Italia atau yang kelak lebih dikenal sebagai gerakan Risorgimento. Empat tahun berselang sejak ia bergabung dengan Italia Muda, Garibaldi bersama Mazzini dan simpatisan Italia Muda lainnya terlibat dalam pemberontakan Giovene Italia yang bertujuan untuk unifikasi Italia. Namun, pemberontakan ini gagal dan para simpatisan termasuk Garibaldi diburu pemerintah dan divonis mati. Garibaldi berhasil kabur dan berlayar selama berbulan-bulan hingga berlabuh di Amerika Latin.
Garibaldi tiba di Rio de Janerio, Brasil, pada November 1835. Ia disambut oleh hiruk kekacauan akibat revolusi menentang pemerintah. Di sana ia bertemu dengan beberapa imigran asal Italia, salah satunya Giovanni Battista Cuneo, pendiri Italia Muda cabang Rio de Janeiro. Pertemuan dengan Cuneo menjadi pemantik atas langkah progresifnya di luar Italia.
“Tugas orang buangan adalah memimpikan dan mengabdikan dirinya kepada tanah air meskipun jauh dari dirinya,” ujar Cuneo kepada Garibaldi.
Pesan ini ditafsirkan oleh Garibaldi sebagai dorongan untuk terus berjuang sekalipun tidak terkait dengan kepentingan Italia. Tetapi dilakukan atas dasar cinta tanah air dan untuk menjunjung tinggi kehormatan Italia di negeri asing. Berawal dari sinilah ia melakukan serangkaian aksi revolusioner.
Perjalanan Panjang Penyatuan Italia
Pada 1836 ia terlibat dalam Perang Ragamuffin untuk mendirikan Republik Rigrandense yang ingin melepaskan diri dari Brasil. Garibaldi memegang jabatan sebagai komandan hingga tahun 1840. Ia bersama pasukannya melakukan aksi militer dan sukses mengalahkan pasukan Brasil.
Setelah itu, ia pindah ke Montevidio, Uruguay. Dan lagi-lagi disambut oleh serangkaian aksi revolusioner yang menentang pemerintahan. Kali ini yang hendak dilawan adalah Presiden Uruguay Manuel Oribe Blancos. Ia bersama simpatisannya yang juga orang Italia—kelak dikenal sebagai tim Redshirts—turut bergabung dalam Perang Sipil Uruguay dan memenangi dua pertempuran besar pada 1846. Aksi heroik dan kemenangannya di Uruguay terdengar ke seantero negeri bahkan hingga ke tanah kelahirannya. Namanya semakin terkenal.
Beberapa tahun setelah peperangan di Uruguay, Garibaldi mendapatkan kabar penting perihal perubahan kontestasi perpolitikan di Eropa. Pertama, ia mendapatkan kabar bahwa Paus Pius IX menghendaki reformasi Kepausan yang membuat Negara Kepausan menjadi sedikit liberal dan meninggalkan ciri konservatifnya. Garibaldi memandang tindakan ini sebagai langkah awal untuk unifikasi Italia. Dalam suratnya kepada Paus Pius IX pada 12 Oktober 1847, ia menyampaikan rasa syukurnya atas kebijakan reformasi yang dipandang sebagai langkah awal menuju unifikasi Italia:
“Jika tangan-tangan ini, yang selalu digunakan untuk bertarung, dapat diterima oleh Yang Mulia, dengan penuh rasa syukur kami juga akan membaktikan diri dalam melayani Gereja dan Tanah Air. Sungguh membahagiakan jika kami dapat turut mengucurkan darah demi penebusan Paus IX.”
Kedua, ia mendapat kabar bahwa pada 1848 di Eropa terjadi aksi revolusioner secara massal di seluruh wilayah. Revolusi tersebut bertujuan untuk menciptakan negara-bangsa yang merdeka, bersifat demokratis dan meruntuhkan sistem monarki absolut yang cenderung merugikan rakyat.
Kedua peristiwa ini membuat Garibaldi pulang kampung. Ia bersama sisa pasukan Redshirts-nya berlayar ke Semenanjung Italia dengan harapan dapat berjuang dalam serangkaian aksi revolusioner. Tujuannya untuk meruntuhkan kerajaan-kerajaan lalu menyatukannya sesuai tujuan awal.
Menurut Lucy Riall dalam penelitian yang berjudul “Travel, Migration, Exile: Garibaldi’s Global Fame” (2014), kepulangan Garibaldi didasari oleh rasa percaya diri yang tinggi bahwa ia juga akan mendulang kemenangan. Hal ini tentu disandarkan pada petualangannya di Amerika Latin yang menjadi pengalaman sangat berharga sekaligus menjadi modal utamanya dalam melakukan aksi-aksi revolusioner.
"Amerika Selatan adalah tempat pelatihan militer yang sangat baik bagi Garibaldi. Di Brazil, dia belajar seni perang gerilya dan mengendarai kuda; di Uruguay, dia mengembangkan bakat luar biasa sebagai pemimpin angkatan laut dan militer. Selain itu, dia juga membangun relasi yang cukup bagus antar-para pejuang. Jadi, ketika dia kembali ke Italia pada tahun 1848, dia juga membawa serta taktik seorang pejuang gerilya dan menjadi pegangan atas perjuangannya di Italia,” imbuh Lucy Riall.
Garibaldi memulai peperangan dengan pasukan Prancis di Roma dan yang utama melawan Austria. Rangkaian perang yang kelak dinamakan Perang Kemerdekaan Pertama ini membuat Garibaldi mendapat citra positif sebagai pemimpin revolusioner. Pengalaman pertempurannya di masa silam menjadi harapan bahwa kelak ia akan mendapat kemenangan yang sama di Italia.
Ia memimpin ribuan pasukan dan menyerang serta menghancurkan basis-basis pertahanan lawan selama berminggu-minggu. Namun, kali ini nasib Garibaldi tidak semujur ketika ia memimpin revolusi di Amerika Latin. Ia mengalami kekalahan dan membuatnya mengasingkan diri kembali.
Garibaldi berlayar menuju New York, Amerika Serikat. Masih menurut Lucy Riall, selama hampir 10 tahun di New York, Garibaldi menjalin hubungan dengan imigran-imigran lain dari seluruh dunia. Tujuannya adalah untuk memahami dan mengubah gerakan Risorgimento menjadi gerakan transnasional yang saling terhubung dengan dunia yang sedang berkembang.
Pelariannya di New York berakhir ketika ia mendapatkan kabar bahwa Kerajaan Sardinia di Italia Utara telah mendominasi kekuatan. Artinya, situasi di Italia Utara terkendali. Fakta ini yang membuat Garibaldi akhirnya kembali ke Italia pada tahun 1854. Ia kemudian memimpin gerakan penaklukan Kerajaan Sisilia di selatan yang kelak dikenal sebagai Expedition of The Thousanddan bekerja untuk Raja Sardinia, Victor Emmanuel II.
Sebagai langkah permulaan, ia menyerang Palermo dengan mengerahkan 1.000 orang melawan pasukan Sisilia. Pertempuran ini berujung pada kemenangan Garibaldi dan membuat namanya melambung. Selanjutnya ia beraksi kembali dalam Pertempuran Milazzo dan berlanjut di kota-kota lainnya hingga berhasil merebut Napoli. Pada 1860, ia melanjutkan peperangan terbesarnya dalam hidupnya di Sungai Volturno.
Encyclopaedia Brittanica mencatat, sekitar 30.000 orang dikerahkan untuk melawan pasukan Sisilia yang berjumlah sekitar 20.000 orang. Setelah beberapa jam bertempur, Garibaldi akhirnya memenangkan peperangan dan secara tidak langsung kerajaan Sisilia telah jatuh ke tangannya sekaligus Kerajaan Sardinia.
Sebagai tindak lanjut, pada tanggal 26 Oktober Garibaldi bertemu dengan Raja Victor Emmanuel II dan menyerahkan kekuasannya di Sardinia ke tangan Sang Raja. Lalu pada 17 Maret 1861, Kerajaan Italia secara resmi diproklamasikan yang menjadi puncak dari Risorgimento.
Garibaldi mengembuskan napas terakhirnya pada 2 Juni 1882, tepat hari ini 139 tahun lalu. Namanya selalu dikenang dan tercatat sebagai pahlawan revolusioner di dua benua, Amerika Latin dan Eropa, hingga dijuluki sebagai “Pahlawan Dua Dunia”.
Editor: Irfan Teguh Pribadi