tirto.id - "Tim nasional Italia haruslah orang-orang [yang lahir di] Italia," ujar Roberto Mancini. "Mereka yang lahir di luar tidak pantas mendapatkannya, bahkan jika mereka keturunan Italia."
Komentar Mancini enam tahun silam tersebut, saat melatih Internazionale, ditujukan untuk pemanggilan Éder dan Franco Vázquez oleh pelatih timnas saat itu, Antonio Conte. Eder lahir di Lauro Müller, Brasil, sementara Vázquez lahir di Tanti, Argentina. Kedua pemain ini tergolong oriundi.
Oriundo (jamak: oriundi) merujuk pada imigran yang memiliki darah keturunan serta memilih menjadi warga negara Italia. Istilah yang juga kerap digunakan di Spanyol ini lazim digunakan untuk para pesepak bola dan atlet lain yang lahir di Amerika Latin, yang nenek moyangnya keluar dari Italia karena berbagai alasan.
Orang-orang keturunan ini telah melayani timnas berjuluk Gli Azzurri sejak seabad silam, dan dengan prestasi yang mentereng, namun toh penolakan terhadap mereka, seperti yang diwaliki oleh Mancini, tetap muncul.
Diaspora Italia
Pada akhir abad ke-19, Italia yang baru melewati proses panjang unifikasi (Risorgimento) menghadapi berbagai masalah seperti tingkat pengangguran tinggi dan overpopulasi. Demi masa depan yang lebih baik, sekitar 1880 hingga awal 1940-an atau ketika fasisme bangkit, sekira 15-20 juta orang Italia pindah ke luar negeri. Fenomena ini dikenal dengan sebutan 'Diaspora Italia'.
Sebagian besar dari mereka menumpang kapal, menyeberangi Atlantik, dan tiba di Benua Amerika. Ibu kota Argentina, Buenos Aires, menjadi salah satu tujuan utama para pengadu nasib tersebut.
Statistik dan riset demografis memperkirakan saat ini terdapat 60-80 juta oriundi di dunia. Sekitar 27 juta di antaranya berada di Brasil, dan hampir 20 juta menetap di Argentina (kira-kira 47% populasi negara tersebut).
Namun oriundo pertama yang bermain untuk timnas Italia bukan berasal dari kedua negara tersebut. Ermanno Aebi-lah yang tercatat sebagai oriundo pertama. Pemain berdarah Italia-Swiss tersebut disertakan dalam laga kontra Perancis pada 1920, 101 tahun yang lalu. Pada pertandingan itu dia mencetak hattrick.
Sedangkan orang pertama keturunan Italia yang benar-benar lahir di luar negara tersebut adalah Julio Libonatti, lahir di Rosario, Argentina pada 5 Juli 1901. Striker ini sempat membela Argentina sebelum memperkuat Italia pada 1926. Libonatti juga tercatat sebagai pemain pertama yang ditransfer melintasi Atlantik, ketika pindah dari klub Argentina, Newell's Old Boys, menuju Torino, Italia.
Masa depan yang lebih baik di benua seberang ternyata tak berlangsung lama. Ketidakstabilan akibat kudeta di Argentina pada 1930 mendorong orang-orang untuk mencari tanah impian yang lain. Bagi para pesepak bola, pilihannya adalah 'kembali' ke Italia yang menawarkan kultur familier, pula gaji yang lebih layak.
Pada periode yang sama di semenanjung Italia, Benito Mussolini menemukan cara baru untuk menegaskan supremasi fasisme: sepak bola. Dia tahu betul timnas yang hebat bakal mampu menghadirkan rasa persatuan yang kuat sekaligus membuat nama Italia kian masyhur di kancah internasional. Fasis berjuluk Il Duce (The Leader) lantas show-off: menyelenggarakan Piala Dunia 1934 di delapan kota sekalipun belum pernah tampil di turnamen besar tersebut.
Lima oriundi turut serta di timnas Italia. Trio Luis Felipe Monti, Raimundo Orsi and Enrique Guaita, yang sebelumnya memperkuat timnas Argentina, jadi tulang punggung timnas. Luis Monti bahkan selamanya dikenang sebagai satu-satunya pemain yang membela dua negara berbeda di final Piala Dunia (sebelumnya ia memperkuat Argentina di final Piala Dunia 1930 melawan Uruguay).
'Tangan' Mussolini disebut memengaruhi hasil-hasil pertandingan (baca: menyuap wasit di pertandingan final melawan Cekoslowakia) yang tujuan akhirnya, tentu saja: meraih titel juara Piala Dunia. Untuk urusan yang lebih kasatmata: penahan serbuan lawan dan mencetak gol-gol penting Italia adalah kaki-kaki para oriundi.
Kejadian ini tentu ironi sekaligus 'bahan' untuk mengolok-olok dogma fasisme perihal 'darah murni'.
Oriundi Modern
Dekade 1960an, oriundi seperti Humberto Dionisio Maschio, ikon Juventus Enrique Omar Sivori, dan Ángelo Benedicto Miguel Sormani turut memperkuat Gli Azzurri dalam periode yang singkat. Seperti trio oriundi di Piala Dunia 1934, dua nama pertama tercatat telah memperkuat timnas Argentina.
Pada 1964, FIFA melarang pemain untuk mewakili lebih dari satu negara sepanjang karier. Alhasil, usai penampilan terakhir Sormani pada 1963, butuh waktu empat dekade untuk melihat Italia kembali diperkuat seorang oriundo.
Adalah Mauro Camoranesi, gelandang kelahiran Tandil, Argentina yang dipanggil pelatih Giovanni Trapattoni ke timnas untuk laga persahabatan di 2003 melawan Portugal. Kiprah legenda Juventus di timnas pilihannya berlanjut dengan di Euro 2004, lantas menjadi bagian dari skuad inti Marcello Lippi saat Italia meraih gelar keempat juara dunia pada Piala Dunia 2006 di Jerman. Hingga kini, Camoranesi tercatat sebagai oriundo dengan caps terbanyak di timnas Italia dengan 55 penampilan.
Camoranesi seolah membuka gerbang baru oriundi lain. Dua di antaranya pemain kelahiran Brasil, Thiago Motta dan Amauri. Tradisi ini terus berlanjut tatkala Antonio Conte memanggil Éder dan Franco Vázquez. Eder menjadi solusi atas terbatasnya opsi Conte akan pemain depan pada Euro 2016, sementara Vázquez akhirnya berpindah membela negara asalnya, Argentina (yang dimungkinkan lantaran ia hanya pernah membela Italia dalam pertandingan persahabatan).
Sebelum penolakan Mancini seperti di pembuka tulisan ini, mantan pelatih Milan dan Italia Cesare Maldini juga sempat mengkritik kehadiran para oriundi di timnas, dan ngotot menyebut pemain seperti Thiago Motta sebagai 'The Brazilian'. Mantan pelatih Milan dan Italia lain, Arrigo Sacchi, berkata persis selayaknya hal yang bakal diucapkan seorang rasis pada 2015 lalu: "Saya bukannya rasis, tapi terlalu banyak pemain berkulit hitam di tim muda Italia."
Ditarik ke belakang, Gianni Brera, penulis sepak bola Italia yang tewas pada 1992, mengecap oriundi sebagai "pemalas" usai kegagalan di Piala Dunia 1962. Di kalangan politikus, sebelas-dua belas. Pemimpin partai sayap kanan Lega Nord Matteo Salvini juga menjadikan kegagalan Italia menembus Piala Dunia 2018 sebagai pembenaran untuk pandangannya yang nasionalis sempit dan anti imigran. Penolakan Salvini bahkan tidak terbatas soal para oriundi. Mario Balotelli, pemain berdarah Ghana yang lahir di Italia, pun tak luput dari sasarannya.
Rasisme di Italia memang bukan persoalan baru—masalah yang juga menerpa para pemain keturunan dan imigran di Perancis. Suporter yang mencerca para pemain berkulit hitam yang tampil di Serie A berlangsung dari waktu ke waktu.
Dalam tulisannya di Firstpost, Aakriti Mehrotra melontarkan pertanyaan menarik: jika Lionel Messi yang juga memiliki garis keturunan Italia mengutarakan keinginannya membela timnas Italia, respons macam apa yang akan diambil para politikus sayap kanan? Oriundo yang satu ini bukanlah Motta atau Éder. Dia adalah Messi, seorang pemain yang berasal dari dunia lain. Apakah penolakannya lebih gigih, atau justru menyambut dengan pelukan hangat?
Trio Brasil di Euro 2020
Roberto Mancini menjabat pelatih timnas Italia pada 2018. Ia melanjutkan sekaligus memperbaiki kinerja Gian Piero Ventura yang gagal membawa timnas lolos ke Piala Dunia di tahun tersebut. Di bawah pengelolaannya, tiga oriundi kelahiran Brasil disertakan untuk Euro 2020: Jorginho, Emerson Palmieri, dan Rafael Tolói.
Kendati berstatus sebagai pelapis Ben Chilwell, Emerson tetaplah bagian dari Chelsea yang berhasil menjuarai Liga Champions 2020/21. Ia menyisihkan Luca Pellegrini dan Cristiano Biraghi untuk menempati pos bek kiri bersama Leonardo Spinazzola.
Di pos bek tengah, sekilas pemanggilan Rafael Tolói serupa kejutan mengingat Italia terkenal sebagai pencetak bek-bek tengah terbaik dunia. Pemain serba guna yang bisa diandalkan jelas sangat dibutuhkan demi melengkapi komposisi 26 pemain dalam kompetisi sepadat Euro, dan Tolói memenuhi persyaratan itu. Kapten Atalanta berusia 30 tahun itu mampu bermain dalam format dua atau tiga bek tengah, bahkan mampu mengemban tugas sebagai bek kanan seperti saat Italia memenangi laga terakhir Grup A Euro 2020 melawan Wales.
Sebelum dipanggil kembali oleh Mancini, Jorginho telah memperkuat timnas Italia sejak 2016. Perannya sebagai deep-lying playmaker seperti Andrea Pirlo menjadi kunci Italia dalam mengatur tempo dan membangun serangan. Perannya sentral. Ini tampak pada pertandingan terakhir di fase grup, ketika Mancini memberikan banyak kesempatan bagi para pemain lapis kedua tapi Jorginho tak tergantikan.
Dengan kemenangan atas Wales di fase terakhir Grup A, Italia menyamai rekor pribadi yang telah bertahan sejak 1939, yakni melewati 30 laga tanpa kekalahan. Menjuarai Euro 2020—yang berarti melewati empat laga lagi tanpa kekalahan—akan mendekatkan mereka pada rekor tak terkalahkan timnas sepanjang masa pada angka 35 pertandingan, yang dipegang bersama oleh generasi emas Spanyol (2007-2009) dan Brasil (1993-1996).
Jika Mancini mencatat rekor untuk timnas Italia yang diperkuat Jorginho, Emerson, dan Tolói, barangkali tidak butuh Messi untuk menutup rapat-rapat mulut para politikus sayap kanan dan tokoh-tokoh kuno sepak bola Italia.
Editor: Rio Apinino