tirto.id - Pawai yang dilakukan pendukung AS Lazio menjelang pertandingan semifinal Coppa Italia melawan AC Milan sedikit berbeda dari biasanya.
April 2019 lalu, di dekat Piazza Loreto, tempat di mana Benito Mussollini tewas digantung, mereka menyanyikan lagu-lagu fasis dan membentangkan spanduk bertuliskan: “Honour to Benito Mussollini”. Dalam sebuah video pendek yang beredar di media sosial, mereka diketahui bagian dari Irriducibili (IRR)—ultras Lazio yang dikenal sangat kanan dan militan.
Menanggapi kejadian tersebut, Walikota Milan, Giuseppe Sala, menegaskan pihaknya bakal melakukan penyelidikan seraya bersikeras bahwa Italia utara merupakan “wilayah anti-fasis”.
Di Italia, apa pun yang berhubungan dengan “penghormatan untuk fasis” dianggap tabu—juga melanggar hukum. Namun, segalanya terlihat menjadi problematis setelah dalam beberapa kesempatan kasus-kasus semacam ini dibiarkan begitu saja karena alasan “kebebasan berpendapat”.
Sepakbola dan Cita-cita Mussolini
Sepakbola punya relasi dan sejarah yang cukup rumit dengan fasisme bila kita berbicara tentang Italia. Gelaran Piala Dunia 1938 di Perancis merupakan gambaran terbaik akan kerumitan hubungan tersebut.
Italia bertemu Norwegia di pertandingan pembuka yang diselenggarakan di Marseille. Simon Martin, dalam “World Cup Stunning Moments: Mussolini’s Blackshirts’ 1938 Win” yang terbit di The Guardian (2014), mencatat bahwa timnas Italia amat kental dengan atribut fasisme ketika masuk ke lapangan.
Mereka mengenakan baju serba hitam dengan hiasan Fascio Littorio (simbol hukum dan ketertiban yang dicetuskan di era Romawi), mengumandangkan lagu “Fascism Giovinezza”, hingga memberi penghormatan dengan gestur persis seperti yang dilakukan Hitler beserta bala pasukan Nazi.
Pemandangan tersebut bikin satu stadion merasa tak nyaman. Vittorio Pozzo, pelatih Italia waktu itu, mengungkapkan intimidasi dari seluruh penonton langsung bermunculan dan membuat anak asuhannya tertekan. Segala cercaan yang muncul memiliki pesan konkrit: atribut yang berkaitan dengan fasisme harus disingkirkan jauh-jauh dari stadion. Dan ini terjadi tak hanya di laga tersebut saja, melainkan di sepanjang turnamen.
Kebencian terhadap Italia sebetulnya sudah lahir sebelum turnamen dinilai. Penyebabnya: kematian Carlo Rosselli, intelektual anti-fasis yang berpengaruh di Eropa. Ia terbunuh di daerah Normandia, pada 1937, bersama saudaranya, Nello. Kuat dugaan, Carlo dibunuh oleh utusan Mussolini. Sejak saat itu, masyarakat Perancis menganggap rezim Mussolini penuh dengan kebrutalan.
Namun begitu, tekanan yang muncul tak membuat performa anak asuh Pozzo melempem. Mereka berhasil mencapai babak final dan merebut trofi untuk kedua kalinya, setelah mengalahkan Hungaria dengan skor 4-2 di laga final. Oleh Mussolini, para pemain diganjar bonus sebanyak delapan ribu lira (setara gaji tiga bulan) serta medali emas rezim fasis. Keduanya diberikan Mussolini kala acara penyambutan di Palazzo Venezia, Roma.
Orang boleh bilang kehebatan timnas Italia di era 1930-an (dua kali berturut juala Piala Dunia) adalah karena mereka punya pemain-pemain yang berkualitas macam Giuseppe Meazza. Meski demikian, pandangan bahwa sepakbola Italia maju berkat campur tangan rezim fasis Mussolini juga tak bisa ditepikan begitu saja.
Sejak mengambil kendali negara dari Victor Emmanuel III, Mussolini berambisi menjadikan Italia berjaya seperti era Romawi Kuno. Italia, dalam mimpi Mussolini, harus dapat menguasai panggung dunia dan memperlihatkan dominasinya.
Akan tetapi, jalan ke sana tak semudah yang dibayangkan. Italia, pada masa itu, tengah kacau balau. Ekonomi kolaps akibat Perang Dunia I dan jalan menuju unifikasi terganjal keinginan banyak daerah untuk berdikari.
Di titik tersebutlah Mussolini sadar bahwa cara paling ampuh guna mengatasi sengkarut itu adalah dengan olahraga, atau bila disempitkan lagi: sepakbola—yang sedang populer di kalangan masyarakat.
Dengan sepakbola, Mussolini hendak melembagakan konsep I’italiano nuovo yang menitikberatkan bahwa masyarakat Italia harus hidup sehat, kuat, dan aktif secara fisik. Pembangunan tak akan berjalan dengan baik bila masyarakatnya sekarat. Kemajuan bangsa hanya akan jadi wacana kosong jika masyarakatnya lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur ketimbang bekerja.
Dan di saat bersamaan, Mussolini juga menegaskan: nilai kolektivitas lebih penting di atas kepentingan individu.
Sepakbola, seperti ditulis Emma Anspach, Hilah Almog, dan Taylor dalam “Mussolini’s Football” yang dipublikasikan di blog Universitas Duke (2009), dinilai cocok merepresentasikan gagasan fasisme Mussolini. Sebab olahraga itu mencerminkan visi harmoni, kedisiplinan, ketertiban, sekaligus keberanian.
Selain itu, sepakbola juga dapat mengantarkan sebuah negara ke cita-cita Mussolini selanjutnya: berjaya di tingkat dunia.
Mengukuhkan Dominasi
Hal pertama yang Mussolini lakukan adalah merestrukturisasi sepakbola dengan mengeluarkan dekrit Carta di Viareggio pada 1926, demikian tulis Simon Martin dalam “Football, Fascism and Fandom in Modern Italy” (2018).
Salah satu hasil dari Carta di Viareggio ialah terbentuknya Lega Naziale (liga nasional) bernama Serie A di bawah pengelolaan FIGC (PSSI-nya Italia) yang ditujukan untuk dua hal: membangun identitas kebangsaan serta menciptakan struktur yang lebih kuat dan kompetitif agar mampu menghasilkan tim nasional yang terbaik.
Pembentukan Serie A sekaligus mengakhiri kiprah kompetisi lokal yang tersebar di banyak daerah, yang selama ini menopang eksistensi maupun popularitas sepakbola Italia.
Agar kompetisi berjalan lancar, rezim fasis Mussolini membangun banyak stadion. Di Turin, stadion bernama “Mussolini” didirikan. Di Bologna, ada stadion “Littoriale”. Sementara di Bari dan Florence terdapat stadion “della Vittoria” dan “Berta”. Tak ketinggalan stadion “Edda Ciano Mussolini” dan “Citta dello Sport” di Livorno serta Roma.
Nama-nama tersebut diambil untuk mencitrakan bagaimana rezim fasis bekerja untuk mengokohkan kuasa Mussolini.
Tak sekadar infrastruktur, rezim Mussolini juga ikut intervensi soal aturan. Misalnya, setiap kesebelasan hanya boleh menyertakan dua pemain asing. Kemudian, tiap klub yang punya identitas asing—seperti Inggris—harus segera diganti (Genoa menjadi Genova Italia dan Internazionale menjadi Ambrosiana). Ketika negara-negara Eropa menggunakan “football” untuk menyebut sepakbola, Italia memakai “calcio”.
Setelah pengelolaan di tingkat lokal dirasa cukup, Mussolini beranjak ke spektrum yang lebih luas: internasional. Pada 1934, Mussolini ingin Italia jadi tuan rumah Piala Dunia. Greg Lea, dalam “The Relationship Between Mussolini and Calcio” yang dimuat di These Football Times (2015), menyebut bahwa menjadi tuan rumah Piala Dunia adalah kesempatan besar bagi Mussolini untuk memamerkan prestasi bangsanya kepada dunia.
Dalam gagasan Mussolini, bila Italia mampu menang Piala Dunia, maka masyarakat akan bersatu di bawah panji bendera Italia. Juara Piala Dunia diprediksi dapat membangkitkan semangat nasionalisme di antara orang-orang Italia.
Keinginan Mussolini pun terwujud—Italia berhasil juara dunia.
Akan tetapi, kemenangan tim Italia, yang diisi pemain-pemain terbaik di eranya seperti Meazza, Silvio Piola, dan Gino Colaussi, tercoreng kabar yang tak menyenangkan: Italia juara karena Mussolini menyuap wasit di pertandingan final melawan Cekoslowakia.
Rumor yang berkembang menyatakan bahwa Mussolini mengundang makan malam wasit pertandingan final asal Swedia, Ivan Eklind. Intinya, Eklind diminta untuk memihak timnas Italia. Entah benar atau tidak kabar ini, yang jelas Italia memenangkan laga final tersebut dengan skor akhir yang tipis: 2-1.
Muak dengan persepsi publik tentang suap, Mussolini berambisi untuk kembali juara di Piala Dunia 1938 di Perancis. Ia ingin membuktikan bahwa Italia memang berkualitas.
Masih di bawah komando Vittorio Pozzo, Italia langsung berbenah. Pozzo dikenal sebagai pelatih yang sangat keras dan disiplin. Demi mewujudkan juara Piala Dunia, Pozzo, misalnya, menerapkan pemusatan latihan (ritiro) yang kental dengan gaya militer.
Di sela-sela pemusatan itu, Pozzo tak jarang mengajak anak asuhnya untuk napak tilas perjuangan tentara Italia. Seperti saat ia membawa pemain ke Hungaria guna memberi penghormatan atas tentara yang tewas di Redipuglia.
Jonathan Wilson dalam Inverting the Pyramid (2008) menulis: “Pozzo memanfaatkan sepenuhnya [pendekatan] militerisme [fasis] yang ada untuk mendominasi serta memotivasi anak asuhnya.”
Kedatangan Italia ke Perancis tak disambut dengan hangat. Dukungan Mussolini untuk Franco dalam Perang Sipil di Spanyol telah membuat marah banyak warga setempat, yang kemudian dibuktikan dengan adanya protes anti-fasis baik di luar stadion maupun di pusat kota.
Meski begitu, kritik seperti tak mengganggu penampilan timnas Italia. Berbekal kolektivitas dan taktik pragmatis, Italia kembali juara.
Warisan Fasisme: Ketegangan Ultras
Ketika fasisme Mussollini kolaps pada 1943, upaya untuk membuang pengaruh fasis dalam bidang olahraga seketika dilakukan. Sayang, upaya itu tak dapat sepenuhnya menghapus jejak fasisme dalam sepakbola.
Simon, masih dalam makalahnya, mengatakan bahwa jembatan yang menghubungkan fasisme era 1930-an dengan kiwari adalah periode kekerasan politik yang intens sekaligus ekstrem di Italia di akhir 1960-an sampai awal 1980-an. Kekerasan politik tersebut disebabkan oleh sisa-sisa perseteruan dalam Perang Sipil Italia (1943-1945), sekaligus kegagalan Partai Demokrat Kristen dalam mereformasi pemerintahan pasca-perang, sampai polarisasi politik.
Pada akhir 1960-an, gerakan protes sipil bermunculan dan turut memengaruhi berbagai lingkungan di Italia: dari universitas, pabrik, sampai stadion bola. Di stadion, aktivisme politik tersebut kemudian menjadi bahan bakar untuk lahirnya ultras.
Dalam perkembangannya, ultras mengidentifikasikan diri mereka dengan stadion, klub, dan semangat lokalitas. Mereka tak jarang membawa konflik yang muncul di tengah spektrum masyarakat ke stadion—memberikan konteks sosial-politik dalam calcio sekaligus menawarkan identitas politik kepada para pendukung yang lain.
Tiap ultras memegang ideologi politik yang bermacam rupa. Ada yang komunis (Brigate Rossonere dan Fossa dei Leoni, AC Milan), ada pula yang neo-fasis (Irriducibili, AS Lazio).
Makin ke sini, makin banyak dijumpai kelompok pendukung yang bergerak ke kanan. Penyebabnya: keunikan identitas lokal maupun gagasan Italia yang homogen ditekan oleh munculnya globalisasi. Banyaknya ultras yang fasis berbanding lurus dengan meningkatnya xenophobia maupun rasisme di sepakbola Italia.
Contoh jelas eksistensi mereka dapat disimak di ibukota Italia manakala ultras dua klub utama, AS Roma dan Lazio, sama-sama memuja Mussolini. Menyebutnya sebagai sosok terhebat dalam sepanjang sejarah Italia.
Pada 2005 silam, ketika Roma bertandang ke Livorno, yang juga dikenal sebagai basis kelompok kiri, para ultras mengibarkan bendera dengan gambar swastika serta salib Celtic (simbol neo-fasis) dan menyanyikan lagu pemujaan bertajuk “Duce, Duce”—merujuk pada Mussolini. Sikap serupa mereka ulangi tatkala menjamu Livorno di Olimpico.
Mussolini boleh saja sudah mati, tapi warisan fasisme terus abadi. Dan stadion jadi saksi bagaimana pertarungan melawan para fasis akan terus berlanjut.
Editor: Eddward S Kennedy