tirto.id - Minggu, 12 Mei, 2013. AC Milan menghadapi AS Roma dalam laga lanjutan Serie A yang digelar di San Siro. Skor berakhir 0-0, tapi yang semestinya patut diingat dari laga tersebut adalah: dua pemain Milan, Kevin Prince Boateng dan Mario Balotelli, mengalami pelecehan rasial dari ultras Roma.
Keesokan harinya, foto Balotelli menghiasi halaman muka media-media Italia. Foto tersebut begitu tegas memperlihatkan gestur perlawanan: menatap ke arah curva, dengan satu jari tepat berada di depan mulut, Balotelli menyuruh Boys Roma untuk diam.
Tak lama usai kejadian tersebut, Grant Wahl, jurnalis sepakbola senior asal Amerika, mewawancarai Balotelli ntuk majalah Sport Illustrated edisi Agustus 2013. Salah satu topik yang diangkat oleh Wahl adalah mengenai laga pembuka Serie A musim 2013-2014, di mana Milan akan tandang ke Stadion Marc'Antonio Bentegodi, markas Verona.
Sosok yang juga penulis buku berjudul Masters of Modern Soccer (2016) itu meminta pandangan Balotelli terkait laga tersebut.
“Aku harap mereka (fans Verona) tidak akan melakukan apapun,” kata Balotelli.
“Bagaimana jika mereka tetap melakukannya (pelecehan rasial)?” tanya Wahl.
“Aku akan berusaha mencetak gol dengan seluruh tenagaku, dan saat aku berhasil melakukannya, aku akan mengatakan sesuatu,” tandas Balotelli.
Meski akhirnya Rossoneri kalah 2-1 dari Verona, laga itu bisa dibilang “aman” bagi Balotelli dan perkiraan Wahl akan sikap rasis suporter Gialloblu tak terjadi. Namun, siapa sangka jika enam tahun berselang usai wawancara tersebut, di tempat yang sama nasib berbalik bagi Balotelli?
Beberapa hari lalu, Minggu 3 November 2019, Balotelli yang kini menjadi ujung tombak Brescia, dihujani olok-olok rasial oleh sekelompok fans Verona di Stadion Marc'Antonio Bentegodi. Hingga kemudian pada menit ke-55, mantan pemain Manchester City itu melawan: ia menendang keras-keras bola ke arah mereka yang kurang ajar. Pertandingan pun dihentikan sementara.
Hebatnya, meski sempat ingin meninggalkan pertandingan, Balotelli lantas berhasil mencetak gol ke gawang Verona setelah pertandingan kembali dilanjutkan. Gol itu indah, dieksekusi secara presisi dari luar kotak penalti, mengarah ke sudut kanan atas yang sulit dijangkau oleh kiper, seperti hendak menghantam balik perlakuan rasis fans Verona.
Namun, apa yang terjadi usai laga rupanya tak jauh lebih buruk dari yang dirasakan Balotelli. Ivan Juric, pelatih Verona, membantah adanya sikap rasis suporter dalam laga itu. “Aku adalah orang Kroasia dan kadang-kadang mendengar ucapan ‘gipsi sampah’ karena orang-orang Italia memang cenderung rasis, tapi tak ada rasisme hari ini,” kata Juric.
Maurizio Setti, bos besar Verona, tak mau kalah. Ia menyebut para penggemar Verona hanya melakukan “tindakan sarkas, bukan rasis.”
Temuan tim independen yang bertugas mengusut kasus Balotelli, sebagaimana laporan Nicky Bandini di Guardian, juga absurd. Disebutkan, suporter Verona yang melakukan pelecehan rasial terhadap Balotelli hanya berjumlah 15 orang. Padahal, olok-olok tersebut amat jelas terdengar.
Rasis dan Anti-Asing Secara Sadar
Sudah menjadi rahasia umum apabila Verona dikenal memiliki fans paling rasis di Italia. Hampir setiap kali klub tersebut melakoni laga kandang--baik ketika di Serie C, Serie B, maupun Serie A--berita mengenai pelecehan rasial yang dilakukan fans Verona selalu berhasil menyaingi kepopuleran kisah Romeo dan Juliet karya William Shakespeare yang membungkus kota di utara Italia itu.
Terkait hal tersebut, Tim Parks, penulis asal Inggris, punya alegori yang menarik untuk menjelaskannya dalam buku A Season With Verona (2002):
“Ragazzi gialloblu (suporter garis keras Verona) tak pernah luput melakukan nyanyian monyet setiap kali pemain lawan berkulit hitam menyentuh bola di Bentegodi. Seseorang menyebut pemain lawan karena menilai Verona tidak pernah memiliki pemain berkulit hitam. Yang lainnya mengatakan bahwa Verona punya pemain berkulit hitam. Namun dalam satu musim, pemain itu hanya bermain penuh selama 20 menit dalam sebuah laga tandang.”
Parks lantas menambahkan bahwa kebiasaan fans Verona tersebut sebetulnya ada sangkut pautnya dengan kehidupan sosial di Verona. Menurut Parks, penduduk Verona pernah punya hubungan kuat dengan kekaisaran Austro-Hungaria, mendukung penuh pemerintahan fasis, dan berafiliasi dengan kelompok separatis Lega Nord.
Dengan rekam jejak sejarah seperti itu, maka tak heran apabila orang-orang Verona anti terhadap orang-orang asing.
Sampai taraf tertentu, orang-orang Verona bahkan tak menyangkal apabila mereka membenci imigran. Mereka berpikir bahwa para imigran tersebut, terutama yang berkulit hitam, hanya akan menjadi pengacau. Mereka pun lantas punya pertanyaan seragam setiap kali orang asing ingin datang ke Verona: dia berkulit hitam atau putih?
Yang menarik, masih menurut Parks, kebiasaan buruk orang-orang Verona tersebut ternyata menjadi santapan empuk bagi daerah-daerah lain di Italia, kendati pun mereka punya tradisi bersaing satu sama lain.
Orang-orang Florentine, misalnya, punya rivalitas sengit dengan orang-orang Siena sejak jauh hari sebelum Italia menjadi negara. Lalu suporter Lazio tak pernah akur dengan orang-orang Roma. Warga Naples saling membenci dengan masyarakat Turin.
Namun, ada satu hal yang "menyatukan" mereka: media dari daerah-daerah tersebut secara kompak akan berlomba memberitakan hal buruk yang terjadi di Verona.
Parks memberi contoh saat Ignacio Marsiglia, seorang Yahudi yang tinggal di Verona, mengaku dipukuli oleh orang-orang di sana. Ironisnya, meski kejadian itu menggegerkan Italia, orang-orang Verona justru tak banyak yang tak tahu.
Kasus Marsiglia sontak menjadi berita utama di media-media Italia dengan nada yang sama: Verona adalah kota rasis dan fasis yang sudah tak punya harapan. Padahal, setelah diusut secara tuntas, Marsiglia ternyata hanya mengarang cerita karena tak ingin dipecat dari tempat kerjanya.
John Foot, ahli sejarah Italia, pernah mengatakan bahwa kebiasaan itu lantas membuat “orang-orang Italia sering kali terbunuh ketika mereka turun ke jalanan sambil membawa kabar palsu dari koran yang ia pegang”.
Sementara soal sikap daerah-daerah lain terhadap Verona tersebut, Parks menyimpulkan: “Jika Anda mempunyai tongkat untuk melukai tetangga Anda, gunakan tongkat itu. Lalu, pada masa-masa sekarang, adakah tongkat yang lebih besar daripada tuduhan fanatik dan tuduhan rasis?”
"Hantu Mussolini" dan Lelucon Fasis
Orang-orang Italia dari daerah lain bebas saja menjadikan Verona sebagai kambing hitam. Namun, saat mereka mengatakan bahwa Verona adalah kota rasis, fasis, atau anti-asing, mereka sebetulnya sedang berkaca di depan cermin. Pasalnya, saat hampir sebagian besar negara secara serius memerangi rasis, Italia tetap menganggap hal itu sebagai masalah sepele.
Pada tahun 2013 silam, dalam tulisannya di The Guardian, John Foot pernah mengutuk Italia ketika Roberto Calderoli, seorang anggota Senat, menyebut Cecile Kyenge, sosok politisi berkulit hitam di negara itu, sebagai “orangutan”. Namun, alih-alih minta maaf, Caldelori hanya mengatakan dengan enteng:“Itu bukan pelecehan rasial, hanya guyonan belaka.”
Pada 3 September 2019, Romelu Lukaku heran bukan main terhadap reaksi ultras Inter ketika ia mendapatkan pelecehan rasial dari fans Cagliari. Bukannya membela dirinya sebagai striker utama La Beneamata, ultras Inter justru “memaklumi” perlakuan fans Cagilari tersebut, sampai-sampai menulis surat terbuka untuk pemain asal Belgia tersebut.
“Kami paham bahwa bagimu (Lukaku), itu (teriakkan monyet) tampak sebagai pelecehan rasial. Namun, sebetulnya tidak demikian. Di Italia, kami menggunakan beberapa ‘cara’ untuk ‘membantu tim kami’ dan membuat lawan gugup. Itu bukan rasis, tapi hanya usaha untuk membuat kacau saja,” demikian petikan isi surat tersebut.
Kembali ke tahun 2013. Sebelum Balotelli (dan juga Boateng) mendapatkan olok-olok rasial, bek AS Roma, Juan Jesu, juga menerima perlakuan yang sama bahkan dari penggemarnya sendiri. Susy Campanale, jurnalis sepakbola Italia, lantas melemparkan pertanyaan-pertanyaan penting:
Bagaimana bisa orang-orang Italia melakukan pelecehan rasial tanpa sadar bahwa mereka melakukannya? Apakah orang-orang Italia paham betul soal rasis?
Pertanyaan-pertanyaan Campanale tersebut tentu saja hanya bisa dijawab oleh orang-orang Italia, namun Wright Thompson, jurnalis Amerika yang pernah melakukan investigasi soal budaya rasis dalam sepakbola Italia, barangkali bisa memberikan petunjuk.
Dalam tulisannya yang berjudul When The Beautiful Games Turns Ugly, Thompson mendapatkan penjelasan dari James Waltson, ahli politik dan sejarah Italia, bahwa rasisme di sana berkaitan dengan pemujaan terhadap Benito Mussolini.
Semua bermula ketika Silvio Berlusconi, mantan Perdana Menteri Italia, menggandeng partai-partai konservatif ke dalam pemerintahannya pada tahun 1991 silam. Ia merehabilitasi kaum fasis, menghidupkan kembali mereka di tengah-tengah masyarakat Italia, bahkan mengangkat Alessandra Mussolini, cucu perempuan Mussolini, ke kursi senat.
Penyebabnya: Berlusconi menilai bahwa Mussolini bukanlah sosok yang buruk. Bahwa undang-undang rasial yang ia bikin adalah sebuah kesalahan, tapi Mussolini tetaplah pemimpin terbaik Italia.
Sejak saat itu, "hantu Mussolini" pun tidak hanya dipercaya muncul di Latina, kawasan pedesaan subur yang dibangun olehnya. Dengan motor Guzzi 500 favoritnya, "hantu Mussolini" juga berkeliling di seluruh Italia, mampir dari satu tempat ke tempat lainnya, dan tak luput menjamah tribun sepakbola.
Selain itu, di sebuah kafe tempat di mana fans sepakbola Inggris pernah ditusuk oleh penggemar Roma, Thompson juga mendapati sebuah lelucon gelap yang paling tenar di Italia.
Dikisahkan tiga orang peserta berhasil menembus babak final dalam sebuah kontes pencarian ingatan terbaik di Italia. Seorang peserta kemudian mengaku bahwa ia bisa mengingat jadwal kereta di Italia, sementara peserta satunya lagi mengaku hafal semua nomor telepon di Italia. Dua-duanya memberikan penjelasan yang mampu memikat para dewan juri.
Namun, dewan juri akhirnya memutuskan untuk memilih kontestan ketiga sebagai pemenang meski ia tak banyak memberikan penjelasan. Sebab, peserta itu mengatakan, “Aku ingat bahwa aku adalah seorang fasis.”
Di Italia, lelucon itu tak pernah berhenti membuat orang-orang tertawa.
Editor: Eddward S Kennedy