Menuju konten utama

Perang terhadap Rasisme di Liga Italia Cuma Omong Kosong

Rasisme adalah lagu lama di sepakbola Italia. Janji federasi sepakbola Italia untuk memeranginya, hanya omong kosong jika tanpa tindakan tegas memutus siklusnya.

Perang terhadap Rasisme di Liga Italia Cuma Omong Kosong
Pemain Inter Milan, Romelu Lukaku, kanan, mencetak gol ketiga timnya selama pertandingan sepak bola Serie A antara Inter Milan dan Lecce di stadion San Siro, di Milan, Italia, Senin, 26 Agustus 2019. Luca Bruno/AP

tirto.id - Soal menolerir perlakuan fans, Romelu Lukaku adalah jagonya. Pemain berusia 26 tahun ini tak ambil pikir ketika barisan suporter mantan klubnya, Manchester United, menciptakan chant (nyanyian) yang menyinggung ukuran penisnya pada 2017 lalu.

Lukaku, juga tak ambil pusing ketika pandit paling sok tahu di Manchester, Gary Neville menyinyiri kelebihan berat badannya sepulang dari Piala Dunia 2018.

Tapi seorang Romelu Menama Lukaku Bilingoli—begitu nama lengkapnya—bahkan bisa hilang kesabaran saat menjadi sasaran rasisme suporter Cagliari di pertandingan pekan kedua Serie A, Minggu (1/9/2019) akhir pekan kemarin.

Pengalaman pilu itu terjadi pada menit 72, tepat ketika penggawa Inter tersebut akan mengeksekusi sebuah tendangan penalti.

"Monyet, monyet, monyet," begitu teriak suporter tuan rumah yang duduk di tribun belakang gawang.

"Sepakbola harusnya menjadi olahraga yang bisa dinikmati semua orang. Dan sudah sewajarnya kita tidak menerima diskriminasi yang bisa bikin olahraga ini terasa memalukan," tulis Lukaku lewat akun Instagramnya.

Lukaku bukan korban rasisme pertama barisan fans Cagliari. Baru pada 3 April 2019 lalu, eks pemain Juventus, Moise Kean juga menerima diskriminasi serupa.