Menuju konten utama

Indonesia Melupakan Regulasi Antipenyiksaan

Pemerintah Indonesia belum mengundangkan aturan teknis antipenyiksaan meski regulasi induknya sudah jadi UU lebih dari dua dekade.

Indonesia Melupakan Regulasi Antipenyiksaan
Ilustrasi HL Indepth Kekerasan HAM 1. tirto.id/Lugas

tirto.id - Di antara ratusan regulasi setingkat undang-undang di Indonesia, ada satu yang dilupakan. Undang-undang itu mencegah benih-benih perilaku tak manusiawi dan mengatur sanksi tegas bagi pelaku penyiksaan di Indonesia. Aturan itu adalah UU 5/1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.

Diundangkan sejak masa reformasi lebih dua dekade lalu, UU 5/1998 tidak mampu membendung penyiksaan di Indonesia oleh aparat negara. Kasus-kasus penyiksaan kerap terjadi terhadap tahanan.

Ambil contoh kasus penyiksaan menonjol dalam tiga tahun terakhir. Pada 2019 terjadi penyiksaan dan pelecehan seksual terhadap Teresta Tega Iyaba (23) oleh anggota Polres Jayawijaya MT dan anggota Polda Papua RO serta W. Setahun berikutnya, Sarpan (57) ditangkap dan ditahan selama lima hari oleh Polsek Percut Sei Tuan dalam kasus pembunuhan. Selama ditahan, Sarpan dipaksa mengakui pembunuhan yang tak pernah dilakukannya. Sebagai saksi kunci ia mengalami kekerasan di sekujur tubuh. Terbaru kasus Herman jadi tahanan Polres Balikpapan. Ditangkap dalam kondisi hidup, lalu pulang hanya nama saja. Orangnya telah mati.

Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Amiruddin Al Rahab menyebut, penyiksaan di Indonesia itu tak bisa dibendung UU 5/1998. Setidaknya perlu satu lagi regulasi untuk menguatkan aspek pencegahan penyiksaan secara masif.

“Ternyata undang-undang itu lebih banyak dilupakan ketimbang dijadikan standar untuk menangani masalah penyiksaan. Jika OPCAT diratifikasi, itu akan memberikan satu standar upaya pencegahan penyiksaan,” ucap dia dalam diskusi daring, Selasa (9/3/2021) pekan lalu.

OPCAT adalah akronim dari Optional Protocol Convention Against Torture atau Protokol Opsional Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia demi Pencegahan Penyiksaan dan Perendahan Martabat. Isinya adalah pasal-pasal pelaksanaan UU 5/1998.

Indonesia, lanjut dia, akan sejajar bersama bangsa-bangsa dunia karena telah meratifikasi ke dalam undang-undang. Hal itu menghindarkan Indonesia menjadi negara paria dalam pergaulan dunia.

“Ratifikasi menguntungkan negara karena kita akan menjadi bagian pergaulan internasional, dalam rangka mengatasi masalah penyiksaan dengan standar dan mekanisme yang juga diacu negara lain,” jelas Amir.

Mempertanyakan Kebijakan Negara

Mengubah perjanjian internasional jadi undang-undang cukup mudah di Indonesia. Tanpa masuk daftar Program Legilasi Nasional (Prolegnas), perjanjian itu bisa lewat jalur kilat untuk jadi UU.

Menurut Bivitri Susanti, pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, pemerintah sudah punya payung hukum untuk akselerasi lewat UU 12/2011 ihwal Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Masalahnya, kata dia, pemerintah punya komitmen politik atau tidak.

“Sepanjang komitmen politik sudah ada, maka tidak ada masalah (ratifikasi). Karena menurut UU, perjanjian internasional itu (termasuk) daftar kumulatif terbuka,” tutur Bivitri.

Daftar kumulatif terbuka artinya perjanjian internasional bisa langsung disahkan jadi UU bila oleh pemerintah ke DPR RI sesuai Pasal 23 ayat (1) huruf a UU 12/2011. Pemerintah sudah sering memakai cara ini. Terbaru pada tahun lalu, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto ajukan perjanjian pertahanan Indonesia-Swedia dan disetujui oleh DPR RI dalam sekali rapat untuk jadi UU.

Bivitri menambahkan, bila aturan antipenyiksaan berbentuk UU, maka publik lebih mudah menagih komitmen dari pemerintah dan DPR. Sehingga spektrum pengawasan meluas dan meminimalkan penyiksaan karena intensitas pemantauan secara berkala.

“Yang terbaik, sesungguhnya melalui undang-undang. Karena akan menyangkut institusi yang letaknya tinggi (seperti TNI dan Polri),” terang Bivitri, Selasa (9/3).

Untuk mendorong OPCAT sebagai UU, telah muncul forum lintas lembaga negara bernama Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP). Menurut Bivitri forum itu punya kelemahan tidak ada alat bantu penjabaran kebijakan serta nir instrumen kontrol eksternal.

Janji Hapus Penyiksaan

Dalam mencetak UU berisi pasal-pasal OPCAT, Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi mengatakan akan berkoordinasi kepada Menteri Hukum dan HAM. “Nanti saya laporkan kepada menteri hal-hal terkait pemerintah Indonesia meratifikasi OPCAT,” katanya.

Ia mengakui banyak peraturan selevel UU yang melarang penyiksaan, ironisnya aparat kerap kali jadi aktor penyiksaan. “Seringkali masyarakat memang tidak berdaya saat disiksa. Ini memang perlu kami sesalkan, kami berikan atensi khusus bila terus terjadi,” ujar dia.

Untuk meminimalkan penyiksaan, terutama dalam jangkauan Kemenkumham meliputi lembaga pemasyarakat di seluruh Indonesia, ia telah memperingatkan kepada sipir untuk menghindari penyiksaan sekecil mungkin. Ia menegaskan tidak satupun pejabat Indonesia membenarkan penyiksaan.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN POLISI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Zakki Amali