Menuju konten utama

Indonesia Harus Tiru Malaysia Tak Tebang Pilih Berantas Korupsi

Apa yang dilakukan di Malaysia adalah kelebihan dari sebuah lembaga negara yang bersifat independen untuk anti korupsi.

Indonesia Harus Tiru Malaysia Tak Tebang Pilih Berantas Korupsi
Menteri Pertahanan Malaysia, Datuk Seri Ismail Sabri Yakoob. ANTARA Foto/Ho-FB

tirto.id - Komisi Antikorupsi Malaysia (MACC) menetapkan mantan Perdana Menteri Malaysia, Ismail Sabri Yaakob, sebagai tersangka kasus korupsi pada Senin (3/3/2025). Ismail Sabri tersandung kasus korupsi yang melibatkan dana pemerintah senilai RM170 juta atau sekitar Rp627 miliar.

Penetapan Ismail Sabri didahului dengan penyitaan uang tunai senilai 40 juta dolar AS dan emas batangan dari tempat persembunyian yang diduga berada di Kuala Lumpur, Malaysia. Uang tunai itu terdiri dari berbagai mata uang, mulai dolar AS dan dolar Singapura, Dirham Uni Emirat Arab, dan Yen Jepang. Uang itu ditemukan dalam tiga penggerebekan di properti yang terkait dengan Ismail Sabri.

Ismail Sabri merupakan Perdana Menteri dengan masa jabatan terpendek di Malaysia, yakni dari Agustus 2021 hingga November 2022. Kasus korupsi ini menambah deretan panjang skandal yang melibatkan pejabat tinggi Malaysia. Sebelumnya dua pendahulunya, Muhyiddin Yassin dan Najib Razak, juga terlibat dalam kasus serupa dan telah didakwa serta dijatuhi hukuman.

Kasus menjerat petinggi Malaysia ini, membuka mata bahwa tidak ada yang kebal hukum, meskipun memiliki kekuasaan besar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia, dalam hal ini sudah seharusnya belajar dari negara tetangga, Malaysia, yang berhasil menangkap petinggi negara yang terlibat korupsi, tanpa memandang jabatan atau kedudukan.

Karena jika dibandingkan kondisinya dengan penegakan hukum di dalam negeri begitu kontras. Di mana sejumlah kasus yang melibatkan tokoh-tokoh besar dalam pemerintahan Indonesia tak kunjung diproses atau berhenti di tengah jalan tanpa kejelasan. Hal Ini semakin memperlihatkan adanya ketimpangan dalam penegakan hukum.

Padahal, KPK diharapkan tidak hanya menangani kasus-kasus yang bersifat kecil atau menengah. Melainkan juga mampu menangani para petinggi yang memiliki kekuasaan besar seperti menteri, elite parpol, bahkan hingga presiden.

“Jadi kalau ada pertanyaan membandingkan antara Malaysia dengan KPK, tidak bisa. Karena KPK bagi saya sudah menjadi alat kekuasaan,” ujar Peneliti Pusat Studi Anti-Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, kepada Tirto, Selasa (4/2/2025).

Menurut pria yang akrab disapa Castro itu, semua lembaga-lembaga negara saat ini terutama KPK sudah dikooptasi oleh kekuasaan. Jadi seolah-olah KPK itu hanya menjadi alat penggebuk bagi kekuasaan. Maka, wajar jika KPK mengerem atau tidak melanjutkan beberapa kasus yang menyeret petinggi negara.

“Jadi kalau sejatinya lembaga KPK dijadikan alat kekuasaan, bagaimana mungkin dia menyasar kekuasaan dan kroni-kroninya kan sangat tidak mungkin,” imbuh dia.

Dalam kasus dugaan korupsi proyek di Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan misalnya. Perkara ini sempat menarik perhatian karena melibatkan nama mantan Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, hingga Presiden Republik Indonesia ke-7, Joko Widodo (Jokowi).

KPK Tetapkan 4 Orang Tersangka Kasus DJKA

Direktur Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu (kiri), dan Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika (kanan) saat konferensi pers terkait penahanan 3 orang tersangka kasus dugaan korupsi pada Direktorat Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (28/11/2024). Tirto.id/Auliya Umayna

Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang beberapa waktu lalu, mantan Direktur Sarana Transportasi Jalan Kemenhub, Danto Restyawan, dihadirkan sebagai saksi. Di hadapan majelis hakim, Danto mengungkapkan adanya upaya untuk mengumpulkan dana guna mendukung kampanye Joko Widodo dalam Pemilihan Presiden 2019.

Danto menjelaskan bahwa pada waktu itu, Direktur Prasarana Kemenhub, Zamrides, menerima instruksi dari Menteri Perhubungan yang dijabat oleh Budi Karya Sumadi (BKS). Danto mengungkapkan bahwa, ia diminta untuk mengumpulkan dana sekitar Rp5,5 miliar yang dikhususkan untuk kepentingan pemenangan Joko Widodo (Jokowi) dalam pilpres 2019.

Meski sudah terungkap ke publik, kasus ini menguap begitu saja. KPK juga belum memeriksa BKS, juga termasuk Jokowi dalam kasus yang menyeret namanya tersebut.

Tidak hanya itu, kasus tindak pidana korupsi lain yang melibatkan mantan Ketua KPK, Firli Bahuri, juga belum menunjukkan perkembangan yang jelas.

Firli Bahuri sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo atau SYL oleh Polda Metro Jaya. Ia dijerat menggunakan Pasal 12e, Pasal 12B, serta Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 KUHP.

Namun sampai saat ini, pemeriksaan terhadap Firli masih berjalan dan belum selesai, yang berakibat pada penundaan proses penangkapannya. Terhambatnya penanganan kasus Firli Bahuri ini juga mengindikasikan adanya kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi.

Kasus dugaan korupsi lain yang menyeret nama Mantan Ketua Umum (Ketum) Partai Golongan Karya (Golkar), Airlangga Hartarto, juga masih jalan ditempat. Airlangga pernah terlibat dalam kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah Crude Palm Oil (CPO). Airlangga selaku Menko Perekonomian sempat diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi izin ekspor bahan baku minyak goreng (CPO) di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta pada pada 24 Juli 2023.

Perannya sebagai Menko Perekonomian menjadi fokus bagi penyidik dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) karena hubungannya dengan kelangkaan minyak goreng yang menyebabkan kerugian negara dan kesulitan bagi masyarakat. Kasus korupsi ekspor CPO dan turunannya terjadi pada Januari 2021 hingga Maret 2022, dan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp6,47 triliun.

Lagi-lagi kasus menyeret Airlangga tidak ada kejelasan. Kejagung menyatakan bahwa dugaan korupsi izin ekspor CPO dan turunannya, masih diselidiki oleh penyidik Kejagung hingga saat ini. Ini termasuk kemungkinan adanya penyelidikan tambahan kepada Airlangga Hartarto.

KPK Dilumpuhkan oleh Pemegang Kekuasaan

Castro menilai ketidakberanian KPK untuk menjerat petinggi negara lantaran lembaga anti rasuah tersebut kini menjadi sub organisasi dari kekuasaan eksekutif. Sehingga, KPK kehilangan independensinya sebagai lembaga yang seharusnya bebas dari pengaruh politik.

“Bagaimana KPK didesain untuk dilumpuhkan lewat revisi UU KPK itu kan kelihatan banget KPK dijadikan sub organisasi atau dalam kata lain dikooptasi oleh kekuasaan,” ujar Castro.

Sejak revisi tersebut, KPK ditempatkan dalam rumpun kekuasaan eksekutif, yang otomatis membuat KPK tunduk pada kekuasaan pemerintah. Kondisinya beda sebelum UU KPK direvisi, di mana KPK memiliki otoritas dan kebebasan untuk menindak pejabat tanpa rasa takut terhadap intervensi kekuasaan.

"Kan itu yang dulu kita kritik. Sebenarnya ini pangkal dimulai proses kooptasi terhadap KPK itu dimulai pada saat revisi UU KPK," ujarnya.

Jika KPK telah menjadi alat kekuasaan, lanjut Castro, maka masyarakat Indonesia akan kehilangan lembaga yang dapat dijadikan panutan dalam hal pemberantasan korupsi. "Kita kehilangan induk, ibarat anak kehilangan induk kita tidak punya panutan lagi di dalam soal pola pemberantasan korupsi," ujarnya.

Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, melihat bahwa cukup wajar jika lembaga anti korupsi di Malaysia, MACC mampu menjerat petinggi negara. Sebab lembaga anti korupsi tersebut bersifat independen tidak seperti KPK yang ada di Indonesia.

“Independensi itu artinya dia bebas dari campur tangan kekuasaan eksekutif. Sehingga memang di MACC itu mereka memproses ya semua pihak tanpa terkecuali khususnya mereka-mereka yang memegang kekuasaan tertinggi gitu,” jelas Zaenur kepada Tirto, Selasa (4/2/2025).

Menurutnya, apa dilakukan di Malaysia adalah kelebihan dari sebuah lembaga negara yang bersifat independen untuk anti korupsi. Sebaliknya ketika lembaga anti korupsinya tidak independen, maka penanganan perkaranya tidak akan independen dan bisa disetir atau diintervensi.

“Sedangkan di KPK, kita tahu KPK sampai sekarang masih berada di bawah rumpun kekuasaan eksekutif. Sehingga independensi KPK itu sangat berkurang dibandingkan KPK zaman dulu dengan adanya revisi undang-undang KPK gitu,” jelas dia.

Di luar dari tindakan penanganan, indeks persepsi korupsi (IPK) di Malaysia juga jauh lebih baik dibandingkan Indonesia. Meskipun Malaysia mengalami stagnasi di mana IPK-nya 50, namun ini merupakan satu bentuk cerminan dari good governance di Malaysia.

“Mereka jauh lebih baik daripada Indonesia. IPK Indonesia sekarang hanya 37 ya. Beda 13 poin dari Malaysia jauh sekali. Soalnya di Indonesia itu banyak kasus yang tidak tuntas,” ungkap dia.

Dari sini setidaknya KPK dapat belajar. Penegakan hukum tidak akan bisa dipercaya selama mereka tidak independen. Sehingga penting Indonesia punya lembaga anti-korupsi yang bersifat independen.

“Maka sangat urgen, tidak bisa ditawar. Indonesia harus punya lembaga negara anti-korupsi yang bersifat independen. Caranya hanya satu, kembalikan independensi KPK melalui revisi kembali Undang-Undang KPK,” pungkas dia.

Masyarakat, tentunya berharap agar KPK tidak hanya berhenti pada retorika atau pencitraan, tetapi benar-benar mengambil langkah konkret dalam memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Hanya dengan cara ini, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga antikorupsi ini dapat terjaga, dan negara ini bisa terbebas dari praktik korupsi yang sudah mengakar.

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang