tirto.id - Di era Reformasi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah salah satu partai terlama yang duduk di puncak kekuasaan. Hanya saja, meski sudah sewindu lebih mereka berkuasa—dalam periode waktu yang berbeda—dengan mengusung Megawati Soekarnoputri dan Joko Widodo, PDIP belum juga menemukan formula yang tepat dalam membereskan masalah hukum, demokrasi, dan ketenagakerjaan.
Belakangan partai dan kader partai berlambang banteng ini kembali mendapat kritik keras dari publik. Salah satu yang menjadi sorotan adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly. Selain dikritik karena merangkap jabatan sebagai pengurus partai dan menteri, Yasonna juga dituntut mundur dari jabatannya.
Salah satu pihak yang menuntutnya mundur adalah Indonesia Corruption Watch (ICW). Penyebabnya adalah omongan Yasonna yang menyatakan buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Harun Masiku berada di luar negeri. Pria yang terpilih menjadi anggota DPR selama tiga periode dari Sumatra Utara itu dianggap memberikan informasi sesat.
PDIP juga dikritik karena menggulirkan wacana amandemen terbatas UUD 1945 yang dikhawatirkan mengembalikan pemilihan presiden kepada Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) dengan menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Sejumlah politikus, salah satunya mantan pimpinan Partai Golkar Akbar Tandjung, menilai GBHN seharusnya tidak diperlukan. Untuk masalah pembangunan, Akbar meyakini aturan hukum berupa undang-undang sudah cukup memberi kejelasan.
“Kalau GBHN dilihat dari segi substansi, saya kira adanya perencanaan pembangunan yang sudah disepakati dalam beberapa tahun terakhir ini itu semuanya kan berdasar pada undang-undang kan. Saya kira itu tetap kita jadikan pedoman, tidak perlu kita bikin satu perubahan yang kemudian memberi tempat kepada adanya GBHN," kata Akbar di kompleks parlemen, Jakarta, Jumat (16/8/2019).
Setelah Golkar, PDIP adalah satu dari dua partai yang paling lama bercokol di puncak kekuasaan dengan mengirimkan dua kadernya ke kursi presiden. Diawali dengan Megawati selama tiga tahun (2001-2004) kemudian disusul Jokowi sejak 2014. Di pengujung 2024 nanti, PDIP akan menjadi partai terlama yang memuncaki kekuasaan di era reformasi, mengalahkan Demokrat yang sudah berkuasa satu dekade, dua periode berturut-turut.
Demokratis dan Pro-Pekerja?
Tak lama setelah kekuasaan Soeharto runtuh, aspirasi sejumlah provinsi untuk memerdekakan diri makin tampak. Dilatarbelakangi operasi militer selama bertahun-tahun, eksploitasi sumber daya alam, atau kombinasi keduanya di Aceh, Papua, dan Timor Leste, aspirasi merdeka mendapat angin di tengah iklim demokratisasi.
Dalam kasus Aceh, selama dua pemerintahan setelah Orde Baru runtuh, Indonesia tidak pernah melakukan perang terbuka dengan GAM. Namun ketika Megawati berkuasa pada 19 Mei 2003, ia memberlakukan Daerah Operasi Militer di Aceh untuk enam bulan ke depan. Sebanyak 30 ribu tentara dan 12 ribu polisi dikerahkan untuk melumpuhkan lima ribu kombatan Gerakan Aceh Merdeka. Sebagai catatan, Megawati pernah berjanji tak akan membiarkan setetes darah pun tumpah di Aceh.
Pada Desember 2003, kesepakatan damai menghentikan perang di Aceh diteken di Jenewa, Swiss Megawati bangga dengan pencapaiannya. Padahal jumlah korban meninggal dalam operasi militer di Aceh kala itu mencapai puluhan orang dari pihak TNI dan ratusan warga sipil.
"Dulu, orang berpikir itu adalah jargon politik. Tapi, kini, janji itu telah terwujud," ujar Megawati seperti dikutip Tempo mengingat janjinya terkait tak akan membiarkan darah tumpah di Aceh.
Pada masa pemerintahan Megawati, ekonomi nasional yang mengalami krisis sejak 1998 berangsur-angsur stabil. Di sisi lain, pemerintahan Megawati bersama DPR mengesahkan Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU inilah yang menjadi cikal-bakal praktik outsourcing di Indonesia karena mengatur tentang perusahaan penyedia tenaga kerja.
Sejak saat itu, hampir setiap tahunnya buruh selalu meneriakkan penghapusan sistem outsourcing dalam demonstrasi peringatan Hari Buruh 1 Mei.
Di bawah pemerintahan Megawati pula terjadi pembunuhan terhadap Theys Eluay, ketua Presidium Dewan Papua. Hanya berselang empat bulan sejak Megawati menduduki kursi presiden, Theys tewas dibunuh Kopassus. Pada periode kepemimpinan yang sama, aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib dibunuh pada 7 September 2004. Munir meninggal dunia dalam pesawat menuju ke Belanda. Sampai sekarang, pengadilan gagal membongkar dalang di balik peristiwa tersebut dan berhenti pada eksekutor belaka.
Freedom House juga mencatat, Megawati cenderung "kurang tegas dalam hal mempromosikan hak asasi manusia, mencegah korupsi yang meluas, dan mereformasi peradilan Indonesia yang rawan korupsi."
Meski demikian, UU 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi disahkan. KPK didirikan di bawah pemerintahan Megawati. Ironisnya, kini PDIP malah mendukung revisi UU KPK yang melumpuhkan kinerja KPK.
Di bawah Jokowi, Indeks Demokrasi Indonesia kerap mengalami pasang-surut. Pada 2015, IDI mencapai angka 72,82 persen, sedangkan di tahun 2016 menjadi 70,9 persen. Tahun berikutnya, angka ini berubah jadi 72,11 persen dan 2018 menjadi 72,39 poin. Perubahannya pun tidak signifikan.
Pada masa akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tepatnya tahun 2013, IDI sempat merosot hingga angka 63,72 poin dan naik menjadi 73,04 poin pada 2014.
Data berbeda yang disajikan oleh Freedom House menunjukkan kebebasan berpendapat di Indonesia hanya mencapai 51 dari 100 poin pada 2019. Angka ini terbilang rendah karena hanya setengah lebih sedikit. Indonesia bahkan tak pernah mencapai angka 70 pada masa kepemimpinan Jokowi.
Catatan kebebasan berpendapat terbaik justru dimiliki oleh pemerintahan SBY. Sejak 2005-2014, status Indonesia, berdasar catatan Freedom House selalu "bebas" (free). Pada masa kepemimpinan Megawati dan Jokowi, status Indonesia adalah "bebas sebagian" (partialy free).
Pada 3 September 2017, aktivis Dandhy Dwi laksono mengunggah tulisan di media sosial yang menyamakan Aung San Suu Kyi dengan Megawati. Menurut Dandhy, keduanya sama-sama menebar janji manis melindungi hak asasi manusia, tapi sebenarnya mereka mengabaikannya.
Kader PDIP Abdi Edison kemudian menganggap tulisan Dandhy sebagai bentuk ujaran kebencian pada Megawati. Ia melaporkan Dandhy ke Polda Jawa Timur dengan tuduhan ujaran kebencian. Dalam pemerintahn Jokowi, lembaga nirlaba, SAFENet mencatat, sepanjang 2008-2018, aduan UU ITE paling banyak berasal dari para pejabat.
“Baru kali ini nih ada dari kelompok yang ada embel-embel demokrasinya tidak melawan tulisan dengan tulisan. Partai itu bahkan punya yang namanya Megawati Institute. Kumpulan para cerdik cendekia, apa iya tidak bisa membalas dengan artikel?” ujar Dandhy.
Jokowi juga mendapat kritik akibat konflik di Papua pada 2019. Pasukan TNI-Polri sebanyak enam ribu orang dikirim ke Papua untuk meredakan kerusuhan di sana. Hasilnya, banyak kekerasan yang terjadi kepada warga sipil, dalam bentuk fisik ataupun penangkapan sewenang-wenang.
Beban masalah ketenagakerjaan juga masih menghantui menjadi PR PDIP dan Jokowi. Di periode keduanya, Jokowi menargetkan selesainya Omnibus Law untuk menyelesaikan banyak permasalahan aturan hukum yang tumpang-tindih.
Salah satu yang bakal disahkan adalah UU Cipta Lapangan Kerja (UU Cilaka). Salah satu yang memprotesnya adalah pekerja yang tergabung dalam Gerakan Buruh Untuk Rakyat (Gebrak).
Ada tiga hal yang menjadi perhatian Gebrak. Pertama, terkait wacana mempermudah pemutusan hubungan kerja (PHK) melalui pengurangan besaran pesangon. Kedua, perluasan jenis pekerjaan kontrak atau outsourcing, dan terakhir rencana pengupahan yang berdasarkan jam kerja. Dengan begini, kesejahteraan buruh makin jauh dari kata terwujud.
"UU Cilaka ini kemudian justru rakyatnya asal bisa bekerja tapi tidak ada perlindungan dan kepastian kerja termasuk juga penegakan hukum yang dilakukan," kata juru bicara Gebrak Nining Elitos di kantor LBH Jakarta, Menteng, Jakarta pada Rabu (8/1/2020).
Dalam tiga periode kepemimpinan PDIP di Indonesia, dua masalah ini tak kunjung terselesaikan. Sebenarnya, konsistensi ini sudah ditunjukkan Jokowi sebelum menjabat enam tahun lalu. Dia tidak pernah berjanji akan menghapuskan sistem outsourcing. Megawati pernah berjanji akan hal tersebut, tapi kegagalannya di Pilpres 2009 menutup impiannya.
Jokowi sendiri lebih tertarik mengentaskan masalah investasi untuk menciptakan iklim yang menguntungkan bagi para investor dan pengusaha. Kepentingan buruh tidak ada dalam narasi Jokowi terkait Omnibus Law. Seperti yang ia katakan, target kepentingan negara adalah penanam modal.
"Pemerintah butuh investasi untuk membiayai program pengembangan infrastruktur seperti jalan tol, bandara, pelabuhan, infrastruktur serta teknologi digital," kata Jokowi saat pertemuan dengan jajaran IDFC di Istana Negara, Jakarta, Jumat (10/1/2020).
Tetap Populer
Meski belum mampu sepenuhnya mengurai masalah di Indonesia, PDIP tetap menjadi partai paling favorit pilihan masyarakat Indonesia selama dua periode. Baik di pileg 2014 dan 2019, PDIP menjadi partai pemenang mengalahkan Partai Gerindra dan Partai Golkar.
PDIP berhasil mencatat sejarah sebagai partai pemenang pemilu setelah era reformasi sebanyak dua kali berturut-turut. Dengan capaian seperti ini, PDIP punya modal besar untuk ikut kontestasi dalam pilpres 2024 mendatang, jika ambang batas pencalonan presiden masih 20 persen seperti sekarang.
Lingkaran Survei Indonesia Denny JA (LSI Denny JA) sebenarnya sudah memprediksi PDIP akan memenangkan pemilu dua kali berturut-turut. Dalam survei yang terbit pada September 2018, LSI Denny JA memprediksi pemilu serentak akan menjadi modal PDIP.
Survei Indikator Politik Indonesia dan Poltracking menunjukkan hasil serupa. Prediksi ini tak lepas dari kenyataan pemilu serentak di mana Jokowi adalah kader partai banteng moncong putih. Hasilnya, PDIP sebagai pengusung Jokowi terdampak elektabilitas.
Salah satu keunggulan PDIP adalah klaim ideologi sebagai partai nasionalis yang membuatnya populer di kalangan pemilih non-muslim. Sebagian besar partai seperti PPP, PKS, PAN, dan Gerindra, bahkan PDIP mencoba mengeruk suara dari kelompok muslim dalam pilpres 2019.
Sejarah PDIP, sewaktu bernama PDI, memang terbentuk dari gabungan beberapa partai, termasuk Partai Kristen Indonesia dan Partai Katolik. Fakta ini membuat PDIP beroleh tambahan suara yang cukup besar dari kelompok non-muslim, utamanya Protestan.
Survei LSI Denny JA lainnya yang dilakukan pengujung 2018 sampai awal 2019 menunjukan 54,7 persen pemilih non-muslim memilih PDIP. Survei tersebut melibatkan 1.200 responden di 34 provinsi. Kelompok minoritas ini, lagi-lagi, memilih PDIP karena terpengaruh sosok Jokowi. Prabowo Subianto dari Gerindra dianggap tak mampu menjadi corong kaum minoritas.
"Minoritas tidak punya peran penting karena yang dianggap besar oleh Prabowo adalah dari pemilih muslim," kata peneliti Denny JA, Rully Akbar Februari 2019.
Hasil pileg 2019 juga mengukuhkan bahwa partai yang berebut suara Islam tidak berhasil menguasai parlemen. Paling tinggi adalah PKB yang meraih 58 kursi dengan jumlah suara nasional 9,69 persen dan PKS dengan 8,21 persen atau 50 kursi.
Partai yang berbasis agama saja tidak cukup menguasai Indonesia yang beraneka. PDIP membuktikan, dengan berusaha merangkul semua kalangan, dan Jokowi, mereka berhasil memenangkan pemilu legislatif dua periode.
Editor: Windu Jusuf