tirto.id -
“Kalau GBHN dilihat dari segi substansi, saya kira adanya perencanaan pembangunan yang sudah disepakati dalam beberapa tahun terakhir ini itu semuanya kan berdasar pada undang-undang kan. Saya kira itu tetap kita jadikan pedoman, tidak perlu kita bikin satu perubahan yang kemudian memberi tempat kepada adanya GBHN," kata Akbar di kompleks parlemen, Jakarta, Jumat (16/8/2019).
Akbar mengatakan amandemen UUD 1945 memang dimungkinkan menurut Pasal 37 UUD 1945. Apalagi sampai sekarang amandemen sudah dilakukan empat kali: 1999, 2000, 2001, dan 2002. Namun ia mengingatkan amandemen jangan bertujuan mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sehingga presiden mesti dipilih MPR dan bertanggung jawab kepada MPR.
“Apalagi kemudian menjadikan MPR lembaga tertingi negara, dan kemudian pemilihan melalui MPR pasti nanti akan ada reaksi yang kuat dari masyarakat yang selama ini telah kita posisikan sebagai pemegang kedaulatan,” ujar Akbar.
Wakil Ketua MPR Fahri Hamzah menganggap ide mengembalikan GBHN sudah tak relevan. Menurutnya saat ini Indonesia sudah memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), jadi tidak membutuhkan lagi GBHN sebagai rencana pembangunan Indonesia.
"Sudah ada pancasila, UUD 1945, ini adalah konstitusi dan dasar negara. Sekarang GBHN itu apa. Di bawahnya itu ada RPJM, RPJMN. GBHN itu siapa yang bahas. Sistem ini yang enggak kena [tak relevan]," kata dia.
Apalagi menurut Fahri saat ini presiden dipilih langsung oleh rakyat. "Ada pancasila, ada UUD. Selanjutnya adalah visinya dan janji presiden di depan rakyat. Maka itu dia dipilih langsung. Sekali lagi ya, kalau kita tidak mengubah sistem pemilihan, GBHN tidak relevan. Kecuali presiden dipilih MPR," ujar dia.
PDIP Ngotot Ingin Amandemen
Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan amandemen UUD 1945 diperlukan untuk mengembalikan GBHN. Menurutnya haluan negara itu penting dan strategis karena memuat kebijakan pokok terkait politik, kebudayaan, hukum, dan kesejahteraan rakyat. "Semua itu diperjuangkan di dalam perencanaan menyeluruh dan terintegrasi yang mengikat seluruh lembaga tinggi negara dan pemerintah dari pusat sampai ke daerah,” kata Hasto di lapangan Blok S, Jakarta, Sabtu (17/8/2019).
Hasto membantah niatan amandemen berbenturan dengan pandangan Jokowi. Sebab, pemilihan kepala negara dan daerah tetap diserahkan kepada rakyat sesuai semangat reformasi. “Amandemen terbatas tidak mengubah tata cara pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, karena demikian tidak ada perbedaan antara sikap PDI Perjuangan dengan Pak presiden semua senafas,” Kata Hasto.
Hasto menerangkan, RPJMN berbeda dengan haluan negara. Sebab, RPJMN merupakan pendekatan eksekutif. Haluan negara diperlukan untuk menyamakan persepsi seluruh pemerintahan, dari pusat hingga daerah. Ia beralasan, kadangkala ada kepala daerah yang tidak mengikuti ketentuan pemerintah pusat. Pemerintahan bisa terintegrasi lewat haluan negara.
“Jadi haluan negara perspektifnya jangka panjang. Justru dengan pembangunan yang cepat kita memerlukan hal-hal yang pokok yang ditetapkan berdasarkan keputusan melalui MPR agar setiap ganti presiden tidak berubah haluan pembangunan,” kata Hasto.
Ketua MPR Zulkifli Hasan mengklaim sebagian besar anggota DPD sudah sepakat mengembalikan GBHN. Menurut dia, hal itu merupakan kesepakatan bersama. "Itu hasil seluruh fraksi DPD yang ada di MPR. Kita sepakat perlu, amandemen terbatas untuk model GBHN. Itu sudah jadi dan selesai kita nanti akan rapat akhir masa sidang, dan akan diserahkan kepada MPR yang akan datang," kata pria kerap disapa Zulhas kepada di Komplek Parlemen, Jumat (16/8/2019).
Ketua Umum Partai Amanat Nasional ini tidak mempertimbangkan lagi keputusan tersebut. Menurut dia, MPR sekarang sudah bulat dan tidak akan goyah. Keputusan berikutnya akan diserahkan sepenuhnya pada MPR mendatang. "Ya terserah MPR nanti," tegasnya.
Presiden Jokowi sempat menyatakan penolakan terhadap usul mengembalikan GBHN seperti yang disuarakan PDI Perjuangan dan disetujui PAN. Ia beralasan, GBHN sudah tidak diperlukan karena Indonesia sudah memiliki Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 sebagai pengganti GBHN. SPPN juga mengatur tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) untuk periode 2005-2025 serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk periode setiap lima tahun.
"Sebenarnya kita sudah punya itu (rencana pembangunan)," ucap Jokowi dalam pertemuan dengan para pemimpin Redaksi di Istana Kepresidenan pada Rabu (14/8/2019), seperti dilansir dari Kompas online.
Di saat yang sama, Jokowi menolak amandemen UUD 1945 untuk mengembalikan mandat MPR sebagai lembaga pemilih Presiden. Sebab, Cara pemilihan presiden seperti ini terjadi di masa Orde Baru saat Soeharto dipilih sebagai presiden sebagai mandataris MPR. "Saya ini produk pilihan langsung dari rakyat, masak saya mendukung pemilihan presiden oleh MPR," kata Jokowi.
Manuver Menekan Presiden
Pengamat politik Kunto A. Wibowo menganggap dalih PDIP tentang pentingnya GBHN demi sinkronisasi program di pusat dan daerah tak beralasan. Sebab ketidaksinkronan antara pemerintah pusat dan daerah terjadi karena ego sektoral masing-masing yang tidak bisa selesai lewat GBHN.
“Saya merasa masalah sinkronisasi akan selalu jadi masalah di Indonesia selama masih ada ego sektoral dan ego daerah. Ego sektoral di level eksekutif kenceng. Susah. Walau dikatrol GBHN, pada praktiknya nanti juga akan muncul lagi ego sektoral terutama masalah penguasaan anggaran dan siapa yang jadi bos projectnya,” kata Kunto saat dihubungi Tirto.
“Saya melihatnya GBHN tidak akan menyelesaikan problem sinkronisasi atau problem ketika Jokowi selesai apakah nanti penerusnya akan melanjutkan ini, saya tidak melihat itu sebagai sebuah masalah,” lanjut Kunto.
Kunto melihat penolakan Partai Golkar soal GBHN karena mereka belum melihat urgensi revisi demi kepentingan politik di masa depan, termasuk Pilpres 2024. Oleh sebab itu, Golkar tidak ngotot seperti PDI Perjuangan. “Kalau aku lebih membaca beda kepentingan melihat 5 tahun ke depan,” kata Kunto.
Di sisi lain, Kunto melihat upaya mengembalikan GBHN sebagai manuver menekan presiden. Sebab, legislatif akan ikut campur dalam proses eksekutif. Hal ini justru membebani Jokowi sebagai presiden dalam memimpin negara. Ia beralasan, eksekutif dalam mengurus negara sudah banyak tantangan. Pelibatan legislatif justru akan memunculkan masalah baru bahwa ada upaya PDIP mencampuri pemerintahan Jokowi.
“Semua partai ingin mengintervensi siapapun apalagi kalau mereka punya mayoritas suara di legislatif. Saya melihatnya kalau masalah Jokowi dan PDIP memang ada bottle neck komunikasi antara mereka berdua sehingga PDIP mengambil langkah drastis dengan inisiatif haluan negara,” kata Kunto.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Jay Akbar