tirto.id - Ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai perubahan status negara berkembang menjadi negara maju berpotensi membuat Indonesia kehilangan fasilitas perdagangan ekspor dan impor yang umumnya diterima negara-negara berkembang.
Tauhid mencontohkan salah satunya Generalized System of Preferences (GSP), yaitu fasilitas keringanan beban tarif bea masuk barang ekspor dari Indonesia ke AS yang terancam akan hilang.
"Kalau dilebeli negara maju, otomatis fasilitas GSP tidak kita dapatkan. Ini adalah strategi dari Amerika untuk mengurangi defisit perdagangan terhadap kita, katakanlah di 2018 lalu. Kondsinya sudah 5 tahun berturut-turut kita selalu surplus ke AS,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Senin (24/2/2020).
Tauhid menambahkan, “Situasi yang berturut turut dalam lima tahun ini membuat Amerika menerapkan strategi ini. Dengan mengajukan proposal ke WTO agar Indonesia masuk ke katagori negara maju,” kata dia.
Ia menjelaskan, ada pendapat yang berbeda antara definisi negara maju menurut WTO dan lembaga dunia seperti PBB.
Konsep tersebut, kata dia, yang perlu dikoordinasikan terlebih dahulu sehingga tidak membuat negara berkembang seperti Indonesia diperlakukan sama berat seperti negara maju yang sudah memiliki perekonomian yang lebih kuat.
"Karena AS melihat tren dari defisit terhadap kita semakin besar. Hal ini akan membuat perekonomian AS akan semakin tergantung ke Indonesia,” kata dia.
Menurut Tauhid, jika Indonesia masih berstatus negara berkembang, maka ia mendapat fasilitas GSP. “Jadi semacam kita mendapatkan fasilitas keringanan beban tarif agar bisa naik level dari negara berkembang ke negara maju. Tapi kalau kita belum maju, jadinya berat,” kata dia.
Jika begitu, kata Tauhid, pertumbuhan perekonomian Indonesia akan terganggu bila ekspor RI ke AS diterapkan sama berat dengan para pesaing dari negara lain.
Menurut Tauhid, jika tarif bea masuk sama beratnya dengan negara maju lainnya, maka produk Indonesia akan lebih mahal dan membuat harga barang-barang dari Indonesia di AS tidak kompetitif.
"Sehingga kita bersaing dengan negara lain yang tarifnya lebih tinggi dan tarif kita akan sama, dan ini probelemnya kalau kita daya saingnya sama dan produk yang dikirim tidak bagus,” kata dia.
Menurut Tauhid, secara otomatis Indonesia akan tertahan. “Dampaknya apa? Kalau di 2018 misalnya porsi peranan AS terhadap ekspor kita, kan, 10,58 persen dan 2019 sampai Agustus ini 11,35. Jadi kalau ini berkurang, ya dampaknya nanti neraca dagang kita defisitnya akan semakin besar disumbang dengan non-migas kita ke AS yang semakin kurang,” kata dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz