tirto.id - Inggris adalah masyarakat yang paling sering mabuk-mabukan dibanding warga negara lain. Klaim ini didapat dari hasil penelitian Adam Winstock, seorang profesor kehormatan di Institute of Epidemiology and Health Care, University College London.
Sepanjang Oktober-Desember 2018, Winstock menyaring 5.400 responden yang berasal dari Britania Raya dan 120.000 responden dari 36 negara lain seperti AS, Kanada, Australia, Denmark, India, Meksiko, Ceko, dan Finlandia. Winstock menanyakan frekuensi minum minuman keras, seberapa sering mereka mabuk, dan apa yang terjadi setelah mereka mabuk.
Hasilnya, rata-rata warga Inggris mabuk sebanyak 51,1 kali dalam setahun atau setidaknya seminggu sekali. Lebih sering dari orang Amerika dan Australia.
“Umumnya, responden riset menyatakan bahwa mabuk adalah hal menyenangkan,” catat Telegraph yang mengutip hasil riset Global Drugs Survey 2019.
Sebetulnya hal yang paling membuat Winstock gelisah adalah tindak kekerasan yang muncul akibat mabuk. Sejumlah responden perempuan yang berasal dari Inggris mengaku kerap mengalami kekerasan seksual ketika dalam kondisi setengah sadar atau sangat mabuk. Para perempuan ini tidak berani melapor ke polisi karena merasa punya andil dalam membuka peluang bagi pelaku tindak kekerasan seksual—dengan membiarkan diri mabuk.
“Kita masih harus mencari cara efektif yang mampu mengubah pola pikir mereka-mereka yang gemar mabuk ini. Cara itu harus dilakukan sampai kultur minum-minum di Inggris berubah,” kata Winstock.
Winstock tak perlu terlampau pesimistis menghadapi tantangan untuk mengubah budaya minum-minum karena hasil riset WHO menyebutkan dalam 10 tahun terakhir jumlah konsumsi alkohol di Inggris terus menurun. Selain itu, sekitar lima tahun belakangan, teetotalism—alias praktik untuk tidak mengonsumsi alkohol—terus berkembang di kalangan milenial muda Inggris.
Milenial Inggris memutuskan tidak mengonsumsi alkohol demi menghemat uang, terpengaruh sosial media, dan ingin mengikuti tren gaya hidup sehat.
Laporan Timebertajuk “The Millennial Teetotalers Upending the Stereotype of Boozy Britain” yang terbit awal Agustus lalu menyatakan kondisi finansial milenial Inggris tidak lebih baik dari generasi sebelumnya. Penghasilannya pas-pasan dan sulit mencari karier dengan gaji menggiurkan. Mereka pun harus bekerja keras agar bisa menyewa hunian di saat harga properti terus meningkat.
Tak mengonsumsi alkohol dianggap jadi satu jalan efektif untuk berhemat. Narasumber Time menyebutkan setidaknya satu orang menghabiskan $105 untuk sekali minum. “Lebih baik uang itu aku pakai untuk hal yang lebih bermanfaat seperti liburan atau makan malam,” tutur si narasumber.
Selain ingin menghabiskan uang untuk hal berfaedah, teetotaler milenial ini juga ingin punya citra yang baik di media sosial. Di tengah zaman yang memungkinkan seseorang lekas viral akibat tindakan-tindakan aneh atau bodoh, para teetotaler milenial tak mau tidak jadi viral karena aksi aneh yang mereka lakukan ketika mabuk.
Meningkatnya penganut teetotalism membuat para pengusaha minuman keras di Inggris memperluas unit bisnis mereka dengan memproduksi minuman seperti cocktail non alkohol. Bagi para pengusaha ini, hal tersebut cukup memutar otak dan menguras energi karena harus menciptakan rasa seunik mungkin serta mengeksplorasi dan mengolah berbagai bahan alami tanpa pedoman pembuatan minuman yang jelas—tidak seperti pembuatan minuman keras yang punya pakem tertentu.
Tren teetotalism ini juga memunculkan beragam festival yang jadi sarana “uji coba” berbagai minuman non-alkohol salah satunya Mindful Drinking Festival—acara yang diikuti pula oleh produsen minuman keras.
“Kami mengadakan acara ini supaya orang yang tidak mengonsumsi minuman keras tak merasa tersisihkan. Tren teetotalism ini sesungguhnya adalah isu tentang keragaman, kesetaraan, makanan, masyarakat, dan sebagainya. Bila kita ingin menyelamatkan bisnis bar kita, maka kita harus menyiapkan lebih banyak pilihan untuk banyak orang,” kata Laura Willoughby, penggagas festival.
Fenomena anak muda berhenti minum alkohol terjadi juga di Paris, AS, dan Jepang.
Di AS, para produsen minuman alkohol berusaha menarik hati kaum teetotaler dengan memproduksi minuman kombucha dan air kelapa. Retail raksasa produsen Smirnoff melansir produk gin non-alkohol yang bisa dicampur dalam ‘cocktail sehat’.
“Orang-orang ingin minuman enak yang menyehatkan,” kata Chelsea Phillips, kepala divisi pemasaran AB InBev’s Beyond Beer kepada Wall Street Journal.
Penggagas acara Paris Cocktail Week, Thierry Daniel, berkata kepada WWD bahwa milenial paris saat ini enggan menjalani gaya hidup hedonis seperti minum minuman keras. Mereka lebih suka menyesap minuman yang dibuat dengan citarasa tinggi dan bermanfaat bagi tubuh.
Ia juga bilang bahwa seiring waktu para bartender yang terlibat dalam Paris Cocktail Week dituntut lebih kreatif menciptakan minuman non-alkohol karena permintaan pengunjung terhadap jenis minuman tersebut terus naik.
“Aku ingin bisa mengontrol setiap tindakanku meskipun aku sedang berpesta,” kata Helene kepada WWD.
Sikap Helene dan anak-anak muda Perancis berbeda dengan kaum milenial di Jepang. Para pekerja muda Jepang kerap menolak ajakan minum dari atasan mereka. Ketimbang minum-minum sepulang kerja, mereka lebih suka menghabiskan waktu dengan beristirahat dan menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah.
Stephen Nagy, dosen hubungan internasional di International Christian University, Tokyo mengungkapkan bahwa tingkat penghasilan pekerja milenial Jepang yang stagnan selama dua dekade terakhir membuat mereka—khususnya pria yang telah berkeluarga—enggan bersenang-senang di luar rumah. Mereka lebih suka mengurus rumah dan mengasuh anak.
Editor: Windu Jusuf