Menuju konten utama

Ikhtiar Memberantas Stunting Jangan Berorientasi Kejar Target

Pemerintah baru perlu menemukan formulasi yang tepat dalam penanganan stunting agar tidak terkesan hanya kejar target.

Ikhtiar Memberantas Stunting Jangan Berorientasi Kejar Target
Giffari (2 th), balita penderita kekurangan gizi disusui orang tua asuhnya di kediaman Kelurahan Birobuli Utara, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (30/12/2024).ANTARA FOTO/Basri Marzuki/wpa.

tirto.id - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) lewat diseminasi hasil Survei Status Gizi (SSGI) 2024 pada Akhir Mei lalu mengumumkan kabar baik. Melalui keterangan resmi pada Selasa (26/5/2025), Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, menyatakan bahwa pemerintah kembali berhasil mengikis angka prevalensi tangkes atau stunting. SSGI 2024 menunjukkan, prevalensi stunting 19,8 persen atau turun dari hasil SSGI 2023 yang berada di angka 21,5 persen.

Menkes Budi juga menegaskan komitmen pemerintah untuk bisa mengejar target prevalensi stunting sebesar 14,2 persen pada 2029 sebagaimana target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Artinya, pemerintah punya pekerjaan rumah untuk bisa menurunkan sekitar 7,3 persen angka prevalensi stunting dalam waktu lima tahun.

Target ambisius pemerintah dalam mewujudkan eradikasi stunting di Indonesia tak berhenti sampai di situ. Dalam telekonferensi Kamis (5/6/2025), Kemenkes optimistis bisa mencapai prevalensi stunting ke angka lima persen pada 2045.

"Kalau kita terjemahkan angka persentase ini ke dalam jumlah absolut balita, tahun 2024, kita berhasil menurunkan jumlah stunting dari angka sebelumnya 4,8 juta menjadi 4,4 juta. Ini menunjukkan kita berhasil menurunkan (stunting) 357,705 balita," ucap Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK), Asnawi Abdullah, dalam keterangan kepada media secara daring tersebut.

Infografik Bebas Stunting

Infografik Bebas Stunting. tirto.id/Fuad

Dalam kesempatan itu, dijelaskan bahwa, meskipun prevalensi stunting tingkat nasional 19,8 persen, namun terdapat sejumlah provinsi yang prevalensinya jauh lebih rendah. Seperti di Bali dengan 8,7 persen, diikuti Jawa Timur dan Kepulauan Riau (Kepri).

Di sisi lain, Asnawi menyebut ada sebanyak enam provinsi yang berkontribusi sebanyak 50 persen terhadap angka stunting nasional. Keenam provinsi itu antara lain Jawa Barat. Meski Jawa Barat menurunkan prevalensinya hingga sebesar 5,8 persen dibandingkan 2023, kata dia, namun tercatat 638 ribu kasus stunting di provinsi itu. Selain itu, Nusa Tenggara Timur (NTT) mencatatkan prevalensi di atas angka nasional, yakni sebesar 37 persen.

Melihat ikhtiar pemerintah dalam menangani stunting hingga saat ini, memang tampak ada semacam kejar tayang yang dijadikan acuan dalam upaya eradikasi stunting. Hal ini mampu menggeser orientasi pendekatan penanganan stunting yang efektif dan berdampak menjadi sekadar langkah yang populis dalam mencapai angka capaian.

Terlebih, pemerintah bahkan sempat merevisi target capaian prevalensi stunting pada tahun lalu, dari 14 persen menjadi di bawah 20 persen. Presiden Joko Widodo pada penghujung masa jabatnya baru menyadari target penurunan stunting yang ditetapkan terasa “ambisius”. 2025 di awal masa Presiden Prabowo Subianto, pemerintah punya target prevalensi stunting sebesar 18 persen.

Dengan begitu, pemerintah baru perlu menemukan formulasi yang tepat dalam penanganan stunting agar tidak terkesan hanya kejar target. Stunting merupakan batu sandungan nyata mencapai generasi Indonesia Emas 2045. Stunting membuat otak anak tidak berkembang sehingga membuat anak sulit konsentrasi, memiliki kecerdasan rendah, dan membuatnya sulit menangkap pelajaran. Kondisi ini membuat daya tahan tubuh anak rendah sehingga mudah terserang penyakit.

Bank Dunia pada 2016 menyatakan, negara dengan prevalensi stunting tinggi berpotensi mengalami kerugian ekonomi sebesar 2-3 persen per tahun dari pendapatan domestik bruto (PDB). Maka dengan PDB Indonesia 2023 mencapai Rp20.892,4 triliun, kerugian ekonomi yang dialami Indonesia akibat stunting saja mencapai Rp418-627 triliun pada tahun lalu.

Perlu Akselerasi dan Evaluasi Program

Peneliti dari Global Health Security Griffith University, Dicky Budiman, memandang capaian SSGI 2024 dimana angka stunting sudah mencapai 19,8 persen merupakan hal yang cukup menggembirakan. Namun, Dicky melihat, dibandingkan dengan gembar-gembor pemerintah yang pernah punya target penurunan sampai 14 persen, capaian ini menjadi alarm perlunya akselerasi dan evaluasi program.

“Keberhasilan yang khususnya ini bicara jangka panjang akan sangat bergantung pada fokus pada seribu hari pertama kehidupan. Ini sebagai upaya prevention atau penjagaan. Kemudian juga koordinasi lintas sektoral yang efektif,” kata Dicky kepada wartawan Tirto, Kamis (5/6/2025).

Perlu menjadi sorotan, kata dia, ketimpangan angka stunting nasional dan di daerah masih cukup tinggi. Misalnya di wilayah Indonesia timur, angka prevalensi stunting masih banyak yang lebih dari 20 persen. Hal ini menunjukkan program stunting belum berjalan merata dan inklusif.

Selain itu, Dicky melihat kecenderungan program penanganan stunting yang masih tercecer di banyak program kerja kementerian/lembaga. Ia menilai hal ini akan menyebabkan suatu kelelahan dan kebingungan bagi masyarakat penerima manfaat intervensi stunting.

“Dengan banyaknya program ini mau itu Posyandu dari Kemenkes, BKKBN punya apa, PKH apalah segala macam. Masyarakat bisa berpotensi merasa jenuh atau bingung. Apalagi kalau ini melibatkan harus ada partisipasi masyarakat yang berkali-kali,” terang dia.

Sementara itu, Dewan Pengawas DPP Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), Mahesa Paranadipa Maikel, menyatakan bahwa penurunan prevalensi stunting dari 21,5 persen (2023) menjadi 19,8 persen (2024) memang merupakan progres yang signifikan dan layak diapresiasi. Apalagi, kata Mahesa, hal tersebut dicapai dalam periode ekonomi global pascapandemi yang menantang.

Menurut Mahesa, arah kebijakan penanganan stunting sudah benar, namun kecepatan dan pemerataan implementasinya masih perlu diperkuat. Terkhusus di daerah-daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan.

“Meskipun belum mencapai target revisi menjadi 18 persen, capaian ini mencerminkan efektivitas kolaborasi multisektor sebagaimana dirancang di Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting dan RPJMN 2020–2024,” ujar Mahesa kepada wartawan Tirto, Kamis.

Namun secara ilmiah, kata Mahesa, stunting tak bisa diturunkan secara drastis dalam waktu singkat karena berkaitan dengan intergenerational factors. Sebaiknya, intervensi stunting berlangsung lintas waktu dan sektor. Mengacu teori life course approach dalam kesehatan masyarakat, perubahan status gizi pada populasi memerlukan siklus kebijakan konsisten minimal 5–10 tahun.

“Karena itu, harapan realistis harus disertai dengan kebijakan yang tidak bersifat parsial atau hanya jangka pendek,” lanjut Mahesa.

Metode yang bisa mempercepat penurunan prevalensi stunting secara efektif, mencakup penguatan intervensi spesifik dan sensitif. Ditambah, pendekatan berbasis data dan lokasi. Memprioritaskan daerah dengan prevalensi tinggi menggunakan evidence-based planning sangat penting agar tidak ada intervensi yang mubazir.

Mahesa menilai, integrasi layanan primer seperti Posyandu sebagai ujung tombak intervensi dan penanganan stunting perlu diperkuat secara struktural dan fungsional. Ini agar tempat itu tak hanya menjadi lokasi mengukur berat badan, tetapi pusat edukasi dan intervensi gizi keluarga.

“Target 14 persen pada tahun 2029 adalah target yang ambisius tetapi bukan tidak mungkin, selama ada kesinambungan kebijakan lintas pemerintahan. Kuncinya adalah political will konsisten, pendanaan tepat sasaran, serta tata kelola implementasi di tingkat daerah yang lebih responsif dan akuntabel,” ujar Mahesa.

Peneliti Ahli Madya PR Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN, Masdalina Pane, menyatakan menurunkan stunting memang tidak mudah. Walaupun penurunan stunting pada 2024 sebesar 19,8 persen atau belum mencapai target revisi sebesar 18 persen (2025), hasil ini menunjukkan kemajuan positif dibandingkan dengan kondisi sebelumnya yang cuma turun 0,1 persen (2022 ke 2023).

“Penurunan 1,7 persen tahun ini cukup baik. Penurunan indikator harus disikapi secara kritis agar kita yakin data yang dilaporkan akurat dan mencerminkan kondisi sebenarnya. Sikap ini penting untuk memastikan bahwa penurunan tersebut bersifat berkelanjutan dan bukan hasil sementara atau kebetulan,” kata Masdalina kepada wartawan Tirto, Kamis.

Selain itu, evaluasi yang cermat membantu mengidentifikasi kesenjangan upaya penurunan stunting sehingga strategi dan kebijakan bisa disesuaikan untuk hasil yang lebih efektif.

Infografik Stunting Balita

Infografik Stunting Balita. tirto.id/Fuad

Hingga saat ini, kata Masdalina, memang belum ada negara yang secara resmi bisa disebut mencapai eradikasi stunting atau nol kasus tangkes. Stunting menjadi masalah gizi kronis yang kompleks sebab dipengaruhi berbagai faktor seperti sosial, ekonomi, dan lingkungan, sehingga sangat sulit untuk dihilangkan sepenuhnya.

Namun, beberapa negara berhasil menurunkan angka prevalensi stunting secara signifikan melalui program intervensi gizi dan kesehatan yang terintegrasi.

Perlu dicatat angka prevalensi stunting yang turun tidak selalu mencerminkan perubahan yang substantif dan berkelanjutan. Menurut Masdalina, ada risiko angka stunting turun secara statistik karena perubahan definisi, data yang kurang akurat, atau intervensi yang hanya bersifat sementara tanpa penanganan akar masalah.

“Penurunan angka stunting sering kali tidak merata dan menyisakan kelompok-kelompok rentan. Terutama di wilayah dengan tingkat kemiskinan, akses layanan kesehatan, dan pendidikan yang rendah,” terang Masdalina.

Baca juga artikel terkait STUNTING atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - News
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Anggun P Situmorang