tirto.id - Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju mengatakan pembatasan akses internet dan media sosial seharusnya didasarkan pada adanya bukti atau terjadinya suatu kejahatan.
Menurutnya langkah ini tidak bisa sembarang dilakukan lantaran dalih pemerintah untuk menahan penyebaran hoaks tidak boleh sampai mengorbankan azas praduga tak bersalah.
Sebab menurut Anggara bagi warga negara yang belum tentu melakukannya justru malah ikut terdampak dan menanggung kerugian akibat pembatasan itu.
"Sama juga yang pembatasan akses komunikasi. Itu semua dihantam padahal harusnya spesifik. Harus ada kejahatan yang muncul kalau gak masa kita dipandang jahat semua," ucap Anggara saat dihubungi reporter Tirto pada Sabtu (15/6/2019).
Anggara menuturkan bahwa pemberlakuan pembatasan ini juga seharusnya mengikuti prinsip penggunaan kewenangan pemerintah lain yang juga dapat berdampak pada hak warga negaranya. Misalnya penyadapan.
Pembatasan akses internet seperti yang dilakukan pemerintah pada tanggal 22-25 Mei 2019 menurutnya merupakan langkah terakhir (last resort) bila berbagai cara untuk menangani kejahatan yang ada tidak lagi berhasil.
Hal ini mengisyaratkan adanya situasi darurat terlebih dahulu sebelum dapat diberlakukan sebagaimana pembatasan merespons aksi 22 Mei lalu.
"Itu juga adalah the last resort saat sarana-sarana lain sudah eggak bisa digunakan," ucap Anggara.
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi mengatakan bahwa pemerintah melakukan berbagai hal itu karena berpikir dirinya memiliki wewenang.
Di dalam pasal 40b UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE, wewenang itu memang ada, tetapi konteksnya mencegah ketimbang merespons situasi yang sedang memanas.
“Tugas menurut UU ITE itu mencegah bukan mengobati. Pembatasan akses yang akan dilakukan kan untuk bukan mencegah,” ucap Heru saat dihubungi reporter Tirto pada Sabtu (15/6/2019).
Lagi pula menurut Heru targetnya adalah informasi yang melanggar UU bukan seluruh informasi secara membabi-buta.
Meskipun kenyataannya pembatasan akses 22-25 Mei lalu menyasar seluruh akun dan kanal, ia mengingatkan agar hal ini jangan sampai terulang karena pemerintah perlu menghormati praduga tak bersalah.
“Kalau pun ada pembatasan, terhadap mereka yang nakal. Kalau yang diblok jangan semua medsos, tapi akun-akun yang sebar hoaks dan ujaran kebencian saja termasuk akun tokoh yang sebar hoaks,” ucap Heru.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Irwan Syambudi