tirto.id - Dalam catatan sejarah, sejak zaman kolonial hingga pendudukan Jepang, Tegal dikenal sebagai kota maritim. Di kota itu terdapat sekolah pelayaran. Ada pemuda Soewadji dan Hartono yang menjadi instruktur di sana. Para guru ini berkawan pula dengan guru di sekolah pelayaran kota lain, seperti di Semarang dan Jakarta.
Pada 1945, setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, para guru dan murid sekolah pelayaran Tegal dan kawan-kawan dari kota lain seperti Ali Sadikin (sekolah pelayaran Jakarta) dan Soehadi (sekolah pelayaran Semarang) berkumpul di Tegal.
“Pada bulan September [murid-murid sekolah pelayaran] membentuk BKR Laut (Badan Keamanan Rakyat Laut) dan kemudian mendirikan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) di Tegal yang kemudian dikenal sebagai Angkatan Laut Pangkalan IV,” tulis Letnan Dua Lauw Siong Nen dalam artikelnya di majalah Korps Komando nomor Istimewa Hari Ulang Tahun ke-13 (1963).
Pangkalan IV pernah dipimpin Darwis Djamin. Menurut "Arsip Kementerian Pertahanan RI nomor 389: Kementerian Pertahanan Bagian B daerah III: Daftar Riwayat hidup pemimpin ALRI", pada September 1947 Darwis Djamin adalah mantan guru sekolah tukang dan bekas mata-mata di Nami Kikan, bagian dari Angkatan Laut Jepang.
Pangkalan IV berkait erat dengan sejarah marinir Indonesia. Corps Marinier, satuan marinir pertama Indonesia, berbasis di pangkalan tersebut. Menurut situs resmi Korps Marinir TNI AL, satuan itu dibentuk pada 15 November 1945, tepat hari ini 73 tahun lalu. Para guru sekolah pelayaran tadi terlibat dalam pembentukannya. Tanggal tersebut kemudian diperingati sebagai hari lahir Korps Marinir.
“Sebagai inti daripada Corps Marinier antara bulan November-Desember 1945, Soewadji dengan 12 orang lainnya, dilatih pula selama 1,5 bulan,” tulis Lauw Siong Nen.
Salah satu pelatih militernya adalah Tatang Rusmaja. Selesai pelatihan, Soewadji dijadikan komandan kompi Corps Marinier. Beberapa bulan kemudian, ketika Corps Marinier bertambah banyak, hingga mencapai 10 batalyon, Soewadji yang baru 21 tahun dan berpangkat kapten memimpin salah satu batalyon. Orang yang menjadi komandan Corps Marinier ini adalah Mayor Agoes Soebekti. Menurut Sudono Jusuf dalam Sedjarah Perkembangan Angkatan Laut (1971: 71), wakilnya adalah Kapten O.B. Sjaaf dan Kapten Soehadi.
O.B. Sjaaf rupanya lebih banyak aktif di armada ketimbang di pasukan Corps Marinier. Anak dokter Mohamad Sjaaf ini pangkat terakhirnya laksamana madya di TNI Angkatan Laut.
Lauw Siong Nen mencatat cerita terkait Soewadji terkait Corps Marinier di zaman Revolusi. Soeawadji pernah diperintahkan bertempur di Ambarawa untuk menyerang asrama polisi dan tentara Belanda. Perlawanan itu terbilang mudah bagi pasukan Soewadji. Namun ketika undur diri dari Ambarawa, pasukan Belanda ada yang mengejarnya. Anak buahnya yang bernama Suwarso terluka. Pasukan Soewadji kemudian bersembunyi di daerah Porot, Kaloran, Temanggung di sebuah rumah kecil. Suatu pagi mereka dapat kejutan dari tentara Belanda.
“Soewadji dibangunkan dua pengawalnya, Kopral Abdulkadir dan Kelasi Judiat, yang melaporkan bahwa rumah kecil yang mereka tinggali dikurung tentara Belanda,” tulis Lauw Siong Nen.
Soewadji pun segera cabut pistol. Ketika ada tembakan dari luar, Judiat nekat ingin menembak ke luar, tapi pahanya tertembak. Abdulkadir hendak menolong Judiat, tapi perutnya yang kena. Soewadji terngiang peristiwa itu setelah dirinya berhasil lolos dari maut. Di masa Revolusi, banyak komandan yang tergolong payah.
“Haruslah kita akui, bahwa masa-masa clash 1 dan clash 2 (Agresi Militer pertama dan kedua) banyak sekali komandan-komandan tentara kita yang karena kepanikannya menghadapi tentara Belanda, meninggalkan anak buahnya dan mencari keselamatannya sendiri,” tulis Lauw Siong Nen.
Namun, menurut Lauw Siong Nen, Soewadji bukan komandan marinir macam itu. Ia tetap setia melindungi anak buahnya. Kala itu memang banyak komandan di pihak TNI yang kurang pengalaman dan latihan.
Corps Marinier jadi KKO
Di masa Revolusi tak hanya Corps Marinier yang menjadi pasukan tempur non-pelaut di ALRI. ALRI punya beberapa brigade Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI). Sayangnya, orang-orang yang diingat dalam sejarah TLRI hanya Dachlan dan Ahmad Yadau, yang terkait dengan Peristiwa Madiun 1948. Salah satu bekas anak buah Yadau adalah Mbah Suro yang disikat Kopassus pada 1967. Tokoh TLRI terkenal lain adalah mantan tukang becak bernama Abdullah, yang terbunuh oleh RMS di Maluku.
ALRI kemudian kehilangan pasukan tempur ketika TLRI dilebur ke Angkatan Darat pada September 1948 di masa Mohammad Hatta jadi perdana menteri. Di masa-masa ini pula muncul julukan "ALRI Gunung" untuk insan Angkatan Laut yang kebanyakan berperang melawan tentara Belanda di pedalaman Jawa ketimbang bertempur di laut, karena tak punya kapal perang canggih untuk melawan Angkatan Laut Belanda.
Tak hanya TLRI yang dilebur ke Angkatan Darat. Mantan Corps Marinier di Tegal, seperti dicatat Djunaedi dan kawan-kawan dalam 60 Tahun Pengabdian Korps Marinir (2005), dimasukkan ke dalam Resimen Samudra, yang terkait dengan TNI Divisi Diponegoro di Jawa Tengah (hlm. 148). Untuk sementara, tentara di ALRI ditiadakan.
Setelah tentara Belanda angkat kaki dan KNIL bubar, ALRI pun membangun armada tempur pasukan pendarat. Kali ini tidak bernama Corps Marinier lagi. Menurut Sapoe Duto dalam tulisannya di Korps Komando nomor 15 (Desember 1963), sejak 15 November 1950, kesatuan ini dinamai Korps Komando (KKO). Komandannya di tahun 1950-an adalah Mayor R. Soehadi.
Di KKO, Hartono dan Ali Sadikin, yang ikut serta di Tegal dan meramaikan khazanah Corps Marinier di awal sejarahnya, masih berdinas. Orang baru yang cukup unik sosoknya yang juga masuk ke KKO adalah Hunholz, mantan anggota Corps Marinier Belanda.
"Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO"
KKO tak cuma punya personel pasukan pendarat, tapi juga alat-alat perang seperti kendaraan lapis baja. Di masa Perang Dingin, banyak kendaraan lapis baja buatan negara-negara Blok Timur memperkuat KKO. Masa jaya alat tempur KKO itu terjadi di masa kepemimpinan Hartono, yang diangkat sebagai komandan pada 1961. Hartono juga salah satu pendiri korps marinir Indonesia di Tegal. KKO punya markas besar di Cilandak, Jakarta Selatan.
Di masa Hartono, KKO pernah terlibat dalam banyak operasi militer untuk menumpas gerakan separatis seperti Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), PRRI/Permesta, dan Republik Maluku Selatan (RMS).
Ketika operasi perebutan Irian Barat dilakukan, Mayor Jenderal Hartono dikenal karena loyalitasnya kepada Presiden Sukarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Di masa krisis 1965, Hartono dikenal dengan ucapannya yang legendaris: “Putih kata Bung Karno, putih kata KKO. Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO.”
Intinya, demi Sukarno, Hartono dan KKO rela bertempur. Di masa Hartono jadi Komandan KKO pula, Ali Sadikin ditunjuk sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Terkait G30S, KKO terlibat dalam evakuasi para Pahlawan Revolusi dari sumur tua di Lubang Buaya pada 4 Oktober 1965. Di tahun 1967, KKO mendapat berita duka sekaligus berita yang cukup heroik. Mayor Engelbert Willem Antonius Pangalila, komandan sekolah perang khusus KKO, meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat Garuda. Dari cerita yang beredar, sebelum meninggal dunia Pangalila menyelamatkan beberapa orang terlebih dahulu. Pangalila masih terhitung kerabat dari istri Hartono, Grace Walandauw.
Setelah Sukarno lengser dan Komandan KKO bukan lagi Hartono, ada kejadian luar biasa di KKO. Berkat Operasi Ikan Paus pada sekitar 1969, dengan dalih membersihkan unsur G30S, KKO kehilangan banyak personel. Kekuatan KKO tentu berkurang.
Nama "KKO" yang berasosiasi dengan zaman Sukarno lalu diganti. Berdasarkan Surat Keputusan Kasal No. Skep/1831/XI/1975 tanggal 15 November 1975, KKO bersalin nama menjadi Korps Marinir hingga hari ini.
Editor: Ivan Aulia Ahsan