tirto.id - Islam merupakan agama rahmat bagi seluruh umat manusia. Kendati hukum-hukumnya tegas, ia tidak memberatkan. Demikian juga dalam kewajiban menjalankan puasa di bulan Ramadan.
Rahmat dalam ajaran Islam tergambar dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah: “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya,” (QS. Albaqarah: 286).
Dalam konteks puasa, salah satu syarat wajibnya adalah kemampuan menunaikan ibadah ini. Oleh sebab itu, orang sakit yang tidak mampu menunaikan puasa, atau khawatir ibadah ini berisiko bisa memberatkan kondisinya, memperoleh keringanan atau rukhsah.
Mereka yang sedang sakit diperbolehkan tidak menjalankan puasa ramadhan. Sebagai gantinya, orang yang sakit itu harus mengganti atau meng-qadha puasanya sesuai dengan jumlah hari yang ia tinggalkan.
Hal ini didasari firman Allah SWT di surat Al-Baqarah ayat 184: "Maka barang siapa di antara kamu yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang ia tidak berpuasa itu) pada hari-hari lain."
Akan tetapi, tidak semua orang yang sakit memperoleh keringanan ini. Sebagaimana syarat wajib puasa adalah kemampuan menunaikannya, Imam Zakariya al-Anshari menuliskan 3 hukum puasa bagi orang sakit dalam kitabnya Assyarqawi Alat Tahrir (1997, jilid I, halaman 441).
Pertama, haram berpuasa bagi seseorang yang tidak mampu menunaikan puasa karena sakitnya. Selain itu, kewajiban puasa juga gugur pada seseorang yang yakin timbul mudarat atau dampak berbahaya jika ia tetap memaksakan diri menjalankan ibadah ini.
Untuk memutuskan adanya dampak berbahaya ini harus berdasarkan rekomendasi dari ahli medis, dokter, atau spesialis di bidang kesehatan. Seseorang tidak bisa mengira-ngira bahwa ia sedang dalam bahaya dan meninggalkan kewajiban puasa begitu saja.
Kedua, makruh berpuasa sehingga boleh untuk tidak berpuasa bagi orang yang masih menduga efek berbahaya, terutama jika ia meneruskan puasanya.
Ketiga, tetap wajib berpuasa bagi orang dengan sakit ringan. Misalnya sekedar sakit pusing, sakit telinga, sakit gigi atau sakit yang tidak sampai menimbulkan bahaya jika ia memutuskan untuk berpuasa.
Bagaimana cara meng-qadha puasa Ramadhan yang ditinggalkan karena sakit?
Orang sakit yang meninggalkan puasanya karena perkara medis wajib menggantinya di lain hari di luar Ramadan. Kewajiban mengganti puasa disunahkan segera ditunaikan usai Ramadan berakhir.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Mukminun ayat 61: “Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.”
Menyegerakan qadha puasa disunahkan karena seorang hamba sebaiknya segera melunasi utang ibadahnya kepada Allah, mengingat ia tidak tahu kapan maut akan menjemput.
Kendati demikian, sebenarnya melaksanakan qadha puasa dibolehkan untuk ditunda jika ada hajat atau urusan lain. Puasa qadha dapat dilakukan pada bulan Syawal hingga bulan Syaban, asalkan belum masuk Ramadhan berikutnya.
Dalil mubahnya menunda qadha puasa adalah hadis yang diriwayatkan dari Abu Salamah bahwa beliau pernah mendengar Aisyah RA menyatakan:
“Aku masih memiliki utang puasa Ramadan. Aku tidaklah mampu mengqadanya kecuali di bulan Syaban.” Yahya (salah satu perawi hadis) mengatakan hal ini dilakukan Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi Saw. (HR. Bukhari dan Muslim).
Selain itu, menunaikan qadha puasa juga dibolehkan untuk tidak berturut-turut jika memiliki utang puasa lebih dari sehari. Misalnya, jika utang puasa karena menderita sakit sebanyak 10 hari, maka dibolehkan meng-qadha puasa dua hari di bulan Syawal, lima hari pada bulan Dzulhijjah, dan tiga hari pada bulan Syaban.
Hal ini sesuai firman Allah SWT di surat Al-Baqarah ayat 185: “Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain,” (QS. Al Baqarah: 185).
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Addi M Idhom