tirto.id - Kendati hukum asal puasa adalah wajib bagi semua orang Islam, terdapat beberapa golongan yang memperoleh keringanan tidak berpuasa, salah satunya adalah musafir atau orang yang melakukan perjalanan jauh.
Keringanan atau rukhsah ini didasari surah Albaqarah ayat 184: " ... Barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain ...”
Muhammad Bagir dalam Fiqih Praktis (2008) menulis bahwa seseorang yang dikategorikan musafir adalah orang yang bepergian dalam jarak sekitar 80,6 km (hal. 349). Yang dijadikan ukuran dalam safar adalah jarak perjalanan, bukan lamanya perjalanan.
Penggunaan kendaraan apa pun, baik mobil, kereta api, pesawat, kapal laut, dan lain sebagainya tak dipersoalkan, sepanjang perjalanan tersebut mencapai jarak 80,6 km. Mereka yang menempuh perjalanan dengan jarak tersebut termasuk dalam kategori musafir.
Musafir boleh tetap berpuasa ramadhan atau memilih untuk tidak menjalankan ibadah ini. Jika tak berpuasa, musafir wajib mengganti puasa tersebut di luar Ramadan.
Landasannya ialah hadis dari Aisyah Ra. menceritakan bahwa Hamzah bin Amr Alaslami RA pernah bertanya kepada Nabi Muhammad Saw tentang puasa dalam perjalanan. Rasul pun memberikan jawaban: "Jika kamu menghendaki maka tetaplah berpuasa, dan jika kamu menghendaki maka batalkanlah,” (HR. Muslim).
Namun, dilansir dari NU Online, orang yang dibolehkan membatalkan puasanya dalam perjalanan dipertimbangkan dari tujuan safar atau perjalanannya.
Jika maksud perjalanan yang dilakukannya untuk ibadah (haji, umrah, dan yang sejenisnya) atau hal mubah (berdagang atau silaturahmi), ia boleh meninggalkan puasa serta menng-qadha atau mengganti ibadah ini pada bulan selain Ramadhan. Sementara jika tujuan perjalanannya untuk maksiat, maka tidak ada rukhsah atau keringanan bagi sang musafir.
Cara Qadha Puasa?
Musafir yang meninggalkan puasanya karena urusan perjalanan, wajib menggantinya di lain hari di luar Ramadan. Kewajiban mengganti puasa (qadha puasa) disunahkan segera ditunaikan selepas Ramadan berakhir.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Mukminun ayat 61: “Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.”
Menyegerakan qadha puasa disunahkan karena seorang hamba sebaiknya segera melunasi hutang ibadahnya kepada Allah. Sebab, ia tidak tahu kapan maut akan menjemput.
Kendati demikian, sebenarnya melaksanakan qodho dibolehkan untuk ditunda jika ada hajat atau urusan lain. Qadha dapat dilakukan mulai dari bulan Syawal hingga bulan Syaban, asalkan belum masuk Ramadan berikutnya.
Dalil mengenai dibolehkannya menunda qadha berdasarkan hadis dari Abu Salamah yang mengaku pernah mendengar Aisyah RA menyatakan: “Aku masih memiliki utang puasa Ramadan. Aku tidaklah mampu meng-qadhanya, kecuali di bulan Syaban.” Yahya (salah satu perawi hadis) mengatakan bahwa hal ini dilakukan Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi Saw. (HR Bukhari dan Muslim).
Selain itu, menunaikan puasa qadha juga dibolehkan tidak berturut-turut. Ketentuan ini berlaku bagi mereka yang memiliki hutang puasa Ramadhan lebih dari satu hari.
Misalnya, jika hutang puasa karena perjalanan sebanyak 10 hari, dibolehkan meng-qadha puasa dua hari di bulan Syawal, lima hari di Dzulhijjah, dan tiga hari pada bulan Syaban.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT di surat Al-Baqarah ayat 185: “Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
Selain itu, Syekh Abdurrazaq dalam Mushannaf (1972, jilid 4) juga mengutip pernyataan Ibnu Abbas yang mengatakan: “Tidak mengapa jika (dalam mengqada puasa) tidak berurutan.”
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Addi M Idhom