tirto.id - Terdapat beberapa golongan yang dapat tidak mengerjakan puasa pada bulan Ramadan. Salah satu di antaranya ad alah ibu hamil dan menyusui karena khawatir kesehatan fisiknya atau sang bayi terganggu jika berpuasa.
Pada dasarnya, hukum ibadah puasa Ramadan untuk umat Islam yang mukallaf adalah wajib. Puasa sendiri termasuk ke dalam rukun Islam. Kewajiban melaksanakan puasa termaktub dalam Surah al-Baqarah:183, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
Akan tetapi, terdapat rukhsah (keringanan) bagi ibu hamil dan menyusui. Jumhur ulama bersepakat bahwa ibu hamil dan menyusui yang khawatir dengan kandungannya memperoleh keringanan boleh meninggalkan puasa. Namun sebagai gantinya, ia harus mengqada puasa (menggantinya) di luar bulan Ramadan sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkan.
Nabi Muhammad bersabda, "Sungguh Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia telah membebaskan puasa dan separuh salat bagi orang yang bepergian, dan membebaskan pula dari puasa orang hamil dan orang yang menyusui.” (H.R. al-Khamsah).
Qadha Puasa untuk Ibu Hamil/Menyusui
Ibu hamil atau menyusui yang tidak dapat berpuasa pada bulan Ramadan terbagi dalam tiga kelompok. Yang pertama, ibu hamil/menyusui yang khawatir terhadap kesehatan dirinya sendiri jika berpuasa. Yang kedua, ibu hamil/menyusui yang khawatir terhadap kesehatan janin/bayinya jika berpuasa. Yang terakhir, ibu hamil/menyusui yang khawatir akan kesehatan dirinya dan janin/bayi andai berpuasa.
Untuk kelompok pertama dan kedua, ibu hamil atau menyusui tersebut dapat meninggalkan puasa Ramadan, kemudian mengqadanya sejumlah hari yang ditinggalkan, di luar bulan Ramadan.
Sedangkan kelompok ketiga, selain mengqada puasa di luar Ramadan, juga membayar fidyah sejumlah hari yang ia tinggalkan.
Abdurrahman al-Juzairi dalam al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah berpendapat, "Mazhab syafii berpendapat, bahwa perempuan hamil dan menyusui ketika dengan puasa khawatir akan adanya bahaya yang tidak diragukan lagi, baik bahaya itu membahayakan dirinnya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja. Maka dalam ketiga kondisi ini mereka wajib meninggalkan puasa dan wajib meng-qada-nya. Namun, dalam kondisi ketiga yaitu ketika puasa itu dikhawatirkan memmbayahakan anaknya saja maka mereka juga diwajibkan membayar fidyah”.
Fidyah Puasa untuk Ibu Hamil/Menyusui
Sementara itu, fatwa dari dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang merujuk pada pendapat ulama Mazhab Hanafiyah menuliskan bahwa perempuan hamil atau menyusui yang tidak berpuasa secara penuh pada Ramadan wajib menggantinya dengan membayar fidyah sejumlah hari ia tidak berpuasa. Selanjutnya, ia tidak perlu mengganti puasa tersebut pada hari lain selepas bulan Ramadan.
Fatwa ini dirujuk dari firman Allah Swt dalam Surah al-Baqarah ayat 184, "Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya [jika mereka tidak berpuasa] membayar fidyah, [yaitu] memberi makan seorang miskin.”
Besaran Fidyah untuk Ibu Hamil/Menyusui
Berapa besaran fidyah yang wajib dibayarkan perempuan hamil dan menyusui yang tidak berpuasa? Diriwayatkan dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar Ra. pernah ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya (jika puasa). Beliau menjawab, "Dia boleh berbuka dan memberi makan orang miskin dengan satu mud gandum halus sebanyak hari yang dia tinggalkan." (H.R. Baihaqi).
Hadis di atas menerangkan bahwa takaran fidyah yang dibebankan bagi orang yang tidak mampu berpuasa adalah sebanyak satu mud atau setengah sha'. Pernyataan gandum di atas merupakan bentuk makanan pokok yang lazim dikonsumsi masyarakat saat itu. Sementara di wilayah lain, pembayaran fidyah disesuaikan dengan makanan pokok dan selayaknya ditambahkan dengan lauk pauk yang lazim dikonsumsi masyarakat bersangkutan.
Majelis Tarjih & Tajdid PP Muhammadiyah menyebutkan, besaran fidyah adalah bahan pangan 6 ons beras. Bahan pangan ini dapat diganti dengan uang senilai bahan pangan tersebut.
Selai itu, pemayaran fidyah dapat dilakukan secara sekaligus (total sesuai jumlah hari puasa yang ditinggalkan) atau setiap hari setiap meninggalkan puasa. Fidyah ini dapat dibayarkan di muka sejak awal Ramadan, atau dibayar belakangan. Namun, tidak dapat diberikan sebelum Ramadan.
Fidyah dapat diberikan kepada satu orang miskin saja. Bila pemberian berupa makanan siap santap, dapat dilakukan sehari untuk seluruh hari puasa yang ditinggalkan, dengan menjamu makan orang miskin sejumlah hari Ramadan yang tidak dikerjakan puasanya.
Sementara itu dalam "Fidyah (Tebusan) Bagi yang Tak Dapat Berpuasa" oleh Arwani Faishal, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Mas’ail PBNU, 1 mud setara dengan 0,6 kg atau 3/4 liter beras untuk satu hari puasa. Fidyah dapat diberikan dengan berupa uang.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Fitra Firdaus