tirto.id - Pertengahan April 1902, tak seperti biasanya pelabuhan Semarang sangat riuh. Seorang petinggi dari negeri Belanda akan segera turun dari kapal diiringi sambutan para wartawan surat kabar Belanda. Orang itu bernama Henri Hubertus Van Kol, anggota Parlemen Kerajaan Belanda sekaligus salah seorang pemimpin Partai Buruh Sosialis-Demokrat Belanda.
Dalam perjalanan dinasnya mengelilingi Hindia Belanda, Van Kol sempat singgah di Jepara untuk menemui Kartini. Berdasarkan penuturan Sitisoemandari dalam Kartini Sebuah Biografi (1979: hlm. 254), keinginan untuk berjumpa dengan putri Bupati Jepara itu timbul atas dorongan dari Stella H. Zeehandelaar, aktivis sosialis perempuan sekaligus sahabat pena Kartini di Belanda.
Sitisoemandari mendeskripsikan Van Kol sebagai sosok besar dan tegap. Mengutip pengarang W.H. Vliegen, ia menyebut Van Kol memiliki pengaruh “magis” dalam kepribadiannya sebagai pemimpin. Pengaruhnya ini terutama sangat dirasakan di kalangan kaum buruh. Selain mereka, para bupati termasuk Ayah Kartini pun disebutkan sangat menaruh hormat pada sosok tersebut.
Van Kol bukan orang baru di Hindia Belanda. Pada tahun 1876, ia pernah bekerja di Tegal, Jawa Tengah, sebagai tenaga ahli pemerintah kolonial Belanda. Kala itu, ia menyaksikan diskriminasi yang mewarnai kehidupan kelas menengah ke bawah di negara koloni. Namun, ia tidak mengkritik pemerintah kolonial dan tetap bertahan melakoni pekerjaannya selama hampir 16 tahun. Pada 1892, Van Kol akhirnya memutuskan pulang ke Belanda.
Setelah kembali ke negerinya, Van Kol tak berdiam diri lagi. Pada 1894 ia mendirikan Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) atau Partai Buruh Sosial-Demokrat bersama 11 orang cendekiawan lainnya. Salah satu tujuan pembentukannya ialah meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi di negara-negara koloni.
Menurut tulisan Fritjof Tichelman yang dihimpun dalam buku Internationalism in the Labour Movement: 1830-1940 (1988: hlm. 104), Van Kol melalui SDAP berulang kali melancarkan kritik terhadap kebijakan Pemerintah Belanda terkait tanah Hindia Belanda. Dalam tuntutannya, SDAP meminta agar Pemerintah Belanda menghentikan Perang Aceh dan menghapus kerja paksa.
Mereka juga menunjukkan dukungannya kepada pergerakan yang menuntut perubahan harkat kehidupan masyarakat kecil di Hindia Belanda. Bukan hanya orang-orang Belanda dan kelompok Indo yang menerima dukungan ini, tapi juga orang-orang Jawa yang tergabung dalam Indische Partij, Budi Utomo, dan Sarekat Islam.
Sosialisme di Tanah Jajahan
Menurut Van Kol, pembentukan kelompok diskusi atau organisasi sosialis di negara-negara koloni sudah sepatutnya dilakukan. Menurut Preben Kaarsholm dalam antologi Internationalism in the Labour Movement: 1830-1940 (hlm. 59-60), resolusi ini pertama kali ia utarakan dalam sebuah kongres Internasional di Paris pada September 1900.
Namun, menurut Tichelman, SDAP selalu bersikap ragu-ragu menanggapi usulan Van Kol. Mereka masih menganggap Hindia Belanda sebagai teritori yang tertutup dan kurang memiliki manfaat bagi kepentingan politik negara induk.
Empat tahun setelah pidato di Paris, Van Kol kembali mempertegas resolusinya. Melalui panel dalam kongres tahun 1904 di Amsterdam, ia menyebut, “Kolonialisme pada hakikatnya diperlukan, jika tidak menyenangkan, fakta yang harus diterima bahkan di bawah sosialisme.”
Awal abad ke-20, pengaruh SDAP sudah mulai terasa di Hindia Belanda. Perkumpulan sosialis di Hindia Belanda disebutkan sudah mulai berkegiatan sejak tahun 1902. Lingkaran ini bahkan sempat membentuk Kontributie Vereeniging (perkumpulan penyumbang) yang ditujukan untuk menggalang dana bagi SDAP yang akan mengikuti pemilu pada 16 Juni 1905 di Belanda.
Meskipun tidak berhasil memenangkan Pemilu 1905, SDAP tidak lantas kehilangan pamor. Sebaliknya, memasuki 1910-an partai ini semakin besar. Di saat yang bersamaan, SDAP juga mulai bersentuhan dengan kelompok Indo dan orang-orang pribumi terpelajar yang merantau ke Belanda.
SDAP dan Indische Partij
Berdasarkan catatan Pradipto Niwandhono dalam Yang Ter(di)lupakan: Kaum Indo dan Benih Nasionalisme Indonesia (2011: hlm. 136), dunia pergerakan di Hindia Belanda mulai mengarah radikalisme saat memasuki tahun 1912. Di tahun itu, Douwes Dekker muncul mewakili golongan Indo miskin dan pribumi melalui kampanye politik yang diadakan dewan kotapraja Bandung.
Ia kemudian membentuk Indische Partij (IP) bersama kawan-kawan Indonya. Namun, karena Politik Etis telah menempatkan orang Indo dan pribumi dalam posisi bersaing, IP tidak berhasil meraih dukungan dari orang-orang pribumi.
Untuk mengatasi hal itu, IP lantas mengajak beberapa orang pribumi dari kalangan terpelajar. Menjelang tutup tahun 1912, Douwes Dekker berhasil mengajak Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat untuk turut dalam kegiatan politik IP. Maka lahirlah Tiga Serangkai.
Menurut Pradipto, IP banyak berafiliasi dengan serikat buruh pekerja. Keanggotaannya bersifat campuran antara orang Indo dan pribumi. Sebagian besar basis massa proletar ini datang dari wilayah keanggotaan di sekitar Semarang. Sebanyak 90 persen keanggotaan IP Semarang diisi oleh orang-orang dari serikat buruh kereta api.
Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950 (2008: 89) menjelaskan bahwa antara IP dan SDAP sudah terjalin ikatan kerjasama sebelum tahun 1913. Peristiwa dibubarkannya IP dan pengasingan para pemimpinnya oleh pemerintah kolonial ke negeri Belanda, memberikan kesempatan kepada SDAP untuk mendekati Tiga Serangkai.
“Konsultasi yang luas pun diadakan dengan anggota Parlemen dari SDAP sebagai persiapan menghadapi perdebatan di Parlemen mengenai pengasingan itu. Namun, hanya SDAP yang tampil membela tiga serangkai itu,” tulis Poeze.
Kedatangan Tiga Serangkai di Belanda diterima dengan penuh rasa hormat oleh orang-orang SDAP. Bahkan menurut temuan Poeze, sehari setelah menginjakkan kaki di Belanda, organ SDAP Het Volk, langsung mendedikasikan satu halaman penuh untuk memuat cerita perlakuan tidak adil pemerintah kolonial terhadap ketiganya.
Pada tahun 1917, Soewardi memutuskan bergabung dengan harian Het Volk. Di sana, ia berkesempatan melaporkan jalannya rapat-rapat SDAP dan melakukan tinjauan panjang mengenai masalah Hindia Belanda. Poeze menyebut hubungan Soewardi dan SDAP semakin akrab berkat tulisan berjudul “Suara Seorang Hindia” yang didedikasikan untuk memperingati hari ulang tahun SDAP yang ke-25.
“Banyaklah kita kaum nasionalis Hindia berhutang budi kepada partai ini. Bukankah kaum sosial-demokrat yang di bawah pimpinan Van Kol di Parlemen Belanda selalu bersikap jelas membela kepentingan kita terhadap borjuasi Belanda?!” tulis Soewardi seperti dikutip oleh Poeze.
Tulisannya itu mengundang beragam reaksi. Banyak yang menegurnya karena melayangkan simpati kepada SDAP secara terbuka. Kebetulan di saat yang bersamaan, SDAP tengah terguncang akibat perseturuan dengan Sociaal-Democratische Partij (SDP) atau Partai Sosial Demokrat, kelompok sosialis revolusioner cikal bakal partai komunis Belanda.
Namun, tampaknya Soewardi tidak terganggu dengan perseturuan orang-orang sosialis Belanda. Dengan cara yang moderat, ia menjelaskan pandangannya dalam sebuah tulisan tanggal 9 Juli 1918.
“Tidak boleh dilupakan bahwa dari persekutuan dengan SDAP, orang Hindia dapat mencapai lebih banyak hal, sebab kami ingin memperoleh kekuatan politik dan pengaruh di Parlemen,” tulis Soewardi.
Editor: Irfan Teguh