tirto.id - Mereka mengirim sepasukan pilot untuk membombardir Alaska (Invasion USA, 1952) kemudian mengembangkan senjata rudal pemusnah massal (Dr. Strangelove, 1964). Setelah berduel dengan Sylvester Stallone (Rocky IV dan Rambo First Blood Part II, 1985), mereka menyusup ke Pentagon (No Way Out, 1987). Beberapa lantas memutuskan melarikan diri ke luar negeri karena merasa dikekang oleh pemerintah sendiri (The Hunt for Red October, 1990).
Tentu Anda tahu siapa “mereka”: orang dari Rusia atau daerah yang terpengaruh Uni Soviet.
Film-film di atas adalah representasi paling lugas bagaimana, dalam konteks Perang Dingin, industri perfilman AS membentuk wajah rezim komunis Soviet sesuai kebutuhan mereka: jahat, bengis, dan penuh penindasan.
Narasi serupa turut digaungkan James Bond, waralaba spionase asal Inggris. Salah satu karakter penjahat Rusia paling awal adalah Rosa Klebb, perempuan tua sadis bermuka masam (From Russia with Love, 1963). Karakter antagonis lain, Jenderal KGB Anatoly Gogol, muncul di enam film sepanjang dekade 1970-1980-an. Ada pula Anya Amasova, agen perempuan KGB yang tak sampai hati membunuh Bond karena telanjur jatuh cinta padanya (The Spy Who Loved Me, 1977).
Frekuensi penjahat Rusia di film-film AS-Inggris mulai berkurang setelah Tembok Berlin runtuh pada 1989—juga dianggap simbol keruntuhan komunisme. Hanya ada beberapa film yang masih mempertahankan itu, misalnya GoldenEye (1995). Sementara dalam Air Force One (1997), aktor kenamaan Inggris, Gary Oldman, memainkan lakon orang Rusia yang membajak pesawat milik Presiden AS.
Tren berkurangnya penjahat Rusia di layar kaca terus berlanjut setelah serangan teroris Al-Qaeda pada 11 September 2001. Menurut grafik yang disusun Shelly Tan dari Washington Post, jumlah film box office yang mengangkat tokoh penjahat Rusia sejak 2000 rata-rata hanya satu atau dua setiap tahun.
Sebagai gantinya, karakter keji disematkan ke kelompok etnis lain: orang Arab atau muslim asal Timur Tengah.
Tan juga menyinggung munculnya tren penjahat muda narsis nan ambisius dari sektor teknologi dengan gaya berpakaian santai—atau istilah gaulnya “Tech Bros”. Contohnya adalah programmer Nathan Bateman yang kelak dibunuh robot-manusia buatannya sendiri (Ex Machina, 2014), Lex Luthor versi muda yang diperankan Jesse Eisenberg (Batman v. Superman, 2016), sampai pengembang aplikasi gim Antwan Hovachelik (Free Guy, 2021).
Kemunculan Kembali Penjahat Rusia
Meski bermunculan banyak karakter jahat lain, bukan berarti antagonis asal Rusia hilang sama sekali. Mereka tetap konsisten bermunculan tak lama setelah tragedi 9/11. Kebiasaan menempatkan orang Rusia sebagai penjahat ternyata telah mengakar kuat di Hollywood. Para sineasnya terbukti gagal move on.
Salah satu yang tampil paling awal adalah agen KGB—diperankan aktris Australia, Cate Blanchett—yang berebut artefak langka dengan arkeolog kebanggaan AS (Indiana Jones and the Kingdom of the Crystal Skull, 2008). Tak lama kemudian, penjahat asal Rusia yang juga pakar fisika, Ivan Vanko/Whiplash, muncul sebagai musuh superhero Marvel yang diperankan Robert Downey Jr. (Iron Man 2, 2010).
Memasuki dekade kedua abad ke-21, ilmuwan nuklir sekaligus teroris propemerintah Rusia hadir sebagai musuh Tom Cruise (Mission: Impossible—Ghost Protocol, 2011). Ada pula teroris yang dimodali oleh oligark Rusia untuk meluluhlantakkan Wall Street agar AS tak lagi mendominasi ekonomi dunia (Jack Ryan: Shadow Recruit, 2014).
Dalam The Equalizer (2014), orang Rusia masih jadi “mafia tradisional” yang diburu Denzel Washington karena suka membantai orang-orang tak bersalah. Di John Wick (2014), mereka tega membunuh anjing peliharaan Keanu Reeves. Mereka bisa menjelma jadi agen rahasia cantik nan sensual sebelum akhirnya membelot ke kubu Paman Sam dalam Red Sparrow (2018) dan Black Widow (2021).
Cerita berlatar Soviet tentu masih diungkit. Misalnya drama sejarah yang disutradarai Steven Spielberg (Bridge of Spies, 2015). Di situ Tom Hanks memerankan tokoh pengacara bermoral tinggi yang menegosiasikan penukaran tawanan Soviet dengan pilot AS. Kisah pada era tersebut masih menampilkan mafia yang gambarannya begitu brutal sampai bisa membunuh orang dengan papan skateboard (Atomic Blonde, 2017).Kelak laki-laki itu mati mengenaskan di tangan karakter utama, mata-mata perempuan yang bekerja untuk badan intelijen AS.
Latar era Soviet dipakai pula dalam serial The Americans (2013-2018) yang berkisah tentang agen Soviet yang menyamar sebagai suami-istri di Washington pada era kepresidenan Ronald Reagan sepanjang dekade 1980-an. Musim ketiga serial fiksi sains The Stranger Things (2019)produksi Netflix turut menyertakan tokoh ilmuwan Soviet yang ingin membelot ke AS.
Masih dari Netflix, drama komedi GLOW (2017-2019) mengisahkan dunia panggung hiburan perempuan pegulat era 1980-an. Karakter antagonisnya bernama Zoya si Penghancur yang punya aksen bahasa Rusia kental. Pasangan duelnya bernama Americana, tokoh yang terang-terangan melambangkan citra patriotik orang AS.
Gara-Gara Putin?
Apa sebab penjahat Rusia muncul lagi? James Chapman, dosen Kajian Film di University of Leicester, mengatakan kepada BBCpada 2014 silam bahwa hal ini tak terlepas dari tindak tanduk negara tersebut di bawah pemerintahan Vladimir Putin.
Rezim yang garang, ditambah dengan karut-marut yang mereka timbulkan di Ukraina, menimbulkan kesan bahwa “Rusia tetaplah ancaman geopolitik [bagi AS] dan negara yang agresif—terlepas mereka sudah bukan negara komunis.”
Salah satu momen penting terjadi pada 2012. Pada tahun inilah pengamat mulai menyorot potensi Putin sebagai pemimpin berbahaya. Pada saat itu untuk kali ketiga Putin memenangkan kursi presiden dalam pemilu yang disebut-sebut marak kecurangan. Ia bisa berkuasa lebih lama karena konstitusi diubah.
Semua oposisi gusar, dari mulai komunis, nasionalis, sampai liberal pro-Barat. Pun dengan masyarakat. Setahun sebelumnya, meledak protes antipemerintah terbesar sejak keruntuhan Soviet untuk memprotes kecurangan dalam pemilu legislatif yang dimenangkan partai penyokong Putin, United Russia.
Pada pertengahan 2012, Von Georg Diez, Walter Mayr, dan Matthias Schepp menulis di Der Spiegel bahwa Putin “dengan cepat mengubah Rusia jadi negara represif yang mengingatkan pada Uni Soviet.” Di bawah pemerintahannya, para oposisi ditahan, digeledah, didakwa oleh jaksa sesuai pesanan atasan dan diinterogasi secara intimidatif. “Selama ini sudah ada tanda-tanda bahwa Putin yakin dirinya bisa menjalankan tugas [sebagai pemimpin] dengan kekerasan dan kekejaman.”
Selain memperkuat cengkeraman di dalam negeri, Putin juga berambisi memperluas dominasi politik dan militer Rusia ke luar negeri sekaligus menangkal pengaruh NATO di kawasan eks-Soviet. Ini ditunjukkan dengan invasi ke Georgia pada 2008 dan dukungan mereka terhadap gerakan separatis di timur Ukraina yang berujung pada pencaplokan Krimea pada 2014.
Intervensi ke Suriah pada 2015 untuk menyokong rezim Bashar al-Assad dalam menumpas gerakan pemberontak bisa pula dilihat sebagai upaya Rusia unjuk kekuatan militer di luar teritorial eks-Soviet. Sepak terjang Rusia bahkan tercium di AS. Polisi dan intelijen negara tersebut mendapati campur tangan Rusia dalam pemilu presiden 2016.
Unjuk kekuatan terakhir yang Rusia lakukan tidak lain adalah menginvasi Ukraina pada akhir Februari silam—yang hingga naskah ini ditulis sudah menelan sedikitnya 4.000 korban sipil.
Rekam jejak agresif Rusia di bawah komando Putin membuat negeri tersebut jadi objek yang sulit disukai politikus barat. Presiden AS Joe Biden sampai menyebut Putin penjahat perang, dan keceplosan bilang eks-agen KGB tersebut tak bisa dibiarkan terus berkuasa (maksudnya: pantas untuk dilengserkan).
Sentimen negatif juga muncul dari publik. Survei Pew Research Center yang rilis pertengahan April kemarin menyebut 70 persen responden memandang Rusia sebagai musuh AS. Angka ini meningkat dari 41 persen pada Januari, atau sebulan sebelum invasi Ukraina. Opini publik AS tentang Rusia secara umum pun negatif. Sebanyak 92 persen responden mengaku punya pandangan jelek tentang Rusia.
Menghadirkan film dengan penjahat yang memang tak disenangi publik, tentu saja, merupakan strategi bisnis bagus.
Nostalgia atau Memang Susah Move On Saja
Ada analisis lain soal mengapa penjahat Rusia kembali banyak muncul di film-film. Itu terkait dengan nostalgia masa lalu, menurut Vesta Silva dan Jon Wiebel dalam esai berjudul “The Warm Glow of Cold War Nostalgia” di buku Cold War II: Hollywood's Renewed Obsession with Russia (2020).
Melalui analisis terhadap film Bridge of Spies (2015) dan Atomic Blonde (2017)—yang sama-sama mengambil latar Perang Dingin—Silva dan Wiebel menganggap narasi-narasi Perang Dingin sengaja diangkat dalam film belakangan ini untuk meyakinkan dan menenangkan masyarakat AS bahwa bangsa mereka masih superior, tetap number one.
Perasaan tersebut sebelumnya sudah terpelihara dengan baik selama era Perang Dingin, ketika konflik-konflik geopolitik disederhanakan dan dimaknai sempit sebatas perseteruan antara kubu komunis vs kapitalis, benar vs salah, dan baik vs buruk.
Hollywood tengah berupaya membangkitkan lagi perasaan yang disebut penulis senior Tom Engelhardt sebagai “budaya kemenangan”. Budaya kemenangan terdiri dari nilai-nilai kebanggaan AS seperti keunggulan militer, kebenaran moral, sampai eksepsionalisme (pandangan bahwa AS adalah bangsa yang tiada duanya).
Membangkitkan kembali kenangan terhadap situasi “pasti” era Perang Dingin—karena AS digambarkan selalu menang—dianggap penting karena sekarang situasi geopolitik dunia kian bergejolak, serba tidak pasti, dan tidak stabil. Dari mulai rezim otokratik yang mulai bermekaran, pertumbuhan pesat ekonomi Cina, sampai terorisme atas nama agama. Belum lagi isu-isu domestik seperti inflasi, tingkat pengangguran tinggi, hingga imigran.
Singkat kata, karakter penjahat Rusia di film-film—yang kelak dipermalukan dan dikalahkan oleh jagoan AS—bisa jadi pelipur lara untuk masyarakat negeri adidaya yang tengah merasa galau dalam ketidakpastian dunia.
Ada pula yang menganggap karakter penjahat Rusia terus disodorkan ke penikmat film karena industri Hollywood memang sudah berada di zona nyaman. Hal ini misalnya disampaikan oleh Bryn Upton, dosen dan penulis buku Hollywood and the End of the Cold War (2014).
Dalam wawancara yang terbit di Thrillist pada 2016 silam, Upton mengatakan bahwa ia tak menampik industri perfilman AS kaya inovasi. Namun, pada waktu yang sama, mereka tetap berpegang pada pakem atau aturan-aturan lama karena itulah cara yang dipandang paling aman dan cepat untuk menghasilkan uang.
Hollywood tetaplah industri yang berorientasi bisnis, katanya. Artinya, segala cara akan dilakukan agar orang mau membeli tiket film yang mereka buat, termasuk menyisipkan tokoh penjahat Rusia dengan aksen bahasa kental—dari Boris Badenov (karakter serial kartun tahun 1959-1964) sampai Ivan Drago (petinju lawan Sylvester Stallone dalam Rocky IV, 1985)—yang citra negatifnya sudah familier di telinga khalayak AS dan penikmat hiburan AS di penjuru dunia.
Menyematkan karakter-karakter tersebut dalam film-film sekarang, menurut Upton, tak lebih dari “kebiasaan lama yang sulit dihapus” oleh para penulis Hollywood.
Apa pun motivasi sebenarnya, seiring kecaman yang kian lantang ditujukan ke otoritas Rusia, karakter penjahat dari negara itu sangat mungkin masih akan kita temui di produk Hollywood dalam beberapa tahun ke depan.
Editor: Rio Apinino