tirto.id - Presiden Rusia Vladimir Putin mendeklarasikan perang terhadap Ukraina pada Kamis 24 Februari dengan dalih “operasi militer khusus.” Alasan invasi yang ia sampaikan cukup beraneka ragam.
Ia menjustifikasi serangan dengan menyatakan The North Atlantic Treaty Organization (NATO) telah berkhianat karena—menurut persepsinya sendiri—pernah berjanji tidak akan berekspansi, merasa bukan satu-satunya pihak yang pernah melancarkan perang, sampai menuding sejumlah warga Rusia yang tinggal di Ukraina sudah jadi korban “genosida” oleh rezim “Neo-Nazi”.
Terlepas dari pembenaran yang terdengar heroik tersebut, petualangan Putin sudah menewaskan ratusan warga sipil di Ukraina, belum lagi ratusan ribu orang terpaksa menjadi pengungsi di Polandia, Rumania, Hungaria, dan Slovakia.
Di dalam negeri, invasi memicu protes massal, dari mulai Moskow, St. Petersburg, sampai Siberia. Demonstrasi antiperang ini direspons dengan penangkapan. Menurut lembaga hak asasi OVD-Info, polisi sudah menahan 6.440 orang sampai akhir Februari. Warga juga membanjiri bank dan mesin ATM mengambil uang tunai, khawatir dengan dampak ekonomi yang bakal terjadi akibat sanksi dari dunia internasional. Bank Sentral Rusia melaporkan pada hari perang dicetuskan saja uang yang ditarik mencapai 111 miliar rubel atau lebih dari Rp15 triliun.
Bukan berarti sebelum Putin mendeklarasikan perang situasi Rusia baik-baik saja. Kekacauan telah terjadi sejak lama.
Demo Antipemerintah & Pembungkaman Oposisi
Sejak awal 2021, kepemimpinan Putin kian rapuh karena digoyang oleh massa yang jengah dengan maraknya represi terhadap oposisi politik. Pada Januari tahun lalu, demonstrasi yang disebut-sebut paling masif sejak aksi 2011-2013 terjadi. Ketika itu demonstran memprotes penahanan tokoh oposisi sayap kanan Alexei Navalny. Sementara demonstrasi 2011-2013 terkait dengan protes hasil pemilu curang yang membuat Putin kembali terpilih.
Dalam demonstrasi Januari tahun lalu 11 ribu demonstran ditahan. Bukan hanya itu, muncul pula laporan tentang perlakuan tidak manusiawi dari aparat: dari mulai pemukulan, penyiksaan dengan alat kejut listrik, melarang makan dan minum atau ke toilet sampai 16 jam, bahkan mengancam memerkosa demonstran perempuan.
Tapi toh demonstrasi tak surut. Ia kembali mencuat pada April. Demonstrasi tak lagi sekadar ekspresi dukungan kepada Navalny—yang tengah dipenjara dan dalam kondisi kesehatan memprihatinkan—tapi telah menjadi luapan amarah yang lebih luas terhadap pemerintah.
“Pada bagian pembuka di konstitusi, tertulis bahwa kami punya kebebasan, namun kenyataannya tidak,” ujar Anna (19), seorang mahasiswa, di Moskow, kepada Washington Post. Demonstran lain, Galina (80) menyebut Putin sudah merebut “seluruh harapan dan mimpi kami” yang ingin pemimpin baru. Putin mengizinkan dirinya sendiri untuk berkuasa sampai 15 tahun lagi lewat konstitusi baru.
Mengutip Open Democracy, demonstran juga bicara tentang melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin, upah rendah, elite yang hanya memikirkan harta, kenaikan harga barang, sampai kurangnya jaminan sosial bagi lansia.
Menjelang akhir tahun, ketakutan Kremlin terhadap mereka yang dianggap ancaman semakin menjadi, dibuktikan dengan represi yang kian jelas. Sergei Zuev, dosen senior di Shaninka University, Moskow, misalnya, ditahan atas tuduhan penipuan uang. Tapi publik percaya Zuev ditangkap untuk merepresi kampus independen yang menawarkan kajian sosial kritis.Aktivis yang pernah bekerja untuk organisasi Navalny, Lilia Chanysheva, juga ditahan karena dituduh “menciptakan komunitas ekstremis.”
Desember kemarin, LSM HAM tertua di Rusia (didirikan pada 1987), Memorial International, dibubarkan lewat putusan Mahkamah Agung. Pengadilan menuduh Memorial telah “menciptakan gambaran keliru tentang Uni Soviet sebagai negara teroris” dan menjadi “agen asing” karena menerima donasi dari luar negeri. Memorial dikenal karena advokasinya dalam mengungkap kejahatan kemanusiaan pada era Joseph Stalin dan kasus-kasus terkait tawanan politik era Rusia modern.
Pandemi Covid-19 & Kesulitan Ekonomi
Kremlin juga berada di bawah tekanan akibat maraknya gerakan antivaksin Covid-19 memasuki pengujung 2021. Administrasi Putin tentu ingin mendorong percepatan vaksinasi, namun pada waktu sama merasa perlu berhati-hati karena mandat vaksin berpotensi menurunkan kepuasan publik terhadap sang presiden.
Dilansir dari media independen Meduza, riset oleh kantor presiden mengungkap gerakan antivaksin berkaitan dengan turunnya tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah dan popularitas Putin. Temuan itu dikonfirmasi oleh dinas intelijen yang mendapati tingkat kepuasan terhadap Putin di Distrik Federal Volga hanya 20-30 persen, padahal sebelum pandemi masih berkisar 35-40 persen.
Apa yang kemudian dilakukan Kremlin adalah berusaha memutus ikatan antara Putin dengan upaya vaksinasi massal. Masih menurut Meduza, caranya adalah dengan mengoordinasikannya di level daerah, alih-alih langsung pusat yang menerbitkan regulasi. Di kawasan Sverdlovsk, contohnya, muncul regulasi yang mewajibkan warga menunjukkan paspor vaksin dengan kode QR sebelum diperbolehkan beli minuman beralkohol.
Administrasi Putin juga khawatir popularitas sang presiden turun gara-gara RUU yang mewajibkan penumpang kereta atau pesawat menunjukkan sertifikat vaksin berbasis kode QR. RUU ini ditolak oleh sejumlah masyarakat, sekaligus menimbulkan perpecahan dalam kabinet. Akhirnya pembahasan RUU ini dihapuskan dari agenda rapat parlemen Duma pada Desember silam.
Selain perkara vaksin, Kremlin juga dihadapkan pada jumlah kasus infeksi yang meroket sepanjang Januari-Februari, persis ketika mereka menarik perhatian dunia dengan membuat panas perbatasan dengan Ukraina. Pada 11 Februari, jumlah kasus menembus 200 ribu atau tertinggi sejak awal pandemi. Jumlah warga Rusia 144 juta jiwa atau kira-kira setengah dari populasi Indonesia, akan tetapi total kasusnya mencapai 16,5 juta atau 3 kali lipat dibanding di sini. Sementara angka kematian tempus 350 ribu jiwa atau dua kali lebih besar daripada Indonesia.
Di samping krisis kesehatan, situasi keuangan warga kelas menengah ke bawah juga memprihatinkan. Seorang pensiunan di Siberia, Gulsina Zhemaletdinov (60), bercerita kepada Reuters pada Desember silam bahwa uangnya tidak cukup untuk menyambut liburan Natal dan Tahun Baru. “Kami membeli dan mengonsumsi sisa makanan yang seharusnya buat anjing,”kata Zhemaletdinov, yang masih harus berjualan buah dan madu di pasar untuk menambah pemasukan. Uang pensiun bulanannya, 9 ribu rubel (Rp 1,2 juta), habis untuk membayar biaya utilitas seperti listrik dan air.
Inflasi pada 2021 mencapai 8,4 persen, dua kali lipat dari target pemerintah sekaligus peningkatan terpesat sejak krisis ekonomi 2015. Harga makanan meningkat lebih dari 10 persen, sementara besar pendapatan sehari-hari rumah tangga—sebagai indikator standar hidup—turun 10 persen sejak 2013.
Kenaikan harga memang paling dikhawatirkan publik, di atas isu kemiskinan dan pengangguran, menurut temuan lembaga survei Levada Oktober silam.
Demi Mengalihkan Perhatian Publik?
Beberapa tahun terakhir, kerap muncul dugaan bahwa Putin gemar bikin heboh di luar negeri jika sedang dihadapkan banyak masalah di dalam negeri. Dalam ilmu politik, ini biasa dikenal sebagai teori “diversionary wars”.
Dugaan ini misalnya disampaikan oleh Alex Ireland di Young European Networks. Menurutnya kebijakan luar negeri Putin “ditujukan untuk pemirsa domestik dan bertujuan untuk memperkuat kekuasaan.” Ini semua dimulai persisnya sejak pencaplokan Krimea pada 2014, yang memang bertepatan dengan awal kemerosotan ekonomi Rusia.
Mikheil Saakashvili, mantan presiden Georgia sekaligus musuh lama Putin, juga berpandangan demikian. “Ketika popularitas Putin di dalam negeri turun, ia akan mengeskalasi konflik yang sedang berlangsung atau melancarkan serangan baru,” katanya diForeign Policy 2019 lalu.
“Menyerang tetangga yang lebih lemah bisa mendorong popularitas [pemerintahan Putin] dengan lebih cepat dan murah daripada memperbaiki sistem layanan kesehatan Rusia yang rusak parah,” tambahnya.
Dengan kata lain, mencaplok teritori negara lain (Ossetia Selatan di Georgia, Krimea, area Donbas di timur Ukraina,) sebenarnya bukan tujuan akhir, melainkan sekadar cara untuk “memperkuat cengkeramannya pada tuas kekuasaan di Rusia.”
Jika memang itu tujuannya, maka Putin bisa dibilang berhasil. Setelah menganeksasi Krimea, menurut jajak pendapat yang dikutip Saakashvili, popularitasnya meningkat dari 61 persen jadi 80-an persen. Namun setelah itu tren kembali turun, terutama sejak pemerintah memberlakukan kebijakan tidak populer reformasi dana pensiun pada 2018.
Menurut temuan lembaga survei independen Levada yang rilis pada Oktober 2021, persentase responden yang percaya pada Putin hanya 53 persen. Angka tersebut tergolong yang paling rendah sejak 2012.
Jadi, mungkinkah Putin sengaja menginvasi Ukraina untuk mengalihkan perhatian rakyat dari problematika domestik sebagaimana teori “diversionary wars”?
Polina Beliakova dalam artikel How does the Kremlin kick when it’s down? (2019) tidak setuju dengan pandangan tersebut. Ia membantahnya dengan menggunakan grafik tingkat kepuasan publik terhadap kebijakan domestik dan ekonomi selama satu dekade terakhir. Dari sana terlihat bahwa dukungan terhadap administrasi Putin relatif sudah tinggi sebelum serangan Rusia ke Georgia (2008), aneksasi Krimea (2014), maupun intervensi ke Suriah (2015). Bahkan, setelah aksi militer Rusia di Georgia dan Suriah, tingkat kepuasan publik justru merosot.
Demikian pula dengan Ukraina. Popularitas Putin sebenarnya malah menunjukkan tren naik dalam beberapa bulan terakhir. Pada pertengahan Februari, persis sebelum pengumuman invasi, popularitasnya mencapai 71 persen, konsisten naik dari 63 persen pada November tahun lalu.
Alih-alih deklarasi perang terbuka yang berbiaya mahal, Beliakova mendapati pemerintah justru mewujudkan ambisi politik luar negeri lewat misi rahasia atau operasi siber yang bersifat terselubung tatkala dukungan publik sedang rendah. Hal ini misalnya terjadi pada 2016 lalu. Ketika dukungan domestik terhadap pemerintah turun dan nilai tukar rubel melemah, Rusia dilaporkan terlibat dalam peretasan acara Democratic National Convention di AS, bahkan menyusun plot kudeta di Montenegro.
Kemudian, pada pertengahan 2017, Rusia melakukan serangan siber terhadap perusahan pengiriman kontainer di Denmark sampai pusat pembangkit listrik di Chernobyl, Ukraina. Ketika itu dukungan terhadap kebijakan ekonomi dan domestik sedang merosot, supir truk melancarkan aksi demo memprotes kenaikan pajak jalan, dan warga di 154 kota berdemonstrasi mengecam korupsi oleh tangan kanan Putin, Dmitry Medvedev.
Singkat kata, tingkat dukungan publik yang rendah dan isu-isu kompleks di dalam negeri tidak serta-merta mendorong administrasi Putin melancarkan perang terbuka. Ia memang bisa dipertimbangkan sebagai salah satu faktor, namun bukan alasan utama apalagi satu-satunya pendorong.
Tetap penting untuk melihat invasi Ukraina dari berbagai lensa, terutama dari kepentingan strategis politik luar negeri Putin seperti menghalau ekspansi militer NATO ke kawasan timur Eropa—yang dipandang mengancam pertahanan Rusia—atau mencegah demokratisasi Ukraina yang berpotensi menular ke rakyat Rusia.
Bahkan invasi ke Ukraina sepertinya bakal menenggelamkan Putin di jajak pendapat. Dalam tulisan di The Conversation,Arik Burakovsky menjelaskan bahwa perang perlu disokong dengan niat kuat dari publik dan dukungan terhadap pemimpin politik. Faktanya, perang bukan opsi favorit rakyat Rusia. Burakovsky mengutip hasil survei Levada pada Desember silam yang menyatakan separuh lebih responden tidak terpikir sama sekali tentang potensi perang dengan Ukraina.
Kemudian, sebanyak 83 persen responden punya pandangan positif tentang orang Ukraina, lalu 51 persen responden juga ingin Rusia dan Ukraina sama-sama jadi negara merdeka yang menjalin relasi baik.
Rakyat juga berpotensi semakin kecewa dengan Putin karena sanksi ekonomi dari AS dan Eropa dapat berdampak dan dirasakan langsung oleh mereka.
Burakovsky memprediksi konflik di Ukraina akan menimbulkan banyak korban jiwa di pihak tentara Rusia dan justru merugikan kedudukan Putin di dalam negeri, termasuk “merusak legitimasinya dan memaksanya mengerahkan lebih banyak sumber daya dalam rangka meredam perbedaan pendapat internal.”
Editor: Rio Apinino