tirto.id - “Rakyat Ukraina… Semua informasi tentang kalian sudah tersebar, takutlah dan bersiaplah untuk yang terburuk,” demikian kalimat yang tampil di situs-situs milik pemerintah yang diretas pada Jumat (14/1/2022). Sebagaimana hasil investigasi terhadap ribuan serangan siber di Ukraina selama ini, biang keladi peretasan tersebut mengarah pada pihak-pihak dari Rusia.
Usaha untuk melumpuhkan aktivitas publik Ukraina melalui jaringan internet kerap disebut “perang hibrida”. Selain menyasar institusi pemerintahan, serangan serupa di masa lalu juga pernah mengacaukan ibu kota Kiev yang berakibat pada pemadaman listrik, gangguan layanan tiket kereta, mesin kasir di supermarket dan ATM, sampai sistem monitor radiasi di pusat pembangkit tenaga nuklir Chernobyl. Kejadiannya semakin marak sejak militer Rusia menganeksasi Krimea pada 2014.
Kasus peretasan terbaru itu berlangsung persis setelah serangkaian negosiasi terkait eskalasi di perbatasan Ukraina-Rusia. Rusia berturut-turut mesti berhadapan dengan Amerika Serikat di Jenewa, Swiss, dan perwakilan negara-negara aliansi militer North Atlantic Treaty Organization (NATO) di Brussels, Belgia. Tak habis di situ, Rusia kemudian bernegosiasi dengan Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE) di Wina, Austria.
Semua upaya diskusi untuk meredam ketegangan yang meningkat sejak 2021 itu berakhir buntu.
Sampai sekarang memang belum ada bukti bahwa Rusia bakal menginvasi Ukraina, meski belakangan sekira 100 ribu pasukan Rusia masih berjaga di luar batas timur Ukraina—negara eks-Uni Soviet yang diyakini oleh Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai “satu bangsa” dengan rakyat Rusia.
Dalam pertemuan dengan pemerintah AS, pejabat Kementerian Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov menegaskan bahwa pemerintahan Putin tidak punya rencana atau niat untuk "menyerang" Ukraina. Kendati demikian, Rusia pun belum menunjukkan geliat untuk menarik mundur pasukannya.
Belum diketahui pula apakah Putin akan melanjutkan jalur diplomasi atau memutuskan berperang. Karenanya, kalangan intelijen menilai peluang invasi masih tetap ada.
Menurut pemerintah AS, bukan tidak mungkin Kremlin akan memilih jalur yang berpotensi menimbulkan “pelanggaran HAM yang luas dan kejahatan perang” apabila diplomasi tidak membuahkan hasil. Ini termasuk rencana kampanye provokatif di media sosial dan operasi klasik “bendera palsu” di Ukraina bagian timur sebagai dalih untuk menjustifikasi intervensi Rusia dan menaburkan perpecahan.
Elite militer AS sudah memperingatkan apabila Rusia nekat mencaplok Ukraina, gerakan pemberontakan dan gerilyawan akan bermekaran. Kekacauan yang ditimbulkan pun diprediksi bakal memaksa pasukan Rusia mundur, seperti terjadi pada 1989 ketika Uni Soviet gagal mengontrol Afganistan dan dipaksa hengkang.
Tak menutup kemungkinan pula CIA dan Pentagon akan terang-terangan mendukung gerilyawan Ukraina dengan bantuan logistik, senjata, medis, sampai pelatihan militer. Pendekatan ini menyerupai cara mereka dulu membekali mujahidin di Afganistan pada dekade 1980-an.
Di balik pemberitaan tentang prospek suram relasi antara Rusia dan Eropa-AS, apa yang sebenarnya diinginkan elite politik Negeri Beruang Merah? Apakah itu semua sebanding dengan ingar-bingar mobilisasi militer besar-besaran, diplomasi berlarut-larut, dan serangan siber di Ukraina selama ini?
Ekspansi NATO, Ancaman bagi Rusia?
Menurut narasi yang digaungkan Kremlin belakangan ini, ekspansi NATO merupakan ancaman keamanan bagi Rusia. Organisasi yang dihimpun pasca-Perang Dunia II dan dipimpin AS untuk menghalau pengaruh Uni Soviet itu dipandang terlalu perkasa karena mengizinkan negara-negara eks-Soviet untuk bergabung dengannya.
Tak lama setelah Blok Timur runtuh—tepatnya sejak 1997, beberapa negara Eropa Tengah dan Eropa Timur mulai merapat ke NATO. Negara-negara itu di antaranya Bulgaria, Estonia, Latvia, Lithuania, Rumania, Slovakia dan Slovenia, diikuti Polandia, Hungaria, dan Republik Ceko dua tahun kemudian. Padahal, mayoritas dari mereka sebelumnya tergabung dalam Pakta Warsawa (1955-1991)—aliansi militer saingan NATO.
Menyusul sebagai kandidat NATO sejak 2008 adalah Georgia—negara kecil yang sempat diperangi Rusia—dan Ukraina. Poin kedua inilah yang membuat Putin gelisah.
Pada akhir Desember 2021 silam, Putin menyampaikan bahwa dirinya merasa waswas gara-gara sistem peluru kendali buatan AS—peluncur Mk 41 dan rudal jarak jauh Tomahawk—ditempatkan di Rumania. AS pun masih berencana membangun sistem peluru kendali serupa di Polandia.
Menurut Putin, jika infrastruktur pertahanan itu dipasang juga di Ukraina, suatu rudal hanya perlu waktu 7-10 menit atau 5 menit saja dengan teknologi hipersonik untuk mencapai Moskow dan meluluhlantakkannya.
Putin juga mengkritisi kerja sama latihan militer antara AS-NATO dan negara-negara nonblok seperti Georgia, Moldova, dan tentunya Ukraina. Terlebih, selama delapan tahun terakhir, Ukraina amat lengket dengan Uni Eropa dan AS. Kedekatan itu semakin kentara setelah aksi massa pada 2014 berhasil melengserkan presiden Ukraina kesayangan Putin, Viktor Yanukovych.
Singkatnya, Rusia memaknai apa pun yang AS-NATO lakukan atau rencanakan di Ukraina sebagai “ancaman di ambang pintu”. Maka Putin merasa bangsanya “tidak bisa ke mana-mana lagi untuk mundur lebih jauh.” Kira-kira demikianlah nalar di balik pengerahan pasukan Rusia di dekat perbatasan Ukraina belakangan ini.
Pada pertengahan Desember 2021, Kremlin juga merilis draf kesepakatan dengan pemerintah AS tentang “jaminan keamanan”. Tanpa menyebut Ukraina, pihak Rusia meminta pemerintah AS agar mengerem ekspansi NATO ke kawasan Eropa Timur dan melarang negara-negara eks-Soviet untuk bergabung.
Kesepakatan AS-Rusia itu juga melarang pemerintah AS membangun markas militer maupun menjalin kerja sama latihan militer di negara-negara eks-Soviet yang bukan anggota NATO. Lain itu, pemerintah AS dilarang menempatkan persenjataan di lokasi-lokasi yang menurut Rusia dapat mengancam keamanan nasionalnya, yakni negara-negara eks-Soviet di kawasan Eropa Tengah dan Timur yang bergabung dengan NATO.
Singkatnya, Kremlin ingin agar partisipasi negara-negara eks-Soviet di NATO sebatas bermakna simbolis. Tentu saja, tuntutan demikian dipandang tidak realistis oleh pemerintah AS dan sekutu-sekutunya di NATO. Pasalnya, poin-poin itu otomatis bakal mengubah peta Eropa pasca-Perang Dingin.
Pihak NATO juga menegaskan bahwa keputusannya untuk memperkuat sistem pertahanan di kawasan Eropa Timur bukan inisiatif tiba-tiba, melainkan reaksi atas invasi Rusia ke Ukraina pada 2014. Selain itu, NATO juga tidak mau menghalangi keinginan negara lain untuk bergabung karena setiap bangsa berhak menentukan dengan siapa mereka menjalin kerja sama keamanan.
Daya Tarik NATO: Demokrasi & Kebebasan
Menjadi anggota NATO bukan semata-mata ikut terlibat dalam misi-misi heroik untuk membela pertahanan negara atau partisipasi militer dalam arti fisik, melainkan juga komitmen untuk dipersatukan oleh ide-ide tentang demokrasi dan kebebasan.
Menurut analis think tank Brookings Institution Molly Montgomery, NATO bisa bertahan sampai 70 tahun dan berekspansi (selalu menarik minat negara lain untuk bergabung) berkat ide yang melandasi pendiriannya, yakni “menjaga kebebasan, warisan bersama, dan peradaban masyarakat, yang berlandaskan prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan individu, dan supremasi hukum.”
Ide tersebut lahir dalam latar belakang Perang Dingin untuk menangkal pengaruh komunisme Blok Timur.
Setelah Soviet runtuh, NATO membuka lebar-lebar pintunya bagi siapa pun yang mau ikut merangkul ide-ide liberal itu. Meskipun begitu, dalam perjalanannya mereka tidak lepas dari kontroversi dan kritik. Paling gamblang adalah partisipasinya untuk menyokong ambisi ngawur pemerintah AS lewat perang di Afganistan (2001-2021).
Terlepas dari itu semua, dalam konteks keamanan Eropa pasca-Perang Dingin, Montgomery mencatat NATO tetap berperan penting dalam menjaga stabilitas militer dan politik. Ini dibuktikan dengan absennya intervensi militer Rusia di negara-negara Baltik anggota NATO. Situasi berbeda terjadi di negara eks-Soviet non-NATO, seperti Ukraina, Georgia, dan Moldova. Hingga hari ini, negara-negara itu masih dipusingkan oleh masalah separatis pro-Rusia dan konflik kedaulatan dengan Rusia.
Sampai sekarang, otoritas Rusia masih menyebarkan narasi bahwa mereka sudah dizalimi oleh ekspansi NATO. Akhir-akhir ini mereka bahkan mengaku terancam oleh aliansi tersebut. Di sisi lain, sejak tembok Berlin runtuh, tidak pernah ada kesepakatan tertulis bahwa NATO tidak akan melebarkan sayapnya.
Laporan oleh think tank Chatam House menyebut, “Uni Soviet tidak pernah ditawari jaminan formal tentang batasan ekspansi NATO pasca-1990. Moskow sekadar mendistorsi sejarah untuk membantu melestarikan konsensus anti-Barat di dalam negeri.”
Pada 1997, Rusia sebenarnya telah menyepakati NATO-Russia Founding Act yang isinya menyatakan bahwa “NATO dan Rusia tidak menganggap satu sama lain sebagai musuh.” Rusia dan NATO juga sepakat untuk menjunjung cita-cita “mengatasi sisa-sisa konfrontasi dan persaingan masa lalu“ serta “memperkuat rasa saling percaya dan kerja sama.” Perjanjian itu diresmikan seiring sejumlah negara eks-Soviet bergabung dengan NATO.
Singkat kata, NATO-Russia Founding Act sudah menunjukkan kesiapan Rusia untuk menerima perluasan NATO sekaligus menjalin persahabatan dengan negara-negara anggotanya.
Menurut catatan The Economist, sebagai balasan atas kesediaan Rusia, NATO akan menghindari penempatan “pasukan tempur substansial” secara “permanen” di kawasan Eropa Timur. Itu termasuk juga senjata nuklir (sampai sekarang, nuklir milik AS hanya ditempatkan di Belgia, Belanda, Jerman, Italia, Turki). Setelah Perang Dingin berakhir, pemerintah AS juga menarik banyak pasukannya dari Eropa, seiring negara-negara Eropa mengurangi jumlah personel militernya secara besar-besaran.
Masih menurut pemberitaan The Economist, kacaunya hubungan Rusia dan AS-NATO akhir-akhir ini bukan disebabkan oleh agresi NATO, melainkan karena Rusia sulit menerima kenyataan negara-negara eks-Soviet ingin memilih jalan hidupnya sendiri. Meminjam komentar mantan Dubes AS untuk Rusia Michael McFaul, yang ditakutkan Putin sebenarnya bukan ekspansi NATO, melainkan “demokratisasi Ukraina”.
Hal senada juga disampaikan oleh Peter Dickinson dalam artikelnya di Atlantic Council pada Desember 2021 silam. Dickinson menyebut narasi tentang sikap agresif NATO terhadap Rusia hanyalah “dalih untuk menciptakan krisis artifisial yang bertujuan mengisolasi Ukraina dari dunia demokratis sebagai bagian dari perang delapan tahun untuk melawan kemerdekaan Ukraina.”
Menurut Dickinson lagi, jika memang ingin memasang misil di sekitar perbatasan Rusia, NATO sebenarnya bisa melakukannya sejak dua dekade silam di kawasan Baltik. Maka koar-koar tentang ancaman dari NATO hari ini menurut Dickinson hanyalah “demam mimpi dari propaganda Kremlin.”
Editor: Fadrik Aziz Firdausi