tirto.id - Bagi orang nomor satu di Rusia, Vladimir Putin, mungkin tidak ada perkara lebih penting dalam beberapa waktu terakhir ini selain yang berkaitan dengan Ukraina. Salah satu buktinya, meskipun jumlah kasus infeksi Covid-19 di negaranya menunjukkan tren naik dan performa ekonomi agak loyo akibat inflasi, pertengahan Juli lalu lalu ia masih sempat-sempatnya memublikasikan esai sepanjang 5.000 kata untuk menjabarkan seribu tahun hikayat persaudaraan orang Rusia dan Ukraina.
Dalam uraian berjudul “On the Historical Unity of Russians and Ukrainians” tersebut Putin menegaskan bahwa bangsa Rusia dan Ukraina—serta Belarusia—sebenarnya dipersatukan oleh agama dan tradisi budaya dari nenek moyang yang sama, di samping punya kemiripan bahasa. Berdasarkan nalar demikian, ia melihat konsep negara-bangsa Ukraina yang independen sebagai bualan belaka.
Putin menulis setelah blok Soviet runtuh dan Ukraina merdeka lewat referendum pada 1991, elite penguasa Ukraina “mulai membuat mitologi dan menulis ulang sejarah, menyunting segala hal yang sudah mempersatukan kami [Rusia dan Ukraina], dan menganggap periode ketika Ukraina menjadi bagian dari Kekaisaran Rusia dan Uni Soviet sebagai pendudukan.” Ukraina dinilai semakin dekat dengan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Dan itu, kata Putin, membuat negara tersebut berada di “posisi sandera yang bersedia memenuhi kehendak geopolitik pihak lain.”
Tulisan tersebut tentu memiliki konteks spesifik, dan itu adalah ketegangan di antara kedua negara yang meningkat sejak Februari 2014. Ketika itu Presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych, dilengserkan oleh massa pro-Uni Eropa dalam Revolusi Maidan. Protes tersebut merupakan buntut dari penolakan Yanukovych terhadap kesepakatan ekonomi dengan Benua Biru. Dari kacamata Putin, ingar bingar itu tak lepas dari agenda “anti-Rusia” buatan Eropa dan AS, yang disinyalir sudah lama berambisi mengakhiri kedekatan relasi politik-ekonomi antara Ukraina dengan Rusia.
Karena itu pula Rusia mencaplok Semenanjung Krimea tak lama setelah Yanukovych jatuh. Mereka juga memberikan dukungan kepada grup-grup separatis yang mendeklarasikan kemerdekaan di kota Donetsk dan Luhansk, kawasan Donbask di timur Ukraina yang berbatasan langsung dengan Rusia.
Terlepas isi naskah yang terkesan meyakinkan, mahakarya Putin ini dikritisi oleh para sejarawan karena menggunakan konsep kebangsaan yang ketinggalan zaman, bahkan bisa dimaknai seperti deklarasi perang. Ide-ide yang disampaikannya pun tidak mencerminkan pandangan baru tentang Ukraina. Singkatnya, lewat artikel itu, Putin menunjukkan bahwa ia masih terobsesi dengan Ukraina.
Tahun yang Panas
Artikel yang diterbitkan Kremlin di atas hanyalah satu dari sekian bentuk penegasan sikap Rusia terhadap Ukraina sepanjang 2021. Selain artikel, selama Maret-April, Rusia dilaporkan sudah memobilisasi sampai 80 ribu pasukan di perbatasan timur Ukraina dan Krimea. Angka tersebut diperkirakan jauh lebih besar daripada yang dikerahkan pada 2014.
Ukraina tentu khawatir dengan kehadiran pasukan tersebut, yang sejak November jumlahnya diduga nyaris mencapai 100 ribu. Tak berapa lama kemudian, Presiden Volodymyr Zelensky, aktor komedi pemenang pemilu 2019, mengungkapkan pihak Rusia terlibat dalam rencana kudeta terhadap pemerintahannya Dokumen yang diperoleh Washington Post juga menyebutintelijen AS memperingatkan potensi invasi oleh Rusia paling cepat awal tahun depan dengan modal 175 ribu pasukan.
Bersamaan dengan itu, pemerintah Rusia juga menekan NATO, aliansi pertahanan yang dinakhodai AS, agar tidak memberikan keanggotaan kepada Ukraina sebagaimana mereka janjikan pada 2008. Putin melihat langkah tersebut sebagai upaya ekspansionis NATO yang bisa mengancam eksistensi Rusia.
Sampai hari ini Ukraina masih sebatas rekan NATO. Artinya, NATO tidak akan mengirimkan pasukan untuk melindungi negara dengan 44 juta jiwa populasi ini apabila diserang musuh.
Meskipun demikian, pemerintah AS sebagai pemimpin NATO tetap berperan menyokong sistem pertahanan Ukraina, mulai dari ikut melatih pasukan sampai menyuplai senjata untuk melawan separatis di perbatasan. September kemarin, mereka melakukan latihan militer bersama. Kemudian, pada November, kapal NATO berpatroli di perairan Laut Hitam dekat Krimea—aksi yang dipandang Rusia sebagai “tantangan serius” bagi mereka.
Dalam situasi yang serba canggung ini, otoritas AS, negara-negara G7, Uni Eropa, sampai petinggi NATO menyerukan dukungan terhadap kedaulatan Ukraina. Mereka juga memperingatkan akan menjatuhkan sanksi ekonomi lebih berat kepada Rusia apabila mereka nekat menginvasi Ukraina. AS dan Uni Eropa sudah lebih dulu menghukum individu dan entitas Rusia setelah aneksasi Krimea pada 2014 silam, misalnya dengan menutup akses terhadap layanan finansial dan ekspor-impor di sektor pertahanan.
Terlepas dari itu semua, Rusia bersikukuh tidak akan menyerang siapa pun, meskipun mengaku khawatir dengan “tindakan provokatif” dari pasukan Ukraina di perbatasan.
Kenapa Ketegangan Muncul Lagi?
Ketegangan yang akhir-akhir ini meningkat di perbatasan Ukraina-Rusia menimbulkan tanda tanya di kalangan para pemerhati politik: Kenapa muncul sekarang?
Menurut jurnalis New York Times David Leonhardt, sikap agresif yang Rusia tunjukkan terhadap Ukraina—dan seperti yang belakangan ini dilancarkan pemerintah Cina pada Taiwan—berkaitan dengan kedudukan AS yang saat ini dipandang lemah. Ketidakberdayaan Paman Sam tercermin dari kekalahan memalukan mereka dalam perang dua dekade di Afganistan dan Irak, sikap sewenang-wenang mantan presidennya yang ingin melindas demokrasi dengan membalikkan hasil pemilu, sampai situasi politik dalam negeri yang begitu terpolarisasi, juga karut-marut program vaksinasi akibat gerakan anti-vaksin. Melihat Washington yang sedemikian kelelahan, masuk akal apabila Rusia maupun Cina lebih berani bersikap agresif terhadap negara-negara demokrasi kecil yang ramah dengan AS.
Masih menurut Leonhardt, agresi juga bisa jadi merupakan usaha untuk mengalihkan perhatian publik dari permasalahan yang administrasi Putin hadapi di dalam negeri, misalnya tak maksimalnya penanganan Covid-19, situasi ekonomi yang kurang stabil, dan pembungkaman oposisi politik.
Analis politik Konstantin Eggert melihat dari sudut lain. Menurutnya, dalam artikel di Deutsche Welle, Putin adalah figur yang “kerap melihat politik dari lensa hubungan pribadi.” Contohnya juga terkait dengan hubungan Rusia-Ukraina. Putin murka kepada Presiden Zelensky karena menjadikan Viktor Medvedchuk tahanan rumah sejak Mei silam. Pebisnis dan politikus pro-Rusia ini diduga sudah mengkhianati negara dengan menyokong gerakan separatis di Donbas. Medvedchuk punya hubungan dekat dengan Putin, yang merupakan godfather atau ayah baptis bagi anak perempuan Medvedchuk. Tokoh dalam sepuluh daftar orang terkaya Ukraina ini memimpin Opposition Platform — For Life, partai yang selalu menentang segala kebijakan pemerintah yang condong ke Eropa atau AS.
Putin begitu marah terhadap Zelensky yang menghukum sahabatnya itu sampai-sampai tak sudi menyebut namanya langsung (ketika ditanya wartawan, Putin menyebut “kepemimpinan Ukraina” alih-alih “Zelensky”). Sikap itu, menurut Eggert, mencerminkan “ekspresi permusuhan ekstrem.” Dalam pandangan Putin, Zelensky sudah menjadi “personifikasi” dari kampanye “anti-Rusia” yang menurutnya sudah dimotori oleh AS dan Eropa.
Sebenarnya eskalasi konflik ini juga tidak bisa dipisahkan dari buntunya upaya resolusi damai yang telah diupayakan sekian tahun. Usaha untuk berdamai sudah dimulai pada September 2014 di Minsk, ibu kota Belarusia, dilanjutkan dengan diskusi yang difasilitasi pemerintah Jerman dan Prancis pada Februari 2015.
Produk dari pertemuan Minsk dilandasi oleh dua interpretasi yang berbeda, catat Duncan Allan dalam laporan untuk think tank Chatam House. Dari kacamata pemerintah Ukraina, negerinya adalah entitas yang berdaulat. Maka dari itu, mereka meminta penyelesaian yang mencerminkan kedaulatan mereka, misalnya lewat gencatan senjata, penarikan pasukan Rusia dari kawasan dekat perbatasan timur Ukraina, sampai penyelenggaraan pemilu yang transparan di daerah Donbas. Sedangkan pihak Rusia memaknai solusi tersebut berdasarkan konsep kedaulatan Ukraina yang terbatas. Misalnya, mereka hanya mau menyelenggarakan pemilu sebelum pasukan Ukraina kembali beroperasi di kawasan perbatasan.
Singkatnya, perjanjian Minsk tidak menunjukkan jalan keluar yang terang. Pasukan pemerintah dan grup-grup separatis masih bentrok. Pada 2019, negosiasi damai kembali berlangsung, namun kembali tidak membuahkan hasil berarti.
Kala itu PBB melaporkan sedikitnya 13 ribu orang meninggal dunia akibat konflik di perbatasan timur Ukraina—seperempatnya adalah warga sipil, termasuk 298 penumpang Malaysia Airlines MH17 yang ditembak dengan misil buatan Rusia pada Juli 2014.
Di balik permusuhan pada hari ini, sebenarnya Ukraina pernah punya hubungan yang cukup dekat dengan Rusia serta republik eks-Soviet lain. Relasi itu tercermin dari Commonwealth of Independent States atau CIS, semacam asosiasi persemakmuran yang dibentuk pada 1991 oleh pemerintah Rusia, Ukraina, dan Belarusia. Organisasi yang bermarkas di Minsk ini bertujuan untuk membangun kerja sama ekonomi yang kuat di antara negara-negara bekas Soviet.
Meskipun Ukraina adalah salah satu pendiri dan aktif berpartisipasi di sana, mereka tidak ikut meratifikasi piagamnya sehingga tidak termasuk dalam daftar 9 anggota CIS.
Akhirnya Rusia menganeksasi Krimea dan Ukraina resmi memutus hubungan dengan CIS pada 2018. Presiden Ukraina kala itu, Petro Poroshenko, menulis di Twitter, “Bagi kami, CIS sudah sepenuhnya ada di masa lalu. Masa depan kita hanya di Eropa!”
Ukraina bukan satu-satunya yang pergi dari CIS, yang sudah lama dipandang sekadar alat pemerintah Rusia untuk memenuhi hasratnya mendominasi kawasan sekitar. Kurang lebih satu dekade silam, Georgia sudah lebih dulu menarik diri. Mereka kecewa pada CIS karena tidak berusaha mencegah perang Rusia-Georgia yang meletus pada 2008.
Editor: Rio Apinino