tirto.id - Di ujung masa kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih menjadi bahan perbincangan yang hangat di tengah masyarakat. Banyak yang mendukung dan memuji kinerjanya, namun tidak sedikit juga yang mengkritisi dan mencela.
Salah satu diskusi mengenai kinerja Presiden Joko Widodo ini terjadi di media sosial. Dalam unggahannya di Facebook, pada 10 September 2023 lalu, akun "Muchni Muis" membuat pernyataan, "Jokowi pantas dipenjara." Bersama dengan pesan tersebut terdapat sebuah video berdurasi enam menit 50 detik yang menyertai.
Dalam video tersebut terdapat sejumlah alasan yang dipaparkan untuk memperkuat argumen perlunya Jokowi dipenjara, salah satunya adalah karena Jokowi diklaim melakukan kecurangan pada pemilihan umum (pemilu) lalu serta pelanggaran-pelanggaran hukum lainnya.
Sampai dengan Rabu (4/10/2023), hampir satu bulan sejak unggahan tersebut dipublikasikan, masih sangat banyak interaksi yang terjadi dalam unggahan. Penonton video mencapai lebih dari 3,5 juta dengan 56 ribu impresi tanda suka (likes) dan 33 ribu komentar. Melihat sejumlah komentar terakhir juga datangnya masih dari beberapa jam ke belakang.
Unggahan serupa juga ditemukan di platform YouTube, meski interaksinya tidak seramai unggahan di Facebook.
Lalu bagaimana kebenaran klaim tersebut? Apakah benar Jokowi pantas dipenjara karena melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum?
Penelusuran Fakta
Di awal video narator memaparkan informasi yang mengidikasikan bahwa ini adalah tulisan orang lain. Dengan menggunakan kata kunci, "Jokowi Memang Sangat Pantas Dipenjara, oleh Sholihin MS," yang dinarasikan di awal, ke mesin pencarian Google, diperoleh beberapa hasil tulisan dengan narasi serupa.
Tulisan yang paling identik ditemukan pada situs Forum News Network (arsip tautan). Tulisan opini di situs tersebut berisikan narasi yang sama dengan apa yang dibacakan narator di video di Facebook.
Secara garis besar ada 11 poin yang dipaparkan dalam tulisan tersebut yang dianggap dapat membuat Jokowi diproses secara hukum.
Beberapa poin tersebut di antaranya adalah klaim bahwa Jokowi melakukan kecurangan pemilu lalu dan akan merancang kecurangan lagi di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, menggunakan ijazah yang diduga palsu, terlibat dengan kriminalisasi ulama, serta bertanggung jawab atas pembunuhan di berbagai tempat selama masa pemerintahannya.
Terkait dengan klaim-klaim tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sudah sempat membantah isu tersebut dan memberi cap hoaks. Pertama soal kecurangan pemilu pernah dibahas di artikel ini. Sementara terkait dugaan ijazah palsu juga telah dibantah Kominfo lewat unggahan ini.
Sementara terkait isu kriminalisasi ulama, pada tahun 2019 Jokowi pernah membantah hal ini dan mengaitkan dengan banyaknya hoaks yang beredar jelang tahun politik, seperti dikutip dari halaman Sekretariat Kabinet Republik Indonesia.
Sedangkan kasus-kasus seperti pembunuhan anggota FPI di jalan tol Jakarta-Cikampek kilometer 50, meninggalnya 894 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pada Pemilu 2019, dan kejadian di Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, yang menewaskan 135 orang, semua memang terjadi di masa kepemimpinan Jokowi. Namun, sejauh ini belum ada satupun bukti yang menyebut kalau ini adalah tanggung jawab Presiden Jokowi seorang.
Berikutnya, disebutkan juga kalau Jokowi mendukung praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Terkait klaim ini, setidaknya soal korupsi Kominfo telah beberapa kali menandai klaim seperti ini sebagai hoaks di sini dan di sini.
Klaim selanjutnya mengenai Jokowi menjadikan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai tukang stempel pemerintah juga bersifat opini dan tidak ada bukti konkret yang disampaikan dalam artikel mengenai klaim ini.
Sama halnya dengan klaim berikutnya yang menyebut para ketua partai politik "disandera" dengan berbagai kasus korupsi sehingga selalu tunduk pada titah Jokowi serta mematikan fungsi oposisi. Tidak ada bukti ataupun kasus konkret terkait dengan klaim ini.
Klaim kalau adanya adanya mafia yang mengatur kebijakan pemerintah juga tidak dielaborasi dengan komprehensif, sehingga sulit untuk menentukan apakah ini opini belaka atau berdasar fakta.
Sementara terkait klaim Jokowi menghidupkan kembali paham komunisme di Indonesia ataupun menghidupkan PKI gaya baru juga menjadi topik yang sering diangkat dan telah mendapat sanggahan dari Kominfo. Dalam beberapa keterangannya Kominfo menyebut klaim yang mengaitkan Jokowi dengan komunisme sebagai hoaks di sini dan di sini.
Terakhir, soal Jokowi membiarkan Indonesia dijajah oleh China juga tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Terkait isu ini, memang benar Tiongkok menjadi salah satu negara dengan investasi terbesar di Indonesia. Tetapi terkait klaim Negara Tirai Bambu menguasai 90 persen Indonesia tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Pun terkait klaim serupa, Kominfo juga sempat menandai sebagai hoaks di sini dan di sini.
Lebih lanjut, jika didengarkan dengan seksama, suara narator dalam video yang tersebar di Facebook juga serupa dengan sampel suara yang disediakan aplikasi Text to Speech for free. Ini mengindikasikan video hanya dibuat dengan menyalin isi artikel ke dalam aplikasi, untuk kemudian audio yang didapat digunakan dalam video.
Adapun di sepanjang video digunakan sejumlah footage yang menunjukkan penampakan presiden Jokowi di beberapa acara ataupun potongan berita mengenai dia.
Kesimpulan
Hasil pemeriksaan fakta menunjukkan video yang beredar di media sosial dengan narasi Jokowi melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum dan pantas dipenjara adalah pembacaan narator akan sebuah artikel opini.
Klaim-klaim yang disampaikan pada artikel opini tersebut juga beberapa telah dibantah ataupun dinyatakan hoaks.
Oleh sebab itu klaim Jokowi pantas dipenjara karena melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum dapat dikategorikan salah dan menyesatkan (false & misleading).
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Periksa Data, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.
Editor: Farida Susanty