Menuju konten utama

Penembakan Anggota FPI & Extrajudicial Killing yang Terus Berulang

Dari petrus hingga penembakan 6 anggota FPI, penembakan di luar hukum adalah problem yang belum terpecahkan terkait penegakan HAM di Indonesia.

Penembakan Anggota FPI & Extrajudicial Killing yang Terus Berulang
Ilustrasi seorang pria memegang pistol. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Jalan tol Jakarta-Cikampek kilometer 50 menjadi saksi bisu pertikaian antara organisasi masyarakat Front Pembela Islam (FPI) dengan polisi. Dalam pertikaian itu, enam anggota FPI tewas karena tembakan polisi yang semuanya diarahkan ke dada sebelah kiri. Menurut laporan investigasi majalah Tempo, keenam korban masih hidup ketika diringkus.

Penembakan terhadap enam anak muda anggota laskar FPI itu lalu menjadi bola panas. Rizieq Shihab, pemimpin FPI yang selama ini tidak memenuhi panggilan polisi, tiba-tiba setuju untuk datang ke Polda Metro Jaya pada Sabtu (12/12/2020) setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus pelanggaran protokol kesehatan.

Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya, Rizieq menyerahkan diri “karena dia takut ditangkap” setelah berulang kali mangkir dari pemanggilan polisi.

Presiden Joko Widodo tidak mengecam atau menyangsikan peristiwa penembakan terhadap enam anggota FPI. Menurut Jokowi, "Aparat hukum itu dilindungi oleh hukum dalam menjalankan tugasnya. Untuk itu, tidak boleh ada warga dari masyarakat yang semena-mena melanggar hukum yang merugikan masyarakat apalagi membahayakan bangsa dan negara. Dan aparat hukum tidak boleh mundur sedikitpun."

Jika ada yang tidak sepakat dengan penanganan polisi, Jokowi, yang baru tiga hari sebelumnya berpidato soal hak asasi manusia, mempersilakan agar mereka “menggunakan mekanisme hukum.”

“Ikuti prosedur hukum. Ikuti proses peradilan. Hargai keputusan pengadilan,” ucap Jokowi, Minggu (13/12/2020).

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengindikasikan penembakan ini sebagai extrajudicial killing yang jelas-jelas “tidak dapat dibenarkan.” KontraS juga menegaskan bahwa “penggunaan senjata api hanya diperbolehkan untuk tujuan melumpuhkan, bukan membunuh.”

Hampir empat dekade lalu, pada zaman Orde Baru, tindakan extrajudicial killing serupa juga pernah dilakukan aparat negara. Bedanya, dulu tindakan ini dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan melibatkan aparat dalam jumlah yang cukup besar. Inilah peristiwa yang dikenang masyarakat sebagai 'petrus' (penembakan misterius).

Petrus bermula pada 1982 kala beberapa kriminal, residivis, copet, serta preman di Jawa Tengah dan Yogyakarta berturut-turut terbunuh tanpa diketahui siapa pelakunya. Jenazah mereka ditemukan mengambang di sungai dan kolam. Sering kali jenazah juga ditemukan teronggok begitu saja di pinggir jalan.

Dalam keadaan yang lebih parah, jenazah diikat bersama-sama dan menunjukkan tanda-tanda bekas penyiksaan. Sebutan 'petrus' itu sendiri berasal dari warga yang menemukan mayat dan tidak dapat mengetahui siapa pelakunya.

Dalam autobiografi Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989) yang dicatat G. Dwipayana dan Ramadhan K.H., Soeharto terang-terangan mendukung tindakan extrajudicial killing tersebut. Baginya, penembakan dapat berguna untuk mencegah kejahatan secara efektif. Dengan begini, ketakutan akan kematian itu bisa menimbulkan efek jera.

“Dengan sendirinya, kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! Dor! Begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak,” ucap Soeharto.

Pada praktiknya, penembakan terjadi bukan hanya terhadap mereka yang melawan, tetapi juga yang masih diduga kriminal atau berpotensi melakukan kejahatan.

Justus M. van der Kroef dalam penelitian bertajuk "'Petrus': Patterns of Prophylactic Murder in Indonesia" (1985) mencatat Soeharto sebenarnya tidak merilis seberapa tinggi angka kriminalitas di Indonesia yang tengah terjadi pada 1983-1984. Namun dari sejumlah laporan aparat keamanan, kriminalitas memang tengah meningkat.

Padahal, menurut Wakil Presiden Adam Malik (menjabat 1978-1983), akar permasalahan kriminalitas bukanlah preman, residivis, orang bertato, atau mereka yang biasa disapa gali, melainkan ekonomi. Pada awal 1980-an diperkirakan ada 36 persen rumah tangga seluruh Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Hanya saja Soeharto memilih mengambil jalan pintas dengan membinasakan manusia.

Satu ketika, surat kabar International Herald Tribune (edisi internasional New York Times) mendapat kiriman surat tanpa nama dari Yogyakarta, salah satu daerah penembakan misterius yang paling marak. Dalam pengakuannya, pengirim surat itu menyaksikan kelompok militer membunuhi orang-orang begitu saja di depan umum.

“Aku telah menyaksikan dua dari pembunuhan tersebut (petrus). Satu peristiwa, enam orang—jelas dari kelompok militer—menyeret terduga (kriminal) ke keranjang sampah, mengeluarkan pisau, dan mulai menghujamkannya kepada korban sampai meninggal dunia sementara ratusan orang menyaksikan peristiwa itu dari jalan. Di lokasi lain, militer seperti kelompok preman yang mengilhami warga untuk memukuli orang hingga tewas,” tulis surat tersebut seperti diungkapkan van der Kroef.

Dampaknya, preman memang banyak berkurang. Mereka berakhir dibunuh atau dipenjara. Pada 2012, sebagaimana dicatat Tempo, Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yosep Adi Prasetyo mengatakan jumlah korban dari peristiwa penembakan misterius tahun 1982 sampai 1985 mencapai 10 ribu orang. Tindakan petrus yang tersamar dalam Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) sukses membuat preman ketakutan.

Mayat-mayat Pengedar Narkoba

Di tengah gemericik air hujan, suara tembakan sayup-sayup bisa terdengar. Mayat akan muncul setelahnya di jalanan dan darah tersapu menuju selokan terdekat. Penembakan itu bisa dilakukan oleh siapapun, tidak ada yang begitu peduli karena yang penting adalah identitas korban. Jika dia adalah pengedar narkoba, dia pantas untuk mati.

Begitulah nasib yang menimpa Tigas. Ia meninggal di Manila, Filipina di tangan orang tak dikenal yang mengendari sepeda motor. Mayatnya tergeletak begitu saja di tengah hujan karena pembunuhan di luar hukum yang dilakukan aparat negara di bawah Presiden Rodrigo Duterte.

Saat mulai menjabat di tahun 2016, Duterte menyatakan “perang terhadap narkoba” di Filipina. Salah satu yang dia lakukan adalah mendukung pembunuhan di luar hukum kepada pengedar narkoba. Kepada warganya, Duterte juga mendorong keaktifan melaporkan transaksi narkoba di sekitar mereka.

Bukan hanya pelaporan, jika memang masyarakat bisa menangkapnya sendiri, Duterte memperbolehkan. Jika para pengedar narkoba lari atau melawan, Duterte mempersilakan warganya yang mempunyai pistol untuk membunuh mereka dengan senjata api.

“Kalian bisa membunuhnya,” kata Duterte seperti dikutip Guardian. “Tembak dia dan aku akan memberimu medali.”

Banyak versi korban meninggal akibat kebijakan Duterte. Salah satu versi dari Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsat (OHCR) menyebut setidaknya ada 8.000 orang yang tewas. Versi kelompok lembaga swadaya (LSM) lokal menyebut jumlahnya bisa tiga kali lipat dari itu alias 24 ribu. Sedangkan lembaga pemerintah #RealNumbersPh menyebut ada 5.810 korban tewas hasil operasi itu. Angka ini hanya dihitung berdasarkan penembakan yang dilakukan polisi—mengeksklusikan penembakan oleh mereka yang terafiliasi dengan penegak hukum.

Kebijakan tembak mati kepada gembong narkoba ini kemudian berusaha direalisasikan di Indonesia. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) periode 2015-2018, Budi Waseso, berkali-kali mendukung polisi mencabut nyawa bandar narkotika. Dia memakai alasan pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut Indonesia darurat narkoba untuk melakukan pembunuhan di luar hukum.

Sampai akhir 2017, BNN di bawah Budi Waseso sudah menembak mati 79 bandar narkoba. Sedangkan di tahun 2018 angkanya sedikit menurun menjadi 68 orang. Buwas menganggap jumlah kematian korban ini berjalan linear dengan kinerja kepolisian dalam memberantas peredaran narkotika.

"Tindakan tegas ini bukti keseriusan aparat penegak hukum," kata Budi Waseso seperti dikutip Tempo pada 2017.

Pria yang kerap disapa Buwas ini bahkan berharap bandar narkoba melawan sehingga aparat penegak hukum dari BNN bisa mengeluarkan peluru panas.

"Sebenarnya amunisi kita cukup. Tapi mereka nasibnya baik. Saya sih berharap mereka melawan agar amunisi kami terpakai," katanya lagi.

Pandangan Buwas memang sudah melenceng dari agenda perlindungan HAM sejak dini. Ketika Jokowi mengatakan Indonesia darurat narkoba, Buwas ingin Indonesia meniru kebijakan tembak mati yang dilakukan Duterte dan menggeletakkan mayat-mayat bandar narkoba di jalanan.

"Jika kebijakan seperti itu diterapkan maka kami yakin, bandar dan pengguna narkoba di negeri tercinta ini akan menurun drastis," kata Budi Waseso seperti dikutip Merdeka.

Penembakan itu, menurut Buwas, dilakukan kepada mereka yang merupakan residivis. Dia percaya bahwa jika bandar narkoba diberi kesempatan untuk hidup lebih panjang, maka besar kemungkinan mereka tidak jera dan mengulangi perbuatannya. Dia percaya apa yang dilakukan ini tidak akan melanggar HAM.

"Pernyataan Presiden bahwa Indonesia berstatus darurat narkoba itu sudah di atas UU, bahkan Presiden menyatakan perang pada narkoba. Selain itu juga ada Perkap (Peraturan Kapolri). Tindakan mereka yang merusak jutaan generasi muda itu justru lebih melanggar HAM,” tegasnya lagi.

Jokowi, yang mengaku peduli pada pelanggaran HAM, nyatanya justru mendukung penembakan mati bandar narkoba yang dikecam oleh para aktivis HAM. Dia juga menyuruh penegak hukum untuk melakukan tembak mati bandar narkoba yang telah menyebabkan kurang lebih 3,3 juta orang Indonesia terpapar narkotika.

“Sudah saya katakan, sudahlah tegasin saja. Terutama pengedar-pengedar narkoba asing yang masuk dan sedikit melawan. Sudah, langsung ditembak saja. jangan diberi ampun," kata Jokowi pada Juli 2017 sebagaimana dilansir Kompas.

Infografik Penembakan di luar Hukum

Infografik Penembakan di luar Hukum. tirto.id/Fuad

Problem Penembakan di Luar Hukum

Pembunuhan di luar hukum atau extrajudicial killing, menurut Edy Kaufman dan Patricia Weiss Fagen, adalah pelanggaran hak asasi manusia yang paling fatal. Tidak ada hal yang lebih merendahkan HAM dan tak bisa ditarik lagi selain pembunuhan di luar proses hukum karena mengabaikan proses peradilan.

Kaufman dan Weiss menganggap pembunuhan di luar hukum terjadi di banyak negara dan lazim digunakan untuk kepentingan politik. Salah satunya digunakan untuk mempertahankan kekuasaan pemerintahan yang tengah berjalan.

“Eksekusi di luar hukum, di sisi lain tidak hanya pembunuhan demi tujuan mentransfer kekuatan politik, melainkan untuk mempertahankan kekuatan politik itu sendiri. Selama beberapa dekade, pembunuhan di luar hukum telah menjadi alat bagi pemerintah yang berbahaya. Kelompok oposisi juga menggunakan cara seperti ini, tapi pembunuhan di luar hukum oleh pemerintah telah melenyapkan ribuan musuh politik yang nyata atau tidak,” catat Kaufman dan Weiss dalam makalah berjudul "Extrajudicial Executions: An Insight into the Global Dimensions of a Human Rights Violation" (1981).

Penggunaan instrumen pembunuhan di luar hukum dalam ranah politik juga dikhawatirkan oleh pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Maruf Bajammal, dalam penelitian bertajuk Tembak Mati di Tempat: Membunuh Negara Hukum Indonesia (2020, PDF).

Dengan diperbolehkannya tembak mati secara mudah, Maruf khawatir banyak penyimpangan yang akan terjadi di lapangan, tetapi dibiarkan begitu saja. Apalagi lembaga pengawasan internal maupun eksternal dari penegak hukum juga melempem.

Maruf menyontohkan DPR sebagai lembaga eksternal yang tak punya taji terhadap lembaga penegak hukum. DPR tidak pernah sekalipun mendiskusikan mekanisme kontrol pertanggungjawaban penggunaan senjata api dalam penegakan hukum.

Dan jika pengawasan tidak berjalan, atas nama keamanan, Maruf cemas negara cenderung melakukan penyalahgunaan kekuasaan sehingga malah menyudutkan masyarakat. Bukan tidak mungkin pembunuhan di luar hukum ini nanti akan meluas untuk membungkam kejahatan lain dan kejahatan yang dikaitkan dengan unsur politik.

“Ketiadaan pengawasan tersebut berpotensi menjadikan kebijakan tembak di tempat meluas digunakan untuk jenis kejahatan lain. Sebagai contoh, pada pertengahan 2018 lalu publik ramai memperbincangkan sikap kepolisian yang menghalalkan tembak mati terhadap pelaku kejahatan jalanan. Diskursus tersebut mencuat sebagai respon institusi kepolisian terhadap kejahatan jalanan yang terjadi. Institusi kepolisian seolah menjadikan tindakan penembakan/tembak mati sebagai ‘resep ampuh’ dalam memberantas aksi kejahatan jalanan yang terjadi, walaupun—lagi-lagi—tidak ada bukti bahwa ‘resep’ ini benar-benar ampuh,” catat Maruf.

Analisis Kaufman dan Weiss serta kekhawatiran Maruf kini jadi nyata di Indonesia. Penembakan enam anggota FPI hanya memperpanjang daftar extrajudicial killing yang dilakukan aparat negara.

Baca juga artikel terkait PENEMBAKAN LASKAR FPI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan