tirto.id - Beberapa waktu lalu, sebuah informasi terkait para dokter di Amerika Serikat yang berkumpul di Washington DC dan menyuarakan aspirasinya terkait COVID-19 beredar luas. Informasi yang tersebar itu sebagai berikut:
"Para dokter USA berkumpul di Washington DC utk angkat suara membongkar kejahatan Elite Global Illuminati (kapitalis globalis) perancang PLANdemic Covid19
https://www.bitchute.com/video/HeC0tHZDX7dk/
👆👆👆
Mereka adalah para nakes di garda terdepan dalam merawat pasien Covid19 yg membuktikan bahwa:
- terapi hidroksiklorokuin, zitromax dan zinc terbukti membantu kesembuhan ribuan pasien yg mereka tangani
- Covid19 tidak perlu obat khusus apalagi vaksin dan orang2 tak perlu dipaksa pakai masker
- para dokter sdh sangat muak dg kejahatan para globalis dan media2 massa internasional milik mereka
Sebarkan dan download video ini sebelum dihapus dari Internet.
Hai para nakes Indonesia, tonton video ini !!!
WAJIB DITONTON pula oleh para tokoh masyarakat, tokoh agama, aktivis ormas, mahasiswa, dsb. Tolong yg jago bhs Inggris terjemahkan isi video ini.
Semua media massa internasional milik kapitalis globalis telah memblokir video ini, termasuk youtube, facebook, twitter, google)."
Lantas, siapakah para dokter tersebut dan apakah narasi-narasi yang mereka sampaikan terpercaya?
Penelusuran Fakta
Informasi terkait para dokter yang berkumpul di Washington DC ini salah satunya disebarkan oleh akun Sentinel lewat situs berbagi video Bitchute.com (arsip). Perlu diketahui bahwa Bitchute adalah situs komunitas yang banyak mempublikasikan video, foto, dan artikel. Akun bernama Sentinel tersebut mengunggah video berjudul “Whitecoat Medical Summit” tersebut pada 28 Juli 2020.
Sentinel menuliskan pada unggahannya pada video berdurasi sekitar 45 menit tersebut, “Dokter melanggar aturan pembungkaman terhadap mereka dan mengumumkan obat untuk COVID19. #Hydroxychloroquine & #Azithromycin & #Zinc”.
Video ini telah dihapus dari YouTube, Facebook, maupun Twitter setelah beredar selama 24 jam karena dianggap menyebarkan informasi yang menyesatkan. Namun, informasi ini sempat viral selama beberapa saat. Presiden Amerika Serikat Donald Trump juga sempat menyebarkan video ini di akun Twitternya, yang kemudian mengalami penangguhan (suspended) oleh pihak Twitter selama 12 jam.
Video yang tersebar ini menampilkan Dokter Houston Stella Immanuel yang mengklaim bahwa kombinasi dari hydroxychloroquine, zinc, dan antibiotik Zithromax merupakan obat yang ampuh untuk menangani COVID-19, dan bahwa kita tak perlu menggunakan masker lagi.
Immanuel berpidato pada konferensi pers sebuah acara yang disebut “White Coat Summit.” Acara ini diadakan pada Senin (27/07/2020) oleh sebuah kelompok yang menamakan diri America’s Frontline Doctors (AFD). Konferensi pers tersebut berlangsung di depan Mahkamah Agung Amerika Serikat di Washington, D.C., dan, seperti diberitakan Vox, didukung oleh kelompok sayap kanan Tea Party Patriots Action (TPPatriots) dan anggota kongres dari Partai Republik AS Ralph Norman.
Berdasarkan penelusuran lembaga pemeriksa fakta Snopes, AFD memiliki sedikit sekali jejak digital. Lewat penelusuran pada Whois, database yang menyimpan informasi terkait domain, situs americasfrontlinedoctors.com dibuat pada 16 Juli 2020, namun laman web tersebut tak dapat diakses (arsip). AFD masih aktif di akun Facebook maupun Instagram mereka.
Sementara itu, Snopes juga melakukan penelusuran terkait kredibilitas para dokter yang berpidato pada White Coat Summit. Salah satunya adalah dr. Simone Gold, dokter yang terdaftar di California Medical Board. Dalam video terpisah di Twitter (arsip), Gold mengaku berkontribusi dalam "melandaikan kurva" di rumah sakit (RS) Cedars-Sinai di Los Angeles. Ia juga mengaku merupakan bagian dari RS Cedars-Sinai. Namun, informasi itu dibantah oleh RS Cedars-Sinai melalui akun Twitter resmi mereka.
Dokter lainnya yang tampak adalah dr. Bob Hamilton, di Santa Monica, California; dr. James Todaro, spesialis mata di Detroit Medical Center Corporation; dr. Joseph Ladapo, dokter dan peneliti klinis di University of California, Los Angeles; dan dr. Dan Erickson pemilik dari Accelerated Urgent Care di Bakersfield, California, yang sebelumnya juga pernah membagikan disinformasi terkait COVID-19.
Lebih lanjut, ada pula dr. Stella Immanuel yang berpraktik di Houston, Texas. Ia pernah membagikan informasi terkait hubungan kesehatan dan keagamaan, salah satunya terkait bagaimana berhubungan seks dengan setan di dalam mimpi dapat menimbulkan penyakit seperti kista dan endometriosis.
Penggunaan Hydroxychloroquine
Salah satu klaim para dokter dalam video tersebut yang cukup menarik perhatian adalah terkait penggunaan Hydroxychloroquine, Azithromycin, dan Zinc sebagai obat COVID-19. "Dan hari ini saya di sini untuk mengatakan, bahwa Amerika, ada obat untuk COVID. Semua kebodohan ini tidak perlu terjadi. Ada obat untuk COVID. Ada obat untuk COVID yang disebut hydroxychloroquine. Obat itu disebut Zinc. Obat itu disebut Zithromax,” sebut Immanuel dalam video tersebut.
Lebih lanjut, Immanuel juga mengklaim telah menyembuhkan 350 pasien pernapasan dengan kondisi bawaan diabetes atau asma. Namun, tidak ditemukan bukti terkait jumlah pasien tersebut.
Terkait hidroksiklorokuin (HCQ), hingga kini belum ada bukti saintifik yang solid dan kuat bahwa HCQ dan klorokuin (CQ) bisa menyembuhkan pasien COVID-19. Pada 20 Juni, Institut Kesehatan Nasional AS telah menghentikan uji klinis hidroksiklorokuin terhadap 470 pasien COVID. Institut tersebut mengatakan bahwa studi menunjukkan penanganan pasien COVID-19 menggunakan HCQ tidak menimbulkan bahaya, namun di saat yang bersamaan juga tidak menampakkan hal yang menjanjikan.
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS juga memperingatkan penggunaan HCQ dan CQ untuk COVID-19 "di luar aturan rumah sakit atau uji klinis karena berisiko dapat membahayakan jantung" dan memicu masalah kesehatan lainnya, termasuk "gangguan pada kelenjar getah bening, cedera ginjal, dan kegagalan hati."
Namun demikian, sebuah penelitian di U.S. National Library of Medicine sedang dilakukan untuk menguji keamanan dan kemanjuran HCQ, Azithromycin, Zinc Sulfate, dan Doxycycline bila dikombinasikan satu sama lain. Dengan catatan, studi yang melibatkan 750 partisipan ini belum dipublikasikan hasilnya dan diperkirakan tidak akan selesai hingga 31 Desember 2020.
Potensi penggunaan CQ untuk pasien COVID-19 pertama kali disuarakan oleh pemerintah Cina dalam konferensi pers pada 17 Februari 2020. Pemerintah Cina merujuk Institut Virologi Wuhan yang melaporkan penelitian eksperimental in-vitro untuk CQ pada 4 Februari 2020 dan dilanjutkan dengan HCQ pada 18 Maret 2020. Kedua riset di Wuhan tersebut menunjukkan kedua jenis obat itu mampu membunuh virus SARS-CoV-2 dalam dosis rendah.
Sedikit catatan, dikutip dari The Conversation, penelitian in-vitro merupakan riset eksperimental untuk melihat dosis obat yang dibutuhkan guna membunuh virus. Penelitian ini melibatkan sel inang yang telah terinfeksi dan dilakukan di laboratorium tanpa melibatkan pasien COVID-19.
Riset in-vitro ini memiliki desain eksperimen yang sangat terbatas sehingga tidak dapat langsung diaplikasikan pada manusia. Keterbatasan utamanya terletak pada metodenya yang tidak melibatkan pasien COVID-19, sehingga tidak dapat menentukan respons dari sistem biologi manusia yang sangat kompleks: Apakah responnya menguntungkan bagi efek terapi atau justru menimbulkan keracunan.
Di Indonesia sendiri, Gugus Tugas Percepatan dan Penangananan COVID-19 Nasional pada 14 Juni sempat mengumumkan hasil temuan lima kombinasi obat-obatan yang dinilai efektif digunakan untuk mengobati pasien yang terinfeksi SARS-Cov2. Temuan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Stem Cell Universitas Airlangga (Unair) bekerjasama dengan Badan Inteljen Negara (BIN) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Lima kombinasi obat itu yakni loprinavir-ritonavir-azitromisin, loprinavir-ritonavir-doxixiclin, loprinavir-ritonavir-klaritomisin, hidroksiklorokuin-azitromisin dan hidroksiklorokuin-doksisiklin.
Menurut Guru Besar Farmakologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Zuliies Ikawati, obat-obat ini sudah dicoba kepada pasien COVID-19 secara klinis. "Selama ini sudah dicobakan juga untuk pasien COVID-19 secara klinis. Hasilnya masih bervariasi, dan biasanya obat ini dikombinasi dengan obat lain, seperti interferon," ujarnya kepada Tirto, Ahad (14/6/2020).
Namun, meski dianggap efektif, penggunaan obat-obatan itu bukan tanpa risiko, sebut Zuliies. Obat-obatan tersebut memiliki sejumlah efek samping yang harus diperhatikan sesuai dengan kondisi pasien. "Klorokuin dan hidroksiklorokuin sendiri juga punya efek ke gangguan irama jantung, sehingga jika akan dikombinasi dengan azitormisin harus hati-hati, dengan pemantauan EKG yang ketat," ujarnya.
Dengan demikian, penggunaan CQ dan HCQ dapat menimbulkan efek beragam pada pasien. Penelitian terhadap penggunaan kedua obat ini juga terus dilakukan.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa klaim-klaim dari America’s Frontline Doctors (AFD) bersifat salah sebagian (partly false). Keefektifan Hydroxychloroquine, Azithromycin, dan Zinc sebagai obat COVID-19 masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Di Indonesia sendiri, penggunaan CQ dan HCQ dapat menimbulkan efek beragam dan harus melalui anjuran dokter.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara