tirto.id - Musisi Anji Manji mengunggah sebuah video berjudul “BISA KEMBALI NORMAL!! OBAT COVID 19 SUDAH DITEMUKAN !! (Part 1)” di kanal Youtube miliknya pada 31 Juli 2020. Video tersebut merupakan rekaman wawancaranya dengan Hadi Pranoto yang dikenalkan sebagai seorang profesor dan pakar mikrobiologi.
Saat ini, video tersebut telah diturunkan oleh YouTube karena melanggar aturan komunitas platform tersebut. Namun, video tersebut masih tersebar di Facebook, lewat akun Anji Manji (arsip). Unggahan Anji tersebut mendapat komentar dari 305 orang dan telah dibagikan lebih bari seribu kali.
Anji menuliskan deskripsi pada videonya itu sebagai berikut:
Berlokasi di Pulau Tegal Mas, Lampung, saya ngobrol dengan Profesor Hadi Pranoto.
Nama Prof. Hadi Pranoto sulit sekali di cari di internet. Ada tapi sedikit sekali. Padahal sejak bulan Mei beliau sudah menemukan Antibodi Covid 19 ini. Dan sekarang Antibodi Covid 19 ini sudah terbukti menyembuhkan banyak orang. Wisma Atlet pun mendapat pasokan obat ini dan pasien terbukti sembuh.
Kenapa berita tentang Prof. Hadi Pranoto tidak dibesarkan ?
Bagian kedua dari video ini akan lebih seru.
Penelusuran Fakta
Untuk menilik sejauh mana kredibilitas Hadi Pranoto dan klaim-klaim yang ia buat dalam video tersebut, Tirto menelusuri rekam jejak Hadi. Anggota tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Ditjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Prof. Supriadi Rustad, menyebutkan bahwa data Hadi Pranoto tidak dapat ditemukan dalam pangkalan data Dikti.
"Di pangkalan data Dikti, tidak ada Hadi Pranoto di dalam video itu bergelar profesor. Dia profesor dari kampus mana, laboratoriumnya di mana dan tim peneliti obat COVID-19 siapa saja, itu tidak jelas. Jadi klaim gelar profesornya sangat diragukan," kata Supriadi kepada Tirto, Minggu (2/8).
Menurut Supriadi, dengan gelar yang diragukan, pernyataannya mengenai obat Corona patut dipertanyakan kesahihannya. Secara keilmuan, lanjut Supriadi, seseorang harus bicara sesuai dengan bidangnya. "Kalau dia profesor minimal ada penelitiannya dan mudah dicari di sumber terbuka seperti mesin pencari. Ini harus diidentifikasi dulu. Secara keilmuan pernyataannya meragukan," ujarnya.
Lebih lanjut, seperti diberitakan Kompas, Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Slamet Budiarto menyatakan Hadi Pranoto bukanlah anggota IDI. "Bukan, bukan dokter. Sudah dicek (ke database IDI), enggak ada. Penelusuran sebagai anggota IDI, enggak ada dia," ujar Slamet.
Tirto juga menelusuri sejumlah klaim yang disampaikan Hadi Pranoto dalam video tersebut. Sekitar menit ke 4:51, misalnya, ia mengatakan “COVID-19 itu kan sebenarnya perjalanan panjang dari Perang Semenanjung Korea 1940, waktu itu dikenal dengan Gauss Virus, kemudian dikembangkan lagi jadi SARS, MERS, kemudian flu burung, dan kemudian menjadi COVID-19 ini. Itu sebenarnya tidak ada perbedaan, itu cuma dosisnya saja yang berbeda, dari tahapan 1, 2, dan 3 itu.”
Faktanya, perang Semenanjung Korea atau juga dikenal dengan Perang Korea terjadi pada 25 Juni 1950 hingga 27 Juli 1953. Perang ini terjadi akibat konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan. Sementara itu, penelusuran kami tidak menemukan terjadinya wabah akibat virus Gauss di Korea sepanjang Perang Korea.
Salah satu virus yang diketahui menyebar saat Perang Korea adalah Hantavirus. Virus ini dibawa dan disebarkan oleh sejenis tikus kayu yang lazim ada di Asia dan Eropa Timur. Hantavirus dapat menyebabkan gangguan pada pembuluh darah dan ginjal (hemorrhagic fever with renal syndrome). Menurut Britannica, demam hemoragik Korea memiliki fatalitas pada 5 hingga 15 persen kasus.
Selain itu, SARS, MERS, dan COVID-19 memang merupakan penyakit yang disebabkan oleh kelompok virus yang sama, yaitu coronavirus. Namun, Flu Burung atau Avian Flu disebabkan oleh jenis virus lain, yakni H5N1.
Terkait “Gauss Virus” yang sempat dikatakan Hadi Pranoto, penelusuran kami mengarahkan pada virus di dunia digital yang "memata-matai" transaksi bank dan mencuri data sensitif seperti kata sandi peramban, cookie, dan informasi jaringan pada 2012 di Timur Tengah. Virus Gauss berhasil dideteksi oleh perusahaan keamanan Kaspersky Lab di beberapa bank di Libanon, serta pengguna CitiBank dan PayPal.
Klim Hadi selanjutnya adalah vaksin COVID yang dapat merusak organ (sekitar menit ke 5:33). Faktanya, menurut CDC, vaksin dapat menyebabkan efek samping ringan, misalnya, lengan yang sakit atau demam ringan yang akan hilang dalam beberapa hari.
CDC juga memberi daftar efek samping dari vaksin berlisensi di Amerika Serikat, seperti vaksin Difteri dan Tetanus, Hepatitis A dan B, Influenza, hingga Rubella. CDC juga menuliskan bahwa vaksin terus mengalami pemantauan, dan memang menimbulkan efek samping. Namun, keputusan untuk tidak memberi vaksin pada anak, misalnya, dapat membahayakan anak lain dan menularkan penyakit yang berpotensi mematikan.
Hadi juga menyampaikan pada menit ke 10:27 bahwa "Kalau mau membunuh COVID-19, kita butuh kepanasan di atas 350 derajat." Pernyataan ini merupakan lanjutan dari klaim bahwa panas sinar matahari tidak dapat secara langsung membunuh virus corona.
Menurut keterangan dari dr. Stephen Berger, ahli penyakit menular, seperti dikutipLos Angeles Times, virus SARS akan tidak aktif pada suhu 56 hingga 65 derajat Celcius. Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan suhu 56 derajat Celcius dapat membunuh SARS coronavirus sekitar 10.000 unit per 15 menit.
Kemudian, pada menit ke 12:38, Hadi mengatakan, "Karena kita membutuhkan banyak udara ketika olahraga, jadi masker sebaiknya tidak dipergunakan ketika olahraga." Artikel dari New York Times mengemukakan fakta bahwa menggunakan masker ketika berolahraga memang membuat detak jantung jadi lebih cepat dan seseorang dapat kesulitan bernapas.
Namun, hal ini dapat dihindari dengan memilih jenis masker berbahan sintetis. Kita dapat menghindari jenis masker surgical atau yang terbuat dari kertas, karena mudah basah. Sejumlah jenama pakaian olahraga seperti Under Armour, Koral dan Zensah, misalnya, sudah mulai mendesain dan memproduksi masker khusus yang dapat digunakan ketika olahraga. Penggunakan masker ketika berada di ruang publik sangat dianjurkan agar seseorang mengurangi risiko menularkan atau tertular virus dari orang lain.
Klaim selanjutnya dari Hadi Pranoto sekitar menit ke 14:09 adalah bahwa COVID tidak dapat dideteksi hanya melalui rapid test atau SWAB/PCR, melainkan harus melalui tes DNA orang yang terinfeksi.
Menurut American Society for Microbiology, ada dua tes yang disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) untuk mendeteksi COVID-19. Kedua tes tersebut adalah antibody test / rapid test dan PCR (molekular). Tes PCR merupakan tes yang paling direkomendasikan karena akurasinya yang jauh lebih baik dibandingkan tes antibodi (rapid test) dalam mendeteksi COVID-19.
Tes PCR mengambil sampel dari lendir pada nasofaring. Hal ini karena, secara umum SARS-CoV-2 menyerang sistem pernapasan. Sekresi pernapasan lainnya seperti sputum dan cairan lavage bronchoalveolar juga menjadi alternatif ketika pasien memiliki pneumonia.
Tes PCR mendeteksi adanya urutan karakteristik dari materi genetik SARS-CoV-2 (RNA) pada sistem pernapasan pasien. Jika RNA terdeteksi, hal ini menunjukkan keberadaan virus pada pasien. Jadi, COVID-19 dilakukan dengan mendeteksi materi genetik virus, dalam hal ini RNA, bukan dengan tes DNA.
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran fakta yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa sejumlah klaim yang dibuat oleh Hadi Pranoto dalam video wawancaranya dengan musisi Anji bersifat salah dan menyesatkan (false & misleading).
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara