tirto.id - “Kak, tolong dong panenin kunyit dan jahe muda di kebun, Ayah mau makan.”
Hah? Gimana? Makan sama kunyit dan jahe muda? Buat bumbu masak, maksudnya? Bukan, saudara-saudara. Kedua rimpang tersebut adalah lalapan favorit bapak saya, dan juga banyak urang Sunda lainnya. Serius dimakan mentah-mentah? Serius banget. Kunyit dan jahe muda, rasanya segar dan sedikit getir, cocok dicocol ke sambal terasi dan disantap bersama ikan asin.
Jika orang Lombok terlatih sejak kecil untuk memamah masakan pedas—saya diceritakan kawan yang asli Lombok, bahwa dia sudah “dijejali” cabai rawit sejak umur 6 tahun, kami, urang Sunda, dibiasakan makan sayur mentah sejauh yang kami bisa ingat. Dan kebanyakan belajar dengan melihat contoh dari orang tua.
Di rumah, meskipun misal ibu menyiapkan makanan “modern” untuk anak-anaknya, beliau akan tetap menyiapkan sepaket lalapan dan sambal untuk ia konsumsi sendiri. Saya mulai mencoba makan lalapan kira-kira sejak umur 7 tahun, karena kabita, atau ngiler ketika melihat ibu menghabiskan setumpuk lalapan dengan nikmatnya.
Setiap makan di rumah makan Sunda, Ibu akan menyiapkan satu piring khusus untuk lalapan. Beliau akan mengisinya dengan kalap. Satu piring diisi penuh dengan bermacam jenis sayuran mentah. Saya pun lama-kelamaan jadi ikut menggilainya. Favorit saya adalah tespong, daun bergerigi yang berbentuk seperti seledri, namun teksturnya lebih kaku dan keras. Rasanya seperti menguarkan rasa hangat ketika dikunyah, dan kriuk-kriuk ketika digigit.
Selain itu, setiap pulang kampung ke Sumedang, saya pasti mencari daun pohpohan untuk dilalap, karena saya tidak menemukannya di manapun selain di Jawa Barat. Pohpohan adalah tanaman perdu dan tumbuhan endemik di kaki Gunung Salak, rasanya sedikit mirip dengan daun mint dan cocok sekali dipadukan dengan sambal oncom. Kalau pergi ke hutan yang dilewati sungai, saya pasti menemukannya tumbuh subur di tepian alirannya, bersama dengan rumpun honje atau kecombrang.
Jenis-Jenis Lalapan yang Biasa Dikonsumsi Keluarga Sunda
Ketika saya meminta ibu untuk mendaftar lalapan kesukaannya, jumlahnya bisa mencapai angka 20 lebih. Apa sajakah isinya?
Ada daun lobak, lobak kecil, jengkol muda, boros kunci (daun temu kunci yang masih muda, masih kuncup atau menggulung), leunca, tespong, kacang panjang, daun katuncar atau ketumbar, pohpohan, kacang kratok atau roay, lalu kunyit dan jahe muda.
Kemudian, ada daun jambu mete yang mesti dipasangkan dengan daun pepaya muda. Di pasar pun, kedua lalapan ini diikat menjadi satu kesatuan. Ibu menjelaskan, daun jambu mete rasanya kesat dan daun pepaya rasanya pahit, ketika digabungkan, mereka menetralkan rasa satu sama lain.
Tidak lupa ibu memasukkan sayuran generik ke dalam lis seperti selada bokor, selada air, timun, kol, kemangi, pakcoy, sawi, labu kecil, terong hijau kecil, dan daun singkong.
Berbeda dengan cerita nenek yang hidup di masa-masa sulit paska kemerdekaan, makan lalapan adalah salah satu cara beliau dan keluarga bertahan hidup. Nenek kecil setiap hari menemani ibunya ke sawah. Makan siang pun dimasak dan dihidangkan di sana. Menunya sangat sederhana, yaitu: nasi liwet, beuleum peda (ikan asin peda, dibakar), pais dage (pepes ampas tahu), sambal oncom, dan tumbuhan-tumbuhan terna yang tumbuh di sawah – salah satunya adalah jotang, tanaman yang sering dianggap gulma apabila dijumpai di daerah lain.
Bunganya berwarna kuning dan rasanya hangat cenderung pedas. Nenek bercerita, kalau sakit gigi, bunganya dikunyah untuk mengurangi rasa sakit. Selain itu ada sintrong, randamidang atau kenikir, pucuk daun mangga dan antanan. Beliau bercerita, masih banyak lagi jenis lalapan yang dikonsumsi keluarganya pada zaman tersebut, tapi sudah berangsur punah dan akhirnya beliau lupa nama-namanya. Lalapan pun kadang menjadi menu utama ketika ekonomi sedang memburuk.
“Nu penting mah aya sambel jeung lalab, cekap.” (Yang penting ada sambal dan lalapan, sudah cukup), begitu jelasnya.
Menurut Unus Suriawiria, seorang guru besar mikrobiologi di ITB, dalam buku Lalab: Dalam Budaya dan Kehidupan Masyarakat Sunda (1987), orang Sunda mengenal 59 jenis pucuk/daun muda, 18 jenis bunga, 20 macam buah muda, serta belasan biji-bijian yang dapat dimanfaatkan sebagai lalapan. Dan dalam makalahnya untuk Konferensi Internasional Budaya Sunda I pada Agustus 2001 silam, beliau menjelaskan bahwa dari 80 jenis makanan Sunda, lebih dari 65 persen di antaranya ialah tumbuh-tumbuhan.
Pantas saja ya banyak guyonan yang menyebut orang Sunda sebagai bangsa kambing.
Lalap dan Sambal
Seperti Galih yang menemukan apa yang dia cari dalam diri Ratna, lalapan punya tandeman dan jodoh sambalnya masing-masing.
Boros kunci, daun lobak, lobak kecil, tespong, pohpohan, jotang, sintrong, pucuk daun mangga, cocoknya dipadukan dengan sambal oncom. Sambel muncang, atau sambal kemiri, berpasangan serasi dengan jengkol muda. Sambel dadak, atau sambal terasi yang diulek dadakan dan bahan-bahannya mentah, biasanya bersanding dengan labu kecil yang dikukus, kunyit dan jahe muda, kol, timun, kemangi, duo pucuk daun mete dan daun pepaya, terong hijau kecil, wortel mentah dan daun singkong rebus.
Selain dicocol sambal, lalapan juga biasa diulek bersama bawang merah, bawang putih, cabai rawit dan sedikit kencur. Namanya adalah pencok. Yang biasa dipencok adalah kacang panjang, leunca, dan timun.
Setelah dua puluh lima tahun hidup di Tanah Priangan, perpindahan ke Jogja membutuhkan kemampuan adaptasi yang cukup tinggi. Di masa awal, saya sering terkaget-kaget dengan sedikitnya jenis lalapan yang umum disantap di sini. Timun, kemangi dan kol, ketemunya itu lagi, itu lagi. Tespong, pohpohan, dan segala temannya, tidak saya temukan di sini. Betapa berat kehidupan tanpa mereka.
Masa-masa mudik menjadi oase bagi saya, dan sebagai momen melepas rindu pada lalapan dan sambal dadak tersayang. Saya merasa kembali utuh sebagai manusia Sunda.
Editor: Nuran Wibisono