tirto.id - Banjir di Bandung, terutama di sejumlah daerah di sekitar tepi sungai Citarum, adalah kisah berulang. Setiap tahun, pelbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi atau bahkan mencegahnya. Dana yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Namun, kabar belum juga berubah.
Kecamatan Dayeuhkolot, Baleendah, Bojongsoang, Rancaekek, Cileunyi, Majalaya, Cicalengka, Kutawaringin, dan Ibun, yang semuanya masuk wilayah Kabupaten Bandung, menjadi langganan banjir ketika musim hujan datang.
Salah satu daerah yang paling parah mengalami banjir adalah Dayeuhkolot. Sebagai contoh, sejak Selasa (9/4/2019), di sejumlah kanal media sosial beredar video tentang seorang suami menggendong istrinya yang tengah hamil menembus banjir setinggi leher.
Pemindahan Ibukota
Sejak wilayah Priangan dimekarkan oleh Sultan Agung setelah penangkapan Dipati Ukur pada 1632, ibukota Kabupaten Bandung mula-mula berada di daerah yang dulu bernama Karapyak, terletak persis di tepi sungai Citarum. Daerah ini kelak bernama Dayeuhkolot yang artinya kota tua.
Setelah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels merampungkan pembangunan Jalan Raya Pos (De Groote Postweg) yang terbentang dari Anyer sampai Panarukan, ia memerintahkan kepada sejumlah bupati untuk memindahkan ibukota kabupaten.
Di Priangan, ibukota yang harus dipindahkan ke tepi Jalan Raya Pos adalah ibukota Kabupaten Bandung dan Kabupaten Parakanmuncang. Lewat surat keputusan bertitimangsa 25 Mei 1810, Daendels memerintahkan Bupati Bandung Wiranatakusumah II untuk memindahkan ibukota ke tepi Jalan Raya Pos.
“Zorg, dat als ik terug kom hier een stad in gebouwd!” (Coba usahakan, bila aku datang kembali ke sini telah dibangun sebuah kota!)” ucap Daendels kepada Wiranatakusumah II seperti terdapat dalam Sejarah Kota Bandung 1945-1979 (1985) yang ditulis oleh Edi S. Ekadjati dan kawan-kawan.
Konon, Daendels berkata seperti itu sambil menancapkan tongkat di pinggir Jalan Raya Pos yang kini menjadi titik nol kilometer Kota Bandung di sisi Jalan Asia Afrika. Pemindahan sejumlah ibukota kabupaten tersebut dilakukan untuk memudahkan koordinasi.
Dalam laporan jurnalistik Kompas yang bertajuk Ekspedisi Anjer-Panaroekan (2008) disebutkan, Jalan Raya Pos mula-mula difungsikan untuk memperlancar komunikasi antara Batavia dengan daerah-daerah di Jawa. Setelah selesai dibangun, jalan ini mampu memangkas waktu tempuh pengiriman pesan dan surat.
“Semula dari Batavia ke Surabaya memerlukan waktu tempuh satu bulan. Dengan adanya jalan ini, waktu tempuh menjadi 3 sampai 4 hari saja,” tulis Kompas.
Selain itu, jalan ini juga dimanfaatkan untuk kepentingan militer. Ketika Daendels tiba di Hindia Belanda, posisi angkatan perang Inggris telah mengancam Jawa. Jadi, jika suatu saat Inggris menyerang Jawa, maka jalan ini digunakan untuk mobilitas pasukan Belanda.
“Apa pun tugas yang dikatakan diembannya, yang terpenting adalah pertahanan militer terhadap serangan Inggris,” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005) menerangkan tugas Gubernur Jenderal tersebut.
Kisah tentang pembangunan Jalan Raya Pos inilah yang menjadi narasi utama dalam pelbagai catatan sejarah tentang pemindahan ibukota Kabupaten Bandung dari Karapyak ke sekitar Alun-alun Bandung sekarang. Pemindahan ibukota ini pula yang sekarang dijadikan sebagai hari ulangtahun Kota Bandung.
Banjir dan Inisiatif Wiranatakusumah II
Narasi tersebut tidak sedikit pun menyinggung soal banjir yang kerap menerjang Karapyak yang letaknya di tepi sungai Citarum. Namun, menurut catatan Haryoto Kunto dalam Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986), satu tahun sebelum turun perintah Daendels, Wiranatakusumah II telah berinisiatif hendak memindahkan ibukota Kabupaten Bandung ke arah utara karena sering dilanda banjir.
Mula-mula Wiranatakusumah II mencari lokasi baru untuk ibukota Kabupaten Bandung di daerah Bojonagara, tepatnya di Kampung Cikalintu, dekat masjid besar Jalan Cipaganti sekarang.
“Di tempat itu, pertama kali Wiranatakusumah II membangun rumah tinggalnya” tulis Kunto.
Ia menambahkan, Kampung Cikalintu dipilih Wiranatakusumah II sebagai calon ibukota baru berdasarkan sejumlah alasan. Pertama, mengacu pada catatan Andries de Wilde (tuan tanah di daerah Priangan), yang menyebut lahan sebelah selatan adalah daerah basah yang berawa-rawa. Sementara daerah Bandung utara lebih cocok untuk permukiman karena hawanya sejuk dan lingkungannya sehat.
Alasan kedua, sebelah utara Bandung terdapat sejumlah perkampungan penduduk seperti Kampung Balubur, Kampung Gadog, Dago, Gegerkalong Girang, dan Babakan Bogor.
Dan pertimbangan ketiga adalah karena daerah tersebut memenuhi syarat kepercayaan lokal, yakni bekas kubangan badak putih yang berarti lahan itu memiliki sumber air, baik berupa mata air ataupun aliran sungai.
Tidak jauh dari Kampung Cikalintu yang dipilih oleh Wiranatakusumah II, memang terdapat mata air Pancuran Tujuh di daerah Cikendi, Ledeng di daerah Jalan Setiabudi, dan Sungai Cikapundung. Dan tak jauh dari sana terdapat juga daerah yang bernama Rancabadak. Dulu orang Bandung menyebut Rumah Sakit Hasan Sadikin dengan sebutan Rumah Sakit Rancabadak.
Namun, saat perintah pemindahan ibukota turun, ternyata Kampung Cikalintu jaraknya jauh dari Jalan Raya Pos. Oleh karena itu Wiranatakusumah II mencari lokasi lain. Pilihan selanjutnya adalah Babakan Bogor yang sekarang bernama Kebonkawung (daerah sekitar Stasiun Bandung).
Babakan Bogor juga memenuhi syarat lokal dengan terdapatnya mata air Ciguriang yang sampai sekarang masih ada, dan dulu dijadikan sebagai pusat mencuci oleh para penatu.
“Namun, rupanya Kebonkawung (Babakan Bogor) masih belum memenuhi syarat buat mendirikan kabupaten beserta alun-alunnya,” imbuh Kunto.
Akhirnya, Wiranatakusumah II menemukan lokasi yang cocok sebagai ibukota, yakni di sisi Jalan Raya Pos dan tak jauh dari aliran Sungai Cikapundung. Selain itu, di lokasi ini pun terdapat sejumlah mata air yang disebut Sumur Bandung.
Jika dibandingkan dengan perintah Daendels untuk memindahkan ibukota ke sisi Jalan Raya Pos, pemilihan lokasi yang dilakukan oleh Wiranatakusumah II ternyata sesuai. Narasi ini barangkali versi lokal untuk menafikan atau setidaknya tidak terlalu mengagungkan pengaruh kolonialisme dalam peristiwa pemindahan ibukota Kabupaten Bandung.
Dan dari keseluruhan kedua versi ini, banjir di Bandung tempo dulu tak terlampau banyak dikisahkan.
Editor: Nuran Wibisono