tirto.id - Tak lama setelah tiba di Anyer, Banten, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels segera membangun Jalan Raya Pos atau De Groote Postweg yang menjadi urat nadi Jawa. Sebagian besar jalan tersebut menyusuri bagian utara Jawa.
Namun khusus di Jawa bagian barat, dari Mester Cornelis atau Jatinegara, jalan itu berbelok ke selatan, menembus Puncak, melewati Bandung, lalu berbelok lagi ke utara lewat Sumedang yang tembus ke Cirebon. Selanjutnya, De Groote Postweg menyusuri kota-kota di utara Jawa sampai berakhir di Panarukan.
Daendels memerintahkan beberapa bupati untuk memindahkan ibu kota kabupaten ke dekat Jalan Raya Pos. Salah satu yang dipindahkan adalah ibu kota Kabupaten Bandung yang semula di Krapyak atau Dayeuhkolot, di tepi Sungai Citarum, yang letaknya 11 kilometer ke arah selatan dari pusat Kota Bandung sekarang.
“Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd! (Usahakan bila aku datang lagi ke sini, telah dibangun sebuah kota!),” ujar Daendels kepada Bupati Bandung, Wiranatakusumah II, seperti ditulis Haryoto Kunto dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1985).
Kini di tempat Daendels mengeluarkan perintah itu terdapat patok nol kilometer, tepatnya di sisi Jalan Asia Afrika, tak jauh dari Alun-Alun Kota Bandung.
Sementara dalam laman resmi Pemerintah Kabupaten Bandung, perintah tersebut disampaikan lewat surat yang bertitimangsa 25 Mei 1810. Empat bulan kemudian, yakni pada 25 September 1810, tepat hari ini 208 tahun lalu, Kota Bandung resmi menjadi ibu kota Kabupaten Bandung.
Hal pertama yang dilakukan Wiranatakusumah II dalam pemindahan ibu kota adalah membangun pendopo, masjid, dan balai tempat menerima tamu, yang semuanya berada di sisi selatan, barat, dan timur alun-alun.
Sebagai pusat kegiatan ekonomi, dibangun juga pasar di daerah Ciguriang yang letaknya sebelah selatan masjid. Pasar ini terbakar pada 1842 dalam peristiwa pembunuhan asisten residen Bandung, sehingga kota ini tidak mempunyai pasar dalam kurun setengah abad, sebelum akhirnya membangun Pasar Baru di daerah Pecinan.
Pada 1 April 1906, Gubernur Jenderal J.B. van Heutz menetapkan status Kota Bandung menjadi Gemeente atau Pemerintah Kota, dan kantor pemerintahannya menggunakan rumah bekas Asisten Residen Priangan, Andries de Wilde.
“Sejak itulah Kota Bandung resmi lepas dari Kabupaten Bandung walaupun ibukota Kabupaten Bandung masih terletak di Kota Bandung,” tulis Sudarsono Katam dalam Gemeente Huis (2014).
Jejak Masa Lalu
Kerajaan Pakuan Pajajaran runtuh pada 1579. Sebagai penerusnya, Kerajaan Sumedanglarang tunduk kepada Mataram sejak 1620. Para pembesar Sumedang kerap ditugaskan Sultan Agung dalam berbagai pertempuran. Salah satu wilayah di Priangan bernama Tatar Ukur yang dipimpin seorang adipati berjuluk Dipati Ukur.
Sekali waktu, Dipati Ukur ditugaskan Sultan Agung untuk menggempur VOC di Batavia, tetapi gagal. Konsekuensi akibat gagal dalam penugasan adalah dihukum. Maka Dipati Ukur dan para pengikutnya memutuskan untuk memberontak.
Pemberontakan Dipati Ukur dapat dipadamkan Mataram atas bantuan para pembesar Priangan lain, yakni Ki Astamanggala, Tanubaya, dan Ngabehi Wirawangsa. Pada 1632, ketiga orang ini diangkat Sultan Agung menjadi Bupati Bandung, Bupati Parakanmuncang, dan Bupati Sukapura.
Setelah kembali dari Mataram setelah dilantik menjadi Bupati Bandung, Ki Astamanggala yang bergelar Tumenggung Wira Angun-angun mendapat 200 cacah di daerah bekas ibu kota Kerajaan Timbanganten, di Tarogong. Lalu ia dan rakyatnya membangun pusat kota di Krapyak.
Jika melihat kesaksian Juliaen de Silva, seorang Mardijker yang keluyuran ke wilayah Bandung pada 1641, tampak bahwa wilayah tersebut masih sangat lengang oleh manusia.
“Ada sebuah negeri dinamakan Bandong yang terdiri atas 25 sampai 30 rumah,” tulisnya.
Seratus tujuh puluh delapan tahun setelah ditetapkan sebagai salah satu kabupaten di wilayah Priangan, Kabupaten Bandung memasuki babak baru karena ibu kotanya bergeser ke utara, ke sisi urat nadi Jawa, sesuai perintah Daendels.
Perkembangan dan Hari Jadi Kota
Dalam sebuah peta berjudul “Negorij Bandong”, yang berangka tahun 1825 atau 15 tahun setelah pemindahan ibu kota, di Kabupaten Bandung tercatat baru ada 8 bangunan permanen, yakni pendopo, rumah tumenggung, rumah patih, masjid, pesanggrahan, barak militer, gudang kopi, dan rumah pelukis asal Belgia, Antoine A.J. Payen. Saat itu Payen bekerja untuk pemerintah kolonial.
Menurut Ridwan Hutagalung dalam Bandoeng Ibu Kota Hindia Belanda (2016), bangunan permanen baru bertambah pada 1864, yakni Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzern atau Sekolah Guru bagi Kaum Pribumi di daerah Mardika yang sekarang menjadi kantor Polrestabes Bandung.
Pada tahun yang sama, dibangun juga rumah Residen Priangan di daerah Cicendo karena ibukota Karesidenan Priangan pindah dari Cianjur ke Bandung akibat letusan Gunung Gede. Rumah ini sekarang dikenal dengan sebutan Gedung Pakuan.
“Dalam rentang satu abad sejak pindahnya Kabupaten Bandung ke lokasi baru, tidak mengalami terlalu banyak perubahan fisik kota. Baru setelah masuknya kereta api ke Bandung, dapat dikatakan mulai ada pembangunan yang cukup besar, dimulai dari kawasan sekitar Stasiun Bandung banyak dibangun hotel dan toko,” tulisnya.
Ia menambahkan, selain masuknya jalur kereta api, perkembangan kota pun mulai pesat sejak Kabupaten Bandung dipimpin Martanagara (1893-1918). Bupati itu mulai mengganti atap rumah warga pribumi yang semula menggunakan alang-alang dengan genting. Ia juga membuat sejumlah saluran air baru, sehingga rawa-rawa dan genangan air lainnya bisa dikeringkan.
Pada masa pemerintahan Martanagara juga dibangun gedung perkumpulan Societeit Concordia yang sekarang menjadi Gedung Merdeka di ujung selatan Jalan Braga. Di seberang gedung tersebut dibangun pula toko milik keluarga de Vries yang sekarang menjadi kantor salah satu bank swasta.
“Pembangunan besar-besaran di Bandung [dilakukan] pada awal abad ke-20. […] Inilah masanya Bandung mendapatkan berbagai julukan penuh pujian seperti ‘The Garden of Allah’, ‘De Bloem der Indische Bergsteden, ‘Het Paradijs der Aardsche Schoonen’, sampai yang paling terkenal, yaitu ‘Parijs van Java’,” imbuh Ridwan.
Kiwari, Kota Bandung telah tumbuh menjadi salah satu kota besar di Indonesia. Selain menjadi salah satu pusat pendidikan dan tujuan wisata, kota ini juga mempunyai permasalahan yang khas seperti kota-kota besar lainnya di negeri ini, yakni ledakan penduduk, kemacetan, kriminalitas, dan lain-lain.
Sampai 1997, Hari Jadi Kota Bandung diperingati setiap tanggal 1 April, berdasarkan pada penetapan statusnya menjadi gemeente pada 1906. Namun, sejak 1998 tanggal ulang tahun itu diubah menjadi 25 September, mengacu pada diresmikannya Bandung sebagai ibu kota kabupaten.
Editor: Ivan Aulia Ahsan