tirto.id - Kolam kecil dekat mata air Ci Guriang berwarna hijau. Lumut tumbuh di dasarnya, sementara permukaannya diseraki daun dan ranting yang jatuh dari pepohonan yang tumbuh di sekitarnya. Berjarak sekitar tiga meter dari kolam, terdapat tempat cuci baju umum yang amat sederhana: tanpa atap, dindingnya terbuat dari seng yang ditempelkan ke bilah-bilah bambu. Tempat tersebut sedang tak bisa dipakai, kemarau cukup panjang membuatnya kering dan kotor.
Di dalam tempat cuci baju terdapat sebuah nisan yang tercecer. Saya pertama kali melihatnya pada 28 September 2014 ketika mengikuti salah satu kegiatan Komunitas Aleut di Bandung. Nisan tersebut bertuliskan:
ELISABETH ADRIANA HINSE-RIEMAN
GEB. AMSTERDAM
9 MAART 1859
OVERL. BANDOENG
13 JANUARI 1903
Tempat cuci baju umum itu terletak di Jalan H. Mesri RT 10 RW 6, Kelurahan Pasirkaliki, Kecamatan Cicendo, Kota Bandung, tak jauh dari GOR Pajajaran yang dulunya bekas permakaman Belanda bernama Kekhof Kebon Jahe.
Hasil penelusuran Ridwan Hutagalung—peminat sejarah dan kokolot Komunitas Aleut-- menemukan bahwa Elisabeth Adriana Hinse-Rieman adalah istri dari D. W. Hinse J. Hz. Suaminya adalah arsitek yang merancang dan mengepalai pembangunan gedung Het Hoofdkantoor van de Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) atau Kantos Pusat Perusahaan Kereta Api Swasta di Semarang.
Dalam artikel yang lain, Ridwan menjelaskan bahwa Kerkhof Kebon Jahe dibongkar pada tahun 1973 untuk dijadikan lapangan olahraga yang kemudian dikenal sebagai GOR Pajajaran. Sejumlah makam dipindahkan ke beberapa lahan lain seperti ke permakaman Kristen Pandu, Sadangserang, dan Tamansari. Dua nama terakhir kini sudah tidak ada karena diganti oleh permukiman dan kampus perguruan tinggi.
“Entah bagaimana pemilihan makam yang dipindahkan itu tetapi sepertinya tidak semua makam terpindahkan. Mungkin sebagian rusak dan hancur, lalu musnah. Sebagian lagi tercecer di sana-sini seperti sebuah nisan besar yang dijadikan alas cucian warga di sekitar mata air Ci Guriang,” tulis Ridwan.
Keberadaan nisan Belanda di sekitar mata air Ci Guriang kemudian banyak diberitakan oleh berbagai media, sehingga oleh pemerintah Kota Bandung kemudian dibawa ke Kantor Kelurahan Pasirkaliki. Namun tak lama setelah tiba di Kantor Kelurahan, nisan yang semula disenderkan ke tiang plang, terjatuh dan terbelah.
Menanggapi hal tersebut, Ridwan merasa kecewa dan menyayangkannya. Ia menjelaskan bahwa selama bertahun-tahun berada di tengah warga nisan tersebut bisa utuh. Namun tak lama setelah dipindahkan ke Kantor Kelurahan Pasirkaliki kondisinya sudah berubah.
“Harusnya dipertimbangkan, kalau diberdirikan, ada penyangganya atau apa. Kalau yang saya baca kan itu disenderkan. Melihat nisan itu patah, saya merasa kok ya riwayat nisan yang menarik ini jadi tamat,” ujarnya.
Ridwan menambahkan bahwa sebaiknya nisan tersebut kembali direkatkan dan simpan di tempat yang lebih baik seperti di museum, sambil menunggu informasi lain yang akan melengkapi cerita nisan tersebut.
“Kita ini sebenarnya punya banyak sekali cerita-cerita. Namun belum terungkap. Pelan-pelan saja, yang penting arsipnya terpelihara,” katanya.
Nynke Groeneveld-Buis Mencari Makam Neneknya
Pada Sabtu, 27 Februari 2016, sehari sebelum berlangsungnya kegiatan mengunjungi Permakaman Kristen Pandu, seseorang mengirim komentar di unggahan yang berisi poster kegiatan tersebut. Seorang perempuan dengan nama akun Nynke Groeneveld-Buis, dengan bahasa Indonesia terbata-bata dan typo di sana-sini, meminta tolong untuk mencari makam neneknya yang meninggal pada 29 Mei 1923.
“Halo, jika Anda Padu tolong mencari makam nenekku masih ada? Dia dimakamkan di 29-05-1923 di Pandu nomor 686. Namanya Klaaske Terpstra. Dia menjadi 37 tahun. Saya lampirkan gambar kuburnya. Saya tinggal di Belanda dan tidak bisa mengunjunginya. Terimakasih. Tulus dari Nynke Groeneveld-Buis.”
Saya trenyuh. Atas alasan kemanusiaan, dan memang itulah satu-satunya alasan, saya memenuhi permintaannya. Pada Senin, 29 Februari 2016 saya kembali ke permakaman Pandu. Mula-mula mencari informasi ke pihak pengelola permakaman yang berada di bawah (Diskamtam) Dinas Permakaman dan Pertamanan, tapi data yang kami cari tidak ada.
Kami kemudian memutuskan untuk mencarinya langsung ke permakaman. Di setiap nisan terdapat nomor yang ditulis dengan warna berbeda. Sebagian berwarna merah, sebagian lagi hitam. Hal tersebut barangkali karena ada perubahan sistem penomoran. Di salah satu blok, kami menemukan nomor 686 berwarna merah, tapi nama yang tertulis di nisan bukan nama yang dimaksud oleh Nynke Groeneveld-Buis. Sementara pada nomor yang berwarna hitam kami hanya menemukan nomor 683, nomor yang 686 tidak ditemukan.
Komunitas Aleut sebetulnya pernah mendokumentasikan hampir setiap nisan yang ada di permakaman Pandu, tapi nisan bertuliskan nama Klaaske Terpstra tidak terdokumentasikan. Entah luput atau memang tidak ada. Saya kemudian bertanya kepada Nynke Groeneveld-Buis ihwal sumber foto makam neneknya yang ia unggah di ruang komentar, dan tentang pengurusan administrasi makam kepada Diskamtam Kota Bandung
Poin pertama adalah untuk melacak tempat makam tersebut, apakah makam di foto itu lokasinya di permakaman Pandu atau di Kerkhof Kebon Jahe yang sudah dibongkar dan mungkin saja nasibnya sama seperti makam Elisabeth Adriana Hinse-Rieman yang tercecer. Sedangkan poin kedua adalah untuk memastikan urusan administrasi. Hal ini karena, jika melihat Peraturan Daerah Kota Bandung No. 19 Tahun 2011, ada kemungkinan makan tersebut sudah dibongkar.
“Foto itu dari ibuku. Dia dibesarkan di Jakarta/Bandung dan dia ada di sana ketika ibunya Klaaske Terpstra berada di rumah sakit dalam kematian Bandung. Aku tidak tahu kapan foto itu diambil dan oleh siapa,” jawabnya.
Untuk membantu pencarian, ia memberi tahu neneknya menikah dengan Wopke Januari Aninga. Hal itu ia sampaikan dengan harapan nama tersebut tertulis di nisan yang kami cari. Namun ternyata tak banyak membantu.
Setelah pencarian dihentikan dan kami sampaikan kepada Nynke Groeneveld-Buis, ia menulis di dinding facebooknya:
“Atas permintaan saya, Komunitas Aleut mencari makam nenek saya, Klaaske Terpstra, di permakaman lama Pandu di Bandung. Makam beliau bernomor 686. Dan hari ini saya menerima kabar dari komunitas tersebut bahwa nomor 686 telah ditempati orang lain,” tulisnya.
Raymond Kennedy di Robert Doyle antara Belukar
Warsa 1950, Raymond Kennedy (profesor antropologi Yale University) beserta seorang rekannya sedang melakukan penelitian tentang budaya barat di Indonesia. Sementara rekannya, Robert Doyle, jurnalis majalah Time dan Life tengah mengadakan penelitian di kalangan petani di Priangan.
Sial tak bisa ditampik. Keduanya dibunuh oleh para serdadu KNIL dalam perjalanan dari Bandung menuju Cirebon. Kematian mereka berusaha disembunyikan oleh KNIL dengan menyuruh warga yang dekat dengan lokasi kejadian untuk segera menguburkannya.
Dua hari setelah kejadian, harian The New York Times menurunkan berita tersebut. Pembunuhan itu disinyalir bukan tindak kriminal biasa, melainkan pembunuhan politis. Hal itu didasarkan pada sikap Raymond Kennedy yang pernah menulis sesatu yang menyinggung pemerintah Belanda di sebuah media di Amerika Serikat.
Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) melalui Perdana Menteri Mohammad Hatta menanggapi kasus ini dengan serius. Ia menyatakan pemerintah RIS tidak menelantarkan kasus ini sampai kejadian misterius dan menyedihkan ini terungkap dan orang-orang bersalah dibawa ke pengadilan.
30 April 1950, kedua korban ini dimakamkan di permakaman Pandu, Bandung. Di nisan Raymon Kennedy kemudian dibubuhkan kata-kata: “In Memory of Raymond Kennedy, 1906-1950. American Scholar, scientist, humanist, loyal friend of the Indonesian people and martyr to their independence. The light of truth and the warmth of understanding inspired his labors for the fellowship man from his colleagues in university”
Kondisi makam Raymond Kennedy relatif masih utuh meski kerap tertutupi belukar.
Penulis: Irfan Teguh Pribadi
Editor: Zen RS