Menuju konten utama

Tren Kremasi Jenazah Meningkat Akibat Lahan Kuburan Makin Sempit

Sempitnya lahan pemakaman memicu penduduk di Inggris, Jerman, Israel, Jepang, Korea Selatan, Filipina dan lainnya untuk mencari cara alternatif tata cara pemakaman.

Tren Kremasi Jenazah Meningkat Akibat Lahan Kuburan Makin Sempit
Seorang wanita berdoa di Ruriden, sebuah pemakaman yang menggunakan lampu LED bertenaga tinggi untuk menerangi lebih dari 2.000 patung Buddha yang diukir di kristal, di pusat kota Tokyo pada tanggal 27 Oktober 2014. REUTERS / Toru Hanai

tirto.id - Dalam sejarah peradaban manusia, beragam cara digunakan untuk mengurus jenazah, mulai dari dikremasi, dilarung ke laut, diawetkan atau dikubur. Kendati merupakan metode yang paling umum dilakukan di berbagai belahan dunia, semakin sempitnya lahan pemakaman di kota-kota besar membuat banyak orang mencari cara-cara lain di luar penguburan.

Tradisi penguburan mayat setidaknya telah dimulai di masyarakat Mesir Kuno misalnya. Mulanya mereka menguburkan mayat di tanah dengan galian dangkal. Kebiasaan ini berubah setelah periode dinastik Mesir dimulai sekitar tahun 3100 SM yang berbarengan dengan era kejayaan bangsa tersebut.

Orang-orang Mesir saat itu mulai membangun sebuah makam dengan tingkat kerumitan tinggi. Sampai hari ini, bangunan makam yang terkenal adalah model piramida untuk para penguasa Mesir.

Dimulai pada 5000 SM, tradisi pemakaman di Mesopotamia (yang meliputi Sumeria, Babilonia, dan Asiria) lebih tua ketimbang Mesir. Orang-orang Mesopotamia percaya bahwa kehidupan setelah mati ada di bawah perut bumi sehingga jenazah harus dikubur agar memudahkan perjalanan ke alam selanjutnya.

Rakyat jelata dimakamkan di sekitar rumah mereka. Sementara para bangsawan dan petinggi kerajaan dikuburkan bersama emas dan permata, sebagaimana dibuktikan oleh penemuan kompleks pemakaman mewah di kota Ur, Sumeria (kini masuk wilayah Irak) pada 1920.

Ancient History Encyclopedia menyebutkan bahwa penguburan jenazah di liang lahat sudah dilakukan selama 100.000 tahun silam. Berdasar pada penemuan kompleks kuburan di gua Qafzeh, Israel yang berisi 15 kerangka manusia.

Metode Baru

Survei BBCtahun 2013 menunjukkan bahwa hampir setengah dari kompleks pemakaman di Inggris akan kehabisan tempat dalam 20 tahun ke depan. Terbatasnya lahan pemakaman membuat harga tanah makin melambung. Dua tahun berselang, banyak dari orang Inggris kemudian beralih ke metode kremasi.

“Pihak berwenang setempat harus berusaha mencari lahan untuk kuburan baru yang harganya mahal. Tapi mereka pun masih harus menutupi biaya pemeliharaan kompleks kuburan lama,” kata Tim Morris, Kepala Eksekutif Pengelola Pemakaman dan Manajemen Krematorium di Inggris kepada BBC.

Selain metode kremasi, solusi lain yang ditempuh di Inggris adalah daur ulang liang lahat. Caranya, jasad lama diangkat, dibersihkan, dan dikubur lebih dalam. Setelah itu ruang di bagian atas digunakan untuk menampung jenasah baru.

Di negara Eropa lainnya seperti Jerman, praktik daur ulang kuburan telah dijalankan dengan regulasi yang berbeda: sepetak makam menampung jenazah dalam jangka waktu yang lebih cepat sampai akhirnya digunakan untuk jenazah baru. Di kompleks kuburan di pulau San Michele, Venesia, Italia, kebijakannya lebih ekstrem lagi. Begitu jenazah membusuk, ia akan dipindahkan dari liang lahat. Kebijakan ini diambil karena jumlah orang yang ingin mengubur jenazah keluarganya di kompleks pemakaman tersebut sudah melampaui batas wajar.

Makin sempitnya lahan kuburan juga dirasakan Israel. Pemerintah meresponsnya dengan membangun terowongan berisi kuburan model bertingkat. Kendati demikian, proyek ini ditentang oleh sejumlah kelompok Yahudi Ortodoks.

Problem keterbatasan lahan kuburan juga merambah ke kota-kota Asia, sampai-sampai memaksa beberapa orang untuk mengubah tradisi pemakaman keluarganya. Bahkan Jepang yang mengenal tradisi kremasi, masih membutuhkan lahan pemakaman lengkap dengan bangunan kijing makam. Sebab, abu jenazah yang telah disimpan di dalam sebuah guci, dirumahkan lagi di sebuah area pemakaman keluarga.

Infografik Kremasi Praktis dan Hemat

Laporan Nikkei Asian Review pada 17 Januari lalu menunjukkan perubahan tradisi pemakaman di Jepang. Orang-orang Jepang mulai melarung abu anggota keluarga mereka ke teluk Tokyo. Mereka tak lagi menggunakan lahan pemakaman yang kian ketat diatur pemerintah.

“Selama satu dekade terakhir, makin banyak warga Jepang yang akrab dengan praktik melarung abu jenazah,” aku Kazuki Gonmori, pengelola pelayaran larung abu jenazah. Setiap tahun, mereka mengatur 300 pelayaran bagi para keluarga yang hendak melarung abu di laut. Biayanya mulai dari 50.000 yen per guci abu jenazah. Ini lebih murah ketimbang membuka area pemakaman baru yang rata-rata menghabiskan ongkos satu juta yen.

Di sisi lain, Jepang memang tengah menghadapi surplus kematian karena banyaknya jumlah penduduk usia lanjut. Dengan populasi sebesar 126 juta jiwa, pada 2016 terdapat lebih dari 1,3 juta orang di negeri sakura ini meninggal dunia. Jumlah angka kematian yang diklaim terbesar sejak akhir Perang Dunia II ini berdampak langsung pada meningkatnya lahan pemakaman.

Selain melarung abu ke laut, dalam satu dekade terakhir pemakaman di dalam ruangan meningkat sekitar 30 persen, khususnya di daerah perkotaan yang tak menyediakan lahan pemakaman konvensional.

Pemakaman dalam ruangan adalah sebutan untuk sebuah bangunan yang menyimpan guci-guci abu kremasi. Karena hanya guci yang disimpan, ruang yang dibutuhkan lebih sedikit.

Tradisi pemakaman di Filipina kurang lebih sama dengan Indonesia. Namun karena terjadi krisis lahan beberapa tahun terakhir, tradisi pemakaman bergeser ke model kremasi. Dilansir dari Inquirer, tren kremasi jenazah telah memperkuat persaingan dalam industri peti mati karena jumlah permintaanya makin surut.

"Beberapa keluarga yang memanfaatkan jasa pemakaman kami memilih kremasi. Peti hanya disewa untuk memperlihatkan jenazah (kepada pelayat) saja," kata Nadinee Arceo, pemilik Kapel Memorial St. Louis yang melayani prosesi kematian mulai dari menjual peti mati sampai kremasi.

Abu hasil kremasi pun dimasukkan ke dalam guci yang selanjutnya dikubur atau disimpan dalam krematorium. Kremasi hanya menghabiskan dana 20.000-25.000 peso, sedangkan upacara pemakaman konvensional bisa menelan biaya hingga 80.000-200.000 peso, bahkan bisa lebih.

Data Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korea Selatan menunjukkan peningkatan tren kremasi sejak 1994. Pada 2016, ada 82,7 persen jenazah warga Korea Selatan dikremasi.

Di Indonesia sendiri, liang lahat masih menjadi opsi utama. Sama halnya dengan di belahan dunia lain, lahan pemakaman di kota-kota besar semakin menipis.

Di sisi lain, makin sempitnya lahan pemakaman di Jakarta menciptakan ruang bagi bisnis pemakaman eksklusif. Sebuah pemakaman mewah milik Lippo Group bernama San Diego Hills dibuka di Karawang. Jauh dari kesan minimnya lahan, San Diego Hills memiliki fasilitas restoran, kapel, masjid, kolam renang, tempat bermain anak, danau, dan banyak lagi.

Sejak diluncurkan pada 2008, 58.000 petak di San Diego Hills telah terjual dan baru digunakan sebanyak 51.000. Langkah San Diego Hills pun diikuti oleh pebisnis lain dengan mendirikan Al-Azhar Memorial Garden. Bedanya, taman pemakaman mewah di Kabupaten Karawang, Jawa Barat ini berbasis syariah dan khusus untuk umat muslim.

Kota-kota besar dengan kepadatan penduduk dan bangunan memang lebih rentan menghadapi krisis lahan pemakaman.

Dilansir dari Antara, data Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta menunjukkan bahwa setiap harinya 110 orang di ibukota membutuhkan makam. Artinya, jika dikonversi ke luas lahan, 880 meter per segi setiap harinya dibutuhkan untuk pemakaman. Tingginya permintaan ini memicu praktik jual beli makam.

Baca juga artikel terkait BISNIS PEMAKAMAN atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf