tirto.id - Kereta 275 Zamyn Uud-Ulaanbaatar
Jarak yang ditempuh: 660 km, 8 jam
Total km dari Indonesia: 7.300 km
“MONGOLIA itu besar sekali, lihat ini,” kata seorang bapak dengan Bahasa Inggris sederhana sambil duduk di tepi kursi saya di kereta dan memberikan ponselnya. Ponsel itu memutar sebuah video tentang peta Mongolia dari masa ke masa. “Jengis Khan,” katanya bangga, saat video menunjukkan masa ketika luas Mongolia meliputi sebagian besar Asia dan Eropa.
Setelah menempuh perjalanan darat sejauh 3.350 kilometer dari Indonesia melewati Malaysia, Thailand, Laos hingga Vietnam, ditambah 3.300 km melintasi Cina, saya pun tiba di Mongolia. Akhirnya saya akan menyusuri jalur kereta Trans Mongolia! Jalur Trans Mongolia tidak setua jalur Trans Siberia di Rusia. Mongolia baru mulai membangun jalur ini tahun 1947 dan baru terhubung dengan perbatasan Cina pada 1955.
Sekarang jalur kereta ini menjadi salah satu jalur terpenting yang menghubungkan perekonomian Asia dan Eropa. Jalur kereta barang terpanjang di dunia yang menghubungkan Cina ke London, berangkat dari Cina, melalui Trans Siberia, dan kemudian masuk ke Rusia. Kontainer dari Cina bisa tiba di Finlandia dalam waktu kurang dari 10 hari, lebih cepat jika lewat laut yang memakan waktu 28 hari.
Perjalanan saya dimulai dari sebuah Zamyn Uud, kota kecil yang berbatasan dengan Cina. Saya memasuki Zamyn Uud dengan jip lokal dari kota Erlian, Cina. Sebenarnya ada juga kereta langsung dari Beijing ke Ulaanbaatar, tapi dengan pertimbangan waktu dan biaya saya memilih untuk naik bus dari Beijing ke Erlian, lalu melintasi perbatasan, dan baru membeli tiket kereta di Mongolia. Perjalanan lintas batas cukup cepat, hanya memakan waktu 30 menit, dengan 20 menitnya dihabiskan untuk antrean imigrasi.
Saya membeli tiket kereta domestik 275, yang akan berangkat pukul 17.35. Untuk menunggu kereta yang masih 9 jam lagi, saya mencoba berjalan-jalan keliling kota Zamyn Uud. Rupanya stasiun sudah merupakan tempat paling ramai di kota itu, tidak ada apa-apa lagi selain sebaris bangunan di jalan utama. Udara terasa semakin dingin meskipun matahari bersinar terik.
Kereta pun berangkat melintasi Gurun Gobi yang membentang di luar jendela selama berjam-jam lamanya. Pasir coklat muda dan langit biru, perlahan berubah jadi kelabu. Saya tertidur, terbangun lagi, dan agak terkejut mendapati pemandangan di luar masih sama. Seolah kereta tidak pergi ke mana-mana dan hanya berjalan di tempat.
Beberapa hari sebelumnya saya berjalan di tembok besar Cina, mengagumi struktur luar biasa yang dibangun salah satunya untuk menghalau tentara Mongolia. Saya membayangkan para tentara itu, berkuda melewati gurun pasir ini menuju Cina. Jika mereka berhasil melewati bentang alam yang keras ini, tak heran jika mereka berhasil menjadi bangsa penakluk yang ditakuti.
Semua berawal dari Jengis Khan, yang menjadi pemimpin besar karena dia berhasil menyatukan dan mengontrol gerombolan nomaden sehingga menjadi pasukan yang sangat kuat. Pada puncak kejayaannya, Mongolia menguasai Beijing hingga Konstantinopel. Penguasa yang menolak untuk menyerah, bisa dipastikan kotanya dihancurkan dan penduduknya dibantai. Satu demi satu kota jatuh. Bukhara dan Samarkhan jadi reruntuhan, dan Baghdad dikalahkan dalam sekali pertempuran.
TIket kereta saya kelas platzkart, yang artinya saya berada di gerbong terbuka yang berisi bangku bersusun, tiap bagian berisi 6 orang. Beruntung pasangan Rusia yang duduk di bangku depan saya bisa berbahasa Inggris. Mereka menjelaskan cara menyulap kursi menjadi tempat tidur, dan menunjukkan tempat rahasia di bawah kursi untuk memasukkan tas ransel agar aman.
Provodnitsa, alias pramugari kereta, membagikan kantong plastik berisi dua lembar seprei, sarung bantal, dan handuk kecil. Satu seprei digunakan untuk menutup tempat tidur, sedangkan kain seprei yang lain digunakan untuk menyelimuti tubuh sebelum memakai selimut tebal yang memang tidak pernah dicuci.
Di bagian depan gerbong terdapat samovar, alias ketel air panas. Di sana juga terdapat “kantor” provodnitsa, tempat kita bisa minta bantuan atau membeli makanan dan camilan. Satu atau dua provodnitsa bertanggung jawab untuk satu gerbong, mulai dari memeriksa karcis, menunjukkan tempat duduk, membagikan selimut, berjualan makanan dan membersihkan gerbong. Sebagian besar tidak dapat berbahasa Inggris. Mereka tidak ramah, tapi selalu siap membantu.
Saya ingin mengambil foto dan merekam video, tapi jendela amat sangat kotor, buyar sudah impian berfoto bersama Gobi. Udara di dalam kereta hangat karena pemanas udara, tapi jangan tanya dinginnya saat harus ke toilet, apalagi angin dingin berhembus dari jendela kecil di atas. Saat matahari terbenam yang ada di luar hanya kegelapan total, tanpa ada setitik pun cahaya. Saya pun tidur dengan nyenyak di balik kehangatan selimut tebal.
PAGI harinya, saya menyeduh teh sambil melamun memandangi hamparan rumput dan ternak-ternak yang bertebaran sejauh mata memandang. Hingga akhirnya bangunan bermunculan, juga tenda-tenda yang makin rapat. Kereta sudah hampir tiba di Ulaanbaatar, ibukota Mongolia. Makin dekat kota, daerahnya makin kumuh, tenda-tenda berjejer di sepanjang rel kereta, mengingatkan saya pada bangunan dari kardus di dekat rel di Jakarta.
Sebagai bangsa nomaden, kejayaan Jengis Khan maupun pemimpin Mongol lainnya tidak meninggalkan bekas di Mongolia. Tidak ada istana megah atau kuil yang indah. Bahkan makam Jengis Khan pun tak diketahui letaknya.
Hanya ada Karakorum, kota kecil yang dahulu sempat dijadikan ibu kota oleh Jengis Khan dan beberapa Khan berikutnya. Kota yang didirikan oleh Jengis Khan tahun 1220 itu menjadi bukti toleransi kuno antara agama-agama yang berbeda dengan adanya masjid, gereja, kuil Buddha dan samanisme yang berdampingan. Sayangnya kini hampir tidak ada jejak kota yang sempat berperan penting di jalur sutra ini.
Di Karakorum kini hanya terdapat beberapa reruntuhan dan beberapa kuil Buddha yang selamat dari penghancuran. Konon, banyak peninggalan masa lalu yang masih terkubur di dalam tanah dan sedang menunggu penggalian. Kami diajak mengunjungi museum yang menceritakan tentang, lagi-lagi, kejayaan Jengis Khan dan pemimpin-pemimpin Mongol setelah dia.
“Kami semua orang Mongolia sangat bangga dengan Jengis Khan,” kata pemandu saya, Sharuul.
Kebanggan itu ditunjukkan salah satunya dengan pembangunan patung raksasa Jengis Khan setinggi 40 meter. Patung Jengis Khan dalam pose menunggang kuda didirikan 54 kilometer di timur Ulaanbaatar. Lokasi ini dipilih karena dipercaya sebagai tempat Jengis Khan menemukan cambuk emas, senjata legendaris andalannya.
Pengunjung bisa naik dengan lift dan keluar tepat di punggung kuda Jengis Khan. Dari atas, pengunjung dapat melihat tenda-tenda ger dan patung tentara Mongolia yang mengelilingi monumen, seperti ratusan tahun lalu di mana pasukan tak terkalahkan selalu berada di sekitar Jengis Khan. Warisan kejayaan masa silam yang kini nyaris tak tersisa.
========
Famega Syavira Putri, jurnalis yang hobi jalan-jalan, telah mengunjungi 33 negara dan melalukan perjalanan darat dari Indonesia ke Afrika.Tirto akan menayangkan serangkaian catatan perjalanan Famega Syavira. Ini adalah tulisan kedua.
Baca tulisan pertamanya: Membayangkan Trans-Siberia, Merancang Perjalanan ke Eropa
Penulis: Famega Syavira Putri
Editor: Nuran Wibisono