tirto.id - Ini adalah dua laporan tentang Jawa pada abad ke-19. Ditulis oleh dua orang dengan latar kebangsaan berbeda. Disurat dari sudut pandang orang pertama, bukan merangkum laporan orang lain, seperti History of Java karya Raffles.
Orang pertama adalah priayi bumiputra bernama pena Raden Mas Arya Purwalelana. Karyanya berjudul Carios Bab Lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwalelana. Terjemahannya berjudul Perjalanan Arya Purwalelana Mengelilingi Jawa (1860-1875) terbit pada 2024.
Arya Purwalelana diidentifikasi sebagai bangsawan Jawa yang memiliki nama asli Raden Mas Arya Adipati Candranegara V. Tokoh ini pernah menjabat sebagai Bupati Kudus (1858-1880) dan Brebes (1880-1885). Nama aslinya baru dituliskan dengan jelas pada edisi cetak ulang Jilid I yang terbit pada tahun 1877.
Sedangkan Orang kedua adalah William Barrington D’Almeida, seorang pedagang di Singapura keturunan Portugis yang kemudian menjadi pengacara di Inggris. Karya D’Almeida dibukukan dengan judul Life in Java With The Sketches of The Javanese, terbit dalam dua jilid. Terjemahannya berjudul Kehidupan Jawa dalam Sketsa Orang Jawa, terbit tahun 2020.
Arya Purwalelana melakukan perjalanan lebih dahulu dan lebih panjang durasinya daripada D’Almeida. Begitu juga dengan jumlah daerah yang dikunjunginya.
Bumiputra yang Terpukau Teknologi
Raden Mas Candranegara V mengeliling Jawa pada rentang tahun 1860-1875, dalam empat kali perjalanan. Purwalelana mengunjungi 18 keresidenan dari total 22 keresidenan di Pulau Jawa. Sejumlah daerah tak ia kunjungi, seperti Banten, Karawang, Banyumas, dan Bagelen.
Selama perjalanan, Purwalelana bercerita tentang tata letak ibu kota kabupaten, termasuk soal alun-alun dan rumah bupati, juga tentang jalan.
Ia menuliskan interaksinya dengan sejumlah pejabat bumiputra, seperti wedana dan bupati. Dalam perjalanannya, Purwalelana sering menginap di rumah pejabat bumiputra, losmen, maupun pesanggrahan. Moda transportasi yang digunakan pun beragam, dari kapal uap, kereta kuda, kuda, rakit, perahu, kereta api, dan berjalan kaki.
Purwalelana mengagumi teknologi yang kala itu sedang berkembang di Jawa. Mulai dari transportasi kereta, senjata, hingga mesin untuk pabrik gula.
Berasal dari keluarga bangsawan, membuat Arya Purwalelana telah mendapatkan pendidikan ala Eropa sejak kecil. Hal ini membuatnya cakap berbahasa asing dan menjadi sosok yang intelek.
Ini tecermin dalam upayanya menuliskan kisah perjalanan. Carios Bab Lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwalelana menjadi karya sastra pertama berbahasa dan beraksara Jawa pada abad ke-19 yang menggunakan gaya penulisan prosa. Sebuah terobosan yang luar biasa pada masa itu. Mengingat masih banyak karya pada masa itu yang menggunakan gaya penulisan sastra lama, yaitu tembang.
Pada buku tersebut, ada beberapa deskripsi yang menggunakan sastra lama. Misalnya tentang Kadipaten Mangkunegaran, dibuat dalam bentuk dandanggula. Begitu juga saat membuat deskripsi tentang Gunung Jambu dan Keresidenan Kedu. Selebihnya semua berbentuk prosa.
Tijdschrift voor Nederlandsch Indie (1868) menyebutkan bahwa Arya Purwalelana memang berharap gaya penulisan yang diinisiasi olehnya akan diikuti penulis lain. Setelah penerbitannya, mulai bermunculan karya-karya lain. Maka, tidak heran jika tulisan Arya Purwalelana disebut sebagai karya yang monumental.
D’Almeida Mengagumi Alam dan Ritual di Jawa
D’Almeida mengelilingi Jawa bersama istrinya sebelum tahun 1864. Dia tidak menyebut waktu pasti untuk memulai perjalanannya. Beberapa hal yang bisa digunakan sebagai indikator waktu adalah kunjungan saat akan meninggalkan Jawa ke kediaman Raden Saleh. Kala itu, Raden Saleh telah kembali Jawa pada 1852.
Kisahnya saat berkunjung ke Keresidenan Banyumas bisa juga menjadi petunjuk yang lebih tepat. Kunjungannya terjadi beberapa bulan setelah banjir bandang tahun 1861. Artinya, kunjungannya dilakukan pada rentang 1861-1863.
Pada perjalanan yang pertama dan terakhir di Jawa, D’Almeida menuliskan hampir semua hal yang dia temui di daerah. Urutan rute kunjungannya ada dalam lampiran bukunya yang berbahasa Inggris, jilid II. Di Jawa bagian timur D’Almeida hanya sampai di Probolinggo.
Ia membahas kondisi jalan, lingkungan, dan cerita rakyat yang ada di daerah tersebut. Rombongan D’Almeida menginap di losmen, hotel, ataupun rumah milik orang Eropa. Terkadang singgah di rumah pejabat bumiputra dan pesanggrahan. Moda transportasi yang digunakan adalah kapal uap, kereta kuda, dan kuda.
Interaksi yang dilakukan lebih banyak dengan pejabat dari Belanda, pemilik penginapan dan tanah pertanian/perkebunan dari Eropa. Interaksi dengan penduduk bumiputra dilakukan dengan perantara pelayannya yang bernama Drahman. Ini disebabkan penguasaan bahasa Melayunya yang tidak begitu bagus. Lewat Drahman, D’Almeida mendapat bahan penulisan tentang cerita rakyat dari sejumlah daerah yang dikunjunginya.
Sementara aspek tata kota dan figur pejabat lokal jarang ia dibahas. Hal ini mungkin disebabkan posisi D’Almeida yang merupakan seorang turis atau wisatawan. Catatannya lebih sering menceritakan tentang kondisi alam dan ritual di Jawa. Dia mengaguminya.
Salah satunya adalah catatan saat berkunjung ke Gunung Bromo pada ada ritual yang sekarang dikenal sebagai Kasodo. Catatannya dianggap masih terlalu dangkal oleh J.E Casper dalam monografi berjudul Tengger en de Tenggereezen (1928). Namun, Casper juga mengutipnya sedikit dalam tulisannya tersebut.
D’ Almeida sering bertemu dengan penguasa Belanda di daerah disebabkan sebagai bagian izin pengurusan kunjungan. Adakalanya dia juga bertemu dengan penguasa lokal/bumiputra. Misalnya saat dia berkunjung ke Kabupaten Malang, ia sempat berinteraksi dengan sang bupati.
Tulisan D’Almeida juga menunjukkannya sebagai orang Eropa terdidik. Dia menunjukkan superioritasnya dibanding penduduk bumiputra. Perlakuan penduduk bumiputra kepadanya ditulis dengan baik, sehingga kita bisa menyimpulkan bagaimana sebenarnya cara pandang bumiputra kepada orang asing Eropa dan sebaliknya.
Misalnya ketika dia dan rombongannya tiba di Temanggung. Dia sempat mendapat respons yang kurang ramah dari pejabat bumiputra setempat. Dia ditolak menginap di rumah sang pejabat. Alasannya adalah karena ada residen dan pengawas yang juga sedang menginap.
Penolakan itu membuat dia kecewa. Sebelumnya saat berkunjung ke daerah lain, dia selalu mendapat perlakuan yang ramah dan menjadi prioritas dalam mendapatkan transportasi serta akomodasi. Sementara saat itu, karena bersamaan dengan kunjungan pejabat, dia tidak mendapat pelayanan yang serupa.
Kedua karya ini bisa menjadi teropong untuk melihat Jawa di abad ke-19, khususnya setelah Perang Jawa (1825-1830). Rekaman pemandangan alam ada di tulisan D’Almeida. Sementara sejumlah teknologi yang mulai dikenal dan digunakan di Jawa, tercatat dalam tulisan Purwalelana. Bahkan cerita tentang bencana alam yang mengguncang Jawa juga tercatat. Banjir bandang di Banyumas (1861), gempa di Kuningan (1875), dan banjir lahar dingin Gunung Kelud di Blitar (1875).
Penulis: Shinta Prasasti
Editor: Irfan Teguh Pribadi