Menuju konten utama
Gunung Anak Krakatau

Gunung Krakatau Meletus: Sejarah Erupsi Purba, Letusan 1883, & Kini

Sejarah meletusnya Gunung Krakatau dari Krakatau Purba, letusan tahun 1883, hingga di masa kini dalam wujud Gunung Anak Krakatau.

Gunung Krakatau Meletus: Sejarah Erupsi Purba, Letusan 1883, & Kini
Foto udara letusan Gunung Anak Krakatau pada 22 Desember 2018. ANTARA FOTO/Bisnis Indonesia/Nurul Hidayat/pras.

tirto.id - Sejarah meletusnya Gunung Krakatau punya riwayat panjang. Ada beberapa peristiwa bersejarah terkait kronologi erupsi gunung di perairan Selat Sunda ini, dari Gunung Krakatau Purba, letusan dahsyat tahun 1883, hingga letupan-letupan kecil di masa kini dalam wujud Gunung Anak Krakatau.

Gunung Krakatau yang kerap disebut juga sebagai Rakata merupakan kepulauan vulkanik yang masih aktif hingga saat ini. Gunung yang ada saat ini merupakan "generasi" ketiga dari Gunung Krakatau Purba, Gunung Krakatau, dan kini Gunung Anak Krakatau yang masih aktif.

Lokasi gunung ini terletak di perairan antara Pulau Jawa dan Sumatera. Namun, pada zaman dahulu kala, dua pulau besar di Nusantara itu konon masih menyatu. Penyebab terpisahnya dua pulau tersebut tidak lain adalah letusan Gunung Krakatau Purba.

Saat ini, kawasan Gunung Krakatau merupakan cagar alam yang memiliki 4 pulau kecil, yakni Pulau Rakata, Pulau Anak Krakatau, Pulau Sertung, dan Pulau Panjang atau Pulau Rakata Kecil, dengan puncak tertinggi 813 meter atau 2.667 kaki. Seluruh pulau ini muncul sebagai dampak dari letusan Gunung Krakatau di masa silam.

Setidaknya ada dua peristiwa besar yang patut dicatat dalam sejarah meletusnya Gunung Krakatau, yakni letusan Gunung Krakatau Purba dan erupsi dahsyat yang terjadi pada 1883, meskipun rangkaian letupan di kawasan gunung ini masih terus terjadi hingga kini.

Sejarah Meletusnya Gunung Krakatau Purba

Referensi mengenai meletusnya Gunung Krakatau Purba sangat terbatas, termasuk kapan tepatnya peristiwa tersebut terjadi. Namun, suasana kejadian saat Gunung Krakatau Purba meletus tercatat dalam naskah Jawa kuno bertajuk Pustaka Raja Parwa yang diperkirakan ditulis pada awal abad ke-5 Masehi.

“Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datang badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia,” demikian yang tercatat dalam Pustaka Raja Parwa.

“Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula. Ketika air menenggelamkannya, Pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan Pulau Sumatera,” lanjut catatan naskah kuno tersebut.

Gunung Batuwara yang disebut dalam naskah kuno Pustaka Raja Parwa oleh Berend George Escher, ahli geologi Belanda sekaligus Guru Besar Universitas Leiden, disimpulkan sebagai Gunung Krakatau Purba.

Diperkirakan, tinggi Gunung Krakatau Purba mencapai lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut dan memiliki lingkaran pantai hingga 11 kilometer.

Letusan pada abad ke-5 M itu berlangsung sekitar 10 hari dan memuntahkan material erupsi mencapai 1 juta ton per detik. Kala itu, Selat Sunda belum ada dan Gunung Krakatau Purba masih berdiri di Pulau Jawa.

Riset David Keys berjudul “Catastrophe: An Investigation Into the Origins of the Modern World” (2000), menarik beberapa kesimpulan terkait letusan Gunung Krakatau Purba.

Salah satunya, ledakan tersebut berdaya sangat besar dan mengguncang Jawa. Akibatnya, sebagian tanah ambles yang membentuk Selat Sunda serta membelah sebagian Pulau Jawa yang melahirkan Pulau Sumatera.

Dengan kata lain, seperti yang juga tercatat dalam naskah kuno Pustaka Raja Parwa, letusan Gunung Krakatau telah membelah pulau besar di pusat Nusantara serta memunculkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.

Letusan Dahsyat Gunung Krakatau Tahun 1883

Dikutip dari buku Krakatau: Laboratorium Alam di Selat Sunda (2007) terbitan Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Universitas Indonesia, Gunung Krakatau Purba turut hancur setelah meledakkan dirinya dan menyisakan kaldera atau kawah besar di dasar lautan.

Tepi kawah bekas letusan Gunung Krakatau Purba yang meledak hebat pada abad ke-5 Masehi tersebut kemudian membentuk tiga pulau, yakni Pulau Rakata, Pulau Panjang (Pulau Rakata Kecil), dan Pulau Sertung.

Pulau Rakata pada akhirnya berkembang menjadi gunung baru. Dalam proses ini, lahir dua gunung lain dari kawah di area yang sama, yakni yang dinamakan Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan.

Oman Abdurrahman dan Priatna dalam Hidup di Atas Tiga Lempeng: Gunung Api dan Bencana Geologi (2011) mengungkapkan, Gunung Pulau Rakata, Gunung Danan, dan Gunung Perbuwatan kemudian bersatu menjadi Gunung Krakatau.

Setelah sekian lama senyap dalam proses, menjelang dini hari tanggal 27 Agustus 1883, Gunung Krakatau meletus dengan dahsyatnya. Terjadi empat kali ledakan besar, disusul empat kali pula gelombang tsunami di Selat Sunda.

Mengutip catatan pemerintah kolonial Hindia Belanda, Kartono Tjandra melalui buku Empat Bencana Geologi yang Paling Mematikan (2018) menyebutkan, lebih dari 36 ribu orang tewas akibat erupsi Gunung Krakatau ini. Referensi lain bahkan mengklaim jumlah korban jiwa hingga 120 ribu orang.

Wimpy S. Tjetjep dalam Dari Gunung Api hingga Otonomi Daerah (2002) menuliskan, letusan Gunung Krakatau tahun 1883 menghancurkan sekitar 60 persen dari tubuh gunung itu. Di bekas berdirinya Krakatau, tersisa kaldera yang sama dengan kejadian pasca-erupsi Gunung Krakatau Purba.

Dari area kawah besar yang masih aktif itu, lahir lagi gunung baru yang mulai terlihat sejak 1927 atau empat dekade setelah erupsi Gunung Krakatau tahun 1883. Gunung terbaru inilah yang kemudian dinamakan Gunung Anak Krakatau.

Erupsi Gunung Anak Krakatau Hingga Kini

Gunung Anak Krakatau terus tumbuh dalam proses yang lama dan beberapa kali telah mengalami erupsi meskipun belum pada tahap yang mengkhawatirkan. Terkini, Gunung Anak Krakatau kembali menunjukkan aktivitasnya pada Jumat tanggal 4 Februari 2022.

Menurut pantauan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) mencatat, erupsi terbaru Gunung Anak Krakatau tersebut terjadi pada pukul 17.07 WIB.

"Telah terjadi erupsi Gunung Anak Krakatau, Lampung, pada tanggal 4 Februari 2022 pukul 17:07 WIB dengan tinggi kolom abu teramati kurang lebih 1.000 m di atas puncak (kurang lebih 1.157 m di atas permukaan laut)," demikian rilis dari PVMBG.

Status Gunung Anak Krakatau usai erupsi itu terjadi berada pada level II atau waspada. Artinya, masyarakat atau wisatawan tidak diperkenankan mendekati area Gunung Anak Krakatau dalam radius 2 kilometer dari kawah.

Gunung yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Lampung Selatan ini sudah menunjukkan peningkatan erupsi sejak sehari sebelumnya dengan mengeluarkan abu vulkanik mencapai 357 meter di bawah permukaan laut.

Baca juga artikel terkait GUNUNG KRAKATAU atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Addi M Idhom