tirto.id - Tsunami menerpa Selat Sunda, termasuk kawasan Anyer, Sabtu (22/12/2018) malam dan menelan puluhan korban tewas. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan kejadian ini bukan dipicu gempa bumi tektonik. Anyer yang berada di wilayah Serang, Banten, punya sejarah pilu ihwal tsunami terkait letusan Gunung Krakatau tahun 1883 silam.
Di Anyer, sebuah kota kecil di pantai Jawa yang menghadap Krakatau, terdengar guntur dan halilintar, pada malam tanggal 26 Agustus 1883, demikian tulis Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (2006).
Hubungan telegram antara Anyer dan Serang, kota provinsi terdekat, terputus. Pukul setengah 10 malam, lanjut Mrazek, baik guntur maupun halilintar mereda, dan seluruh (warga) Anyer pergi tidur. Hal-hal seperti itu sudah terjadi sepanjang waktu.
Mrazek menceritakan ulang memori itu berdasarkan laporan R.A. van Sandick, mantan insinyur kepala di Hindia Belanda. Tahun 1890, van Sandick menerbitkan laporannya dalam buku In het Rijk van Vulcaan: de Uitbarsting van Krakatau en Hare Gevolgen.
“Pada pukul 6 pagi 27 Agustus [1883], para pegawai Dinas Pos dan Telegram sibuk memasang kembali kawat telegram. Beberapa orang Eropa sudah bangun dan berjalan dalam piyama mereka atau memakai sarung dan kebaya di halaman, atau sedang mandi di belakang rumah. Lainnya masih tidur,” kisah van Sandick seperti dikutip Mrazek.
Dan, terjadilah bencana itu. Van Sandick melanjutkan, “Menjelang setengah 7, datanglah banjir. Kebanyakan penduduk bahkan tidak melihat datangnya gelombang, yang lain tidak memiliki waktu untuk menyelamatkan diri.”
Sejumlah bangunan di Anyer hanyut terbawa arus gelombang air bah atau tsunami yang terpicu dari geliat Krakatau. Van Sandick juga menceritakan, mercusuar di tepi pantai terbelah menjadi dua. Bangunan penjara pun hancur, lenyap dengan seluruh penghuninya, baik narapidana maupun para penjaga.
Mrazek menambahkan kelanjutan peristiwa memilukan itu. Secara mengerikan, sebutnya, inilah adegan alamiah. Di atas Batavia (kini Jakarta), ibukota koloni itu, hampir seratus mil dari Anyer dan Krakatau, kerumunan burung gagak bergerak ke arah timur.
Teknologi saat itu gagal mendeteksi gejala tsunami dan erupsi Krakatau yang menerpa Anyer. Peralatan magnetik di Institut Meterologi di Batavia tidak merekam apapun yang luar biasa. Namun, tulis Mrazek, ketika orang-orang di Batavia berlutut dan menekankan telinga mereka ke tanah, mereka dapat mendengar bunyi gemuruh.
Batavia, kota paling modern di Hindia Belanda kala itu, dilanda kebingungan. Lampu-lampu gas mati, sesaat menyala kembali lantas padam lagi. Para penduduk berdiam diri di rumah, berdoa sambil menanti kejelasan apa yang sebenarnya telah terjadi.
Dari pantai, samar-samar terlihat kapal-kapal bergerak dengan kecepatan tinggi dan lenyap di air. “Di atas tiang-tiang kapal, nyala-nyala biru berkilatan,” demikian kisah van Sandick yang dituliskan ulang oleh Mrazek.
Letusan Krakatau yang diikuti meluncurnya abu dan uap panas serta gelombang tsunami pada 1883 itu, menurut data pemerintah kolonial dikutip dari Majalah Tempo (Volume 13, 1983), menelan korban jiwa lebih dari 36 ribu orang. Dampaknya juga dirasakan di berbagai tempat di seluruh dunia.
Editor: Iswara N Raditya