tirto.id - Radio Malabar akan berusia 100 tahun pada tanggal 5 Mei 2023. Di usianya yang seabad ini, eksistensi Radio Malabar dan stasiun-stasiunnya sudah benar-benar habis.
Sejumlah bangunan di komplek Radio Malabar yang terletak di lembah Gunung Puntang dan beberapa daerah lain di Bandung Raya kebanyakan sudah punah, sebagian tinggal puing, dan sebagian lagi bertahan tapi terbengkalai.
Meski demikian, teknologi nirkabel yang dipakai oleh jaringan Radio Malabar seratus tahun yang lalu itu masih bertahan dan terus berkembang.
Jaringan Radio Malabar dirancang oleh ahli elektro asal Belanda, Cornelius Johannes de Groot. Pria kelahiran Den Helder, 27 Januari 1883 ini lulus dari program doktoral di Technische Hoogeschool Delft.
Ia menyusun tugas akhir tentang penggunaan radio telegraf di negeri tropis. De Groot melakukan percobaan di Hindia Belanda, antara lain di stasiun radio Situbondo, Kupang, dan Ambon.
Keberadaan jaringan Radio Malabar tidak lepas dari faktor politik yang terjadi pada tahun 1910-an. Pecahnya Perang Dunia I mendorong Kerajaan Belanda untuk membangun teknologi nirkabel yang menghubungkan negerinya dengan Hindia Belanda.
Perang dunia menghambat perjalanan telegram-telegram dari kawasan yang berada di Asia Tenggara itu ke Eropa.
Dalam kondisi normal, pengiriman telegram dari Batavia ke Eropa rata-rata hanya butuh waktu 3 jam. Sebagai contoh adalah saat Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883.
Berita tentang bencana alam ini sampai ke Inggris dalam waktu 3 jam setelah pengiriman dari Batavia. Menurut Simon Winchester dalam buku Krakatau: Ketika Dunia Meledak, 27 Agustus 1883 (2003), berita tentang Krakatau dikirimkan oleh Schuit, seorang perwakilan perusahaan Lloyd.
Telegram yang dikirimkan Schuit melewati kabel-kabel yang membentang antara Batavia dan London, melalui Singapura, India, Mesir, Gibraltar, Portugal, dan Portcurno di ujung selatan Inggris.
Terganggunya jaringan telegraf selama perang membuat Belanda akhirnya memutuskan untuk membangun jaringan telegraf sendiri. Mereka memercayakan pembangunan proyek ini kepada De Groot.
Percobaan awal untuk menghubungkan kedua kawasan dilakukan dari Stasiun Nauen. Pada tahun 1916, sinyal yang dikirim oleh stasiun yang terletak di Jerman itu berhasil ditangkap oleh Stasiun Radio Sabang.
Beberapa waktu kemudian, sinyal dari Nauen juga berhasil diterima di Bandung melalui stasiun radio penerima di Cangkring. Stasiun yang terletak di pinggir jalan antara Baleendah-Majalaya ini didirikan tahun 1917.
Keberhasilan ini membuat Pemerintah Belanda tertarik untuk bekerja sama dengan Telefunken--perusahaan asal Jerman. Perusahaan ini sepakat meminjamkan mesin pengirim untuk dipasang di Hindia Belanda.
Pada saat yang sama de Groot menjalin kerja sama dengan pihak-pihak berkepentingan di Amerika Serikat. Sang ahli radio itu tertarik untuk menggunakan lampu pengirim sinyal Poulsen yang ditemukan oleh ilmuwan asal Denmark, Valdemar Poulsen.
Dalam kondisi perang, lampu pengirim jenis ini diakui lebih cocok dan strategis dipasang di Hindia Belanda.
Akibat perbedaan pendapat, kedua alat pengirim sinyal dipasang di dua tempat berbeda. Lampu pengirim Poulsen dipasang oleh de Groot di lembah yang ada di Gunung Malabar. Sedangkan mesin pengirim Telefunken dipasang di lembah salah satu gunung yang ada di Cililin.
Dari kedua stasiun ini, sinyal-sinyal radio pertama dari Hindia Belanda berhasil diterima di stasiun penerima di Belanda. Secara bergantian, sinyal-sinyal tersebut dipantau di stasiun penerima sementara yang didirikan di kawasan rendah Blaricummer Meent.
Selama masa percobaan, Stasiun Cililin kerap menjadi pengganti jika stasiun radio di Malabar sedang mengalami gangguan atau perbaikan. Stasiun radio ini sekarang terletak di Kampung Radio Cililin. Hanya satu dari dua gedung stasiun yang tersisa, itupun kosong dan tidak digunakan.
Dua tahun setelah peresmian Radio Malabar pada 5 Mei 1923, stasiun radio penerima di Cangkring dibongkar dan dipindahkan ke tempat baru di Rancaekek. Daerah ini dipilih karena merupakan dataran yang luas dan dekat dengan Bandung. Saat ini, sisa-sisa keberadaan stasiun radio di Rancaekek masih bisa ditemukan.
Peninggalan ini berupa satu gudang besar yang dibiarkan kosong di sisi jalan Rancaekek-Majalaya. Beberapa pondasi bekas tiang antena dan pondasi bekas bangunan utama stasiun kini berubah menjadi kebun warga setempat.
Percakapan Langsung
Cepatnya perkembangan teknologi kembali mengubah wajah telekomunikasi di Hindia Belanda. Saat masyarakat menikmati komunikasi cepat melalui telegraf, muncul teknologi gelombang pendek yang memungkinkan manusia untuk berkomunikasi jarak jauh melalui suara.
Teknologi ini dapat diterapkan untuk sambungan jarak jauh tanpa kabel, seperti antara Hindia Belanda dan Belanda.
Teknologi ini mulai diadaptasi sejak awal 1927. Beberapa stasun radio percobaan didirikan di Bandung dan sekitarnya, seperti laboratorium radio di dalam Gedung Sate dan stasiun radio di Cimindi.
Di tengah kemunculan teknologi baru ini, De Groot meninggal dunia di atas kapal Jan Pieterszoon Coen pada pertengahan 1927. Perintis komunikasi radio di Hindia Belanda ini melakukan perjalanan ke Belanda untuk mengantarkan jenazah istrinya yang meninggal beberapa bulan sebelumnya.
Melanjutkan usaha De Groot, percobaan penggunaan gelombang pendek terus dilakukan. Instalasi pendukung gelombang pendek mulai dipasang di stasiun-stasiun radio seperti Malabar dan Rancaekek. Dari Stasiun Rancaekek, percakapan pertama antara Bandung dan Belanda akhirnya berhasil dilakukan.
Pada September 1927, seorang pegawai Dinas Pos, Telegraf, dan Telepon bernama De Haas berhasil menghubungi Boetje di Den Haag. Dalam percobaan itu, De Haas juga berhasil melakukan kontak audio dengan keluarganya yang berlokasi di kota Sneek, Provinsi Friesland.
Hubungan komunikasi antara Hindia Belanda dan Belanda kembali memasuki babak baru. Warga kedua wilayah diberi kemudahan dan diberi banyak pilihan untuk melakukan komunikasi.
Pada Februari 1928, pemerintah kemudian membuka layanan komunikasi telepon antar benua ini kepada masyarakat. Selama masa percobaan, masyarakat dapat menggunakan layanan telepon internasional ini secara gratis. Setahun kemudian, layanan tersebut diubah menjadi layanan berbayar.
Keberhasilan penggunaan teknologi nirkabel untuk percakapan antar benua semakin mendekatkan Kerajaan Belanda dengan jajahannya. Hubungan ini kemudian diabadikan oleh Willy Derby dalam lagu “Hallo, Bandoeng”.
Penulis: Hevi Riyanto
Editor: Irfan Teguh Pribadi