tirto.id - Warsa 1790-an, Napoleon Bonaparte telah menggunakan jaringan telegrafi yang dibangunnya di seantero Eropa Barat untuk memenangkan pelbagai pertempuran. Jaringan serupa dengan tiang pancang serta semafor di atas permukaan tanah dibangun di Inggris dan Amerika Serikat.
Didasari kesuksesan Bonaparte dan untuk memenuhi kebutuhan negara-negara Eropa atas sistem komunikasi andal yang dapat menghubungkan mereka dengan wilayah-wilayah jajahan di seberang lautan, maka jaringan telegrafi yang tak terpaku tiang di atas permukaan tanah dibutuhkan. Maka jaringan telegrafi bawah laut adalah jawabannya.
Namun, menurut Daniel R. Headrick dalam “Submarine Telegraph Cables” (Business History Review, Vol 75 2001), "meletakkan kabel telegraf di bawah laut lebih sulit karena air menghantarkan listrik dan kabel telanjang yang terendam air menyebabkan korsleting [..] Perlu menemukan bahan isolasi yang lebih efektif.”
Pada 1838, usaha menemukan bahan isolasi andal bagi kabel telegraf pertama kali dilakukan William Brooke O’Shaughnessy, dokter cum profesor kimia asal Inggris yang bekerja di Calcutta Medical College, India.
Sayang, meskipun isolasi yang dibuatnya berhasil mengantarkan sinyal telegraf sejauh tiga kilometer melalui dasar Sungai Hooghly, O’Shaughnessy terpaksa menghentikan usahanya karena minim peminat.
Usaha lanjutan dimuai setelah ditemukannya getah perca, getah yang dihasilkan dari pohon yang tumbuh di Asia Tenggara dan membentuk polimer isoprena--zat termoplastik yang dapat dibentuk sesuka hati saat dalam keadaan hangat.
Usaha ini dilakukan Jacob dan John Brett pada 1850. Bermodal £2.000 (sekitar £344 ribu atau Rp6,6 miliar dalam kurs saat ini), kakak-beradik ini berhasil mengirim sinyal telegraf via kabel berbungkus getah perca yang diletakkan di dasar Selat Inggris dan hancur seketika setelah jangkar nelayan menghantamnya.
Berbeda dibandingkan nasib O’Shaughnessy, eksperimen ini mendorong seorang pengusaha bernama Thomas Crampton untuk bertindak lebih jauh. Setahun selepas Brett bersaudara melakukan usahanya, Crampton membawa pengetahuan tersebut untuk membentuk Submarine Telegraph Company dengan modal senilai £7.500 (sekitar £1,4 juta atau Rp25,6 miliar dalam kurs saat ini).
Disertai perubahan kabel dengan menambah kawat besi untuk melindungi inti tembaga (inti kabel) sebelum dililit getah demi memperkuat struktur kabel, jaringan kabel yang menghubungkan sisi-sisi Selat Inggris dibangun kembali dan berhasil tanpa cela sedikitpun.
Seketika, tutur Headrick, “industri baru tercipta.” Hal ini mendorong perusahaan lain yang sejenis lahir, seperti R. S Newall Company, Kuper Company, London Gutta Percha Company, dan Glass Elliot Company. Perusahaan-perusahaan ini semuanya berasal dari Inggris.
Hal ini kemudian dimanfaatkan Pemerintah Inggris. Pada 1854 mereka menggandeng R. S Newall Company lewat pembayaran senilai £7.500 (sekitar £1,4 juta atau Rp25,6 miliar dalam kurs saat ini), untuk membangun jaringan telegrafi sementara dari Rumania ke Crimea dalam usaha mereka memenangkan pertempuran melawan Rusia.
Keberhasilan perusahaan-perusahaan Inggris membuat Prancis meminta bantuan mereka untuk membangun jaringan telegrafi ke Algeria, koloni Prancis yang saat itu tengah digoncang huru-hara. Namun, sebagaimana dipaparkan Bruce J. Hunt dalam buku Imperial Science (2020), mengirim sinyal telegraf lintas samudra tak semudah melintasi selat atau lautan pendek.
Maka, baik dilakukan John dan Jacob Brett pada 1856, maupun Glass Elliot Company tahun 1862, semuanya berakhir dengan kegagalan. Tak terkecuali usaha Pemerintah Inggris untuk menghubungkan dirinya dengan India pada 1858 demi membendung “Sepoy Rebellion” melalui perusahaan bernama Red Sea Telegraph Company bentukan Lionel dan Francis Gisborne.
Pada akhir 1850-an, semua perusahaan yang mencoba membangun jaringan telegrafi lintas samudra berakhir dengan kegagalan. Membuat total investasi senilai £460 ribu (sekitar £71,6 juta atau Rp1,4 triliun dalam kurs saat ini) yang dikeluarkan negara/perusahaan/individu tenggelam sia-sia di dasar lautan.
Namun berbagai kegagalan itu tidak membuat usaha penciptaan jaringan telegrafi lintas samudra berhenti. Alasannya, kian gentingnya kebutuhan komunikasi dengan tanah jajahan. Disatukan bangsawan bernama Cyrus Field, dedengkot dari perusahaan-perusahaan Inggris itu sepakat membentuk perusahaan telegrafi tunggal bernama Atlantic Telegraph Company.
Perusahaan ini dibentuk untuk menghadirkan layanan telegrafi dari Eropa ke Amerika, yakni dengan menjulurkan kabel dari Irlandia ke Newfoundland (kini Kanada) sebagai titik terpendek dua benua tersebut.
Atlantic Telegraph Company berhasil menjadi medium pengantar pesan telegram yang dikirim Ratu Victoria di Inggris kepada Presiden Buchanan di Amerika Serikat dengan delay selama 16 jam pada awal 1860-an.
Dengan investasi lanjutan sebesar £300 ribu (sekitar £48 juta atau Rp927 miliar dalam kurs saat ini), perusahaan ini akhirnya benar-benar berhasil menyediakan jaringan telegrafi mumpuni antara Eropa dengan Amerika sejak 1866, yang dapat dimanfaatkan semua kalangan masyarakat dengan biaya £1 (sekitar £152 atau Rp3 juta dalam kurs saat ini) per kata, dengan 20 kata sebagai batas minimum yang dapat dilayani.
Termuat dalam artikel berjudul “The Atlantic Cable” yang dirilis Lloyd’s Weekly pada 5 Agustus 1866, keberhasilan Atlantic Telegraph Company dianggap sebagai “pencapaian Inggris paling indah di abad kemenangan ini.”
Atas keberhasilan tersebut, jaringan yang menghubungkan Eropa (Inggris) dengan India, China, dan Australia pun dibangun, dengan jalur Malta ke Alexandria di Mesir sebagai yang pertama dibangun pada 1868. Pengerjaannya dilakukan oleh British-India Submarine Telegraph Company sebagai anak perusahaan.
Meskipun Atlantic Telegraph Company merupakan perusahaan privat, Pemerintah Inggris serta British East India Company (EIC) dan British Post Office menjadi konsumen terbesarnya. Hal ini memungkinkan Kerajaan Inggris berkuasa lebih efektif karena ketersediaan sistem komunikasi yang baik.
Kesuksesan Inggris membuat negara-negara Eropa lain melakukan hal serupa. Prancis, misalnya, membentuk Societe du Cable Transatlantic Francais pada 1868 demi menghubungkan dirinya dengan koloni-koloni mereka di Asia dan Afrika.
Dengan cara serupa, seorang pengusaha asal Denmark bernama C. F. Tietgen membangun jaringan telegrafi di Cina, Hongkong, dan Jepang, untuk dihubungkannya ke jaringan di St. Petersburg dan Vladivostok di Rusia.
Di sisi lain, kesuksesan Inggris tak disukai Belanda sebagai kekuatan lain asal Eropa yang memiliki negeri jajahan di seberang lautan, Hindia Belanda, dengan statusnya kala itu sebagai negeri netral.
Pasalnya, dengan menguasai jaringan telegrafi, Inggris dapat mengontrol narasi yang mengemuka di dunia. Sebab, bukan cuma dimanfaatkan EIC ataupun British Post Office, telegrafi juga dimanfaatkan oleh media-media besar di dunia dalam mengirim berita--yang dengan mudah dapat disaring Inggris. Contohnya, tak terkirimnya pesan yang dikirim Belanda ke simpatisan pro-Boer di Afrika.
Dipaparkan Vincent Kuitenbrouwer dalam "Propaganda That Dare Not to Speak Its Name" (Media History, Vol. 20 2014), kekhawatiran ini mendorong Belanda untuk tidak bekerja sama dengan Inggris dalam membangun jaringan telegrafinya.
Meskipun pada 1871 Jawa telah terhubung dengan jaringan telegrafi dunia bentukan Inggris, Belanda memilih menata ulang jaringan telegrafinya dari Belanda ke Hindia Belanda (juga di dalam Hindia Belanda) dengan bekerja sama dengan Jerman dengan membentuk Deutsch-Niederlandische Telegraphengesellschaft pada 1903.
Karena dibangunnya belakangan, jaringan telegrafi buatan Belanda-Jerman tak mampu bersaing dengan Inggris. Setelah kemunculan teknologi telegrafi berbasis gelombang radio, Belanda membiarkan Deutsch-Niederlandische Telegraphengesellschaft, dan menghadirkan The Royal Netherlands Navy and the Post Telephone & Telegraph (PTT) Administration per 1906.
Telegrafi berbasis gelombang radio ini berhasil diujicoba Belanda dengan mengirim pesan di seantero Hindia Belanda melalui pembangunan lima stasiun radio, yakni di Air-Melek (sekitar Sabang), Batavia, Landangan (sekitar Sidoarjo), Oiba (Timor), dan Nusanive (sekitar Ambon).
Agar gelombang yang terpancar di Hindia Belanda dapat ditangkap di Eropa, Belanda juga membangun stasiun radio di Carnarvon, Lyon, serta Nauen di Jerman. Sejak saat itu, alternatif lain dalam berkomunikasi di dunia tersedia.
Editor: Irfan Teguh Pribadi