tirto.id - Belum lama ini sebuah kegiatan pramuka di SDN Timuran Yogyakarta mengundang kegaduhan di media sosial. Pasalnya, anak-anak yang mengikuti kegiatan itu meneriakkan yel-yel bernada SARA. Di pengujung yel-yel tersebut mereka mengucapkan, "Islam... Islam yes... Kafir kafir no...".
Hal ini bisa tersebar ke publik setelah salah satu orang tua murid menjemput anaknya di sekolah tersebut. Yel-yel itu bukan berasal dari kelas anaknya, melainkan dari kelas lain yang berdekatan dengan kelas anaknya.
"Saya kaget di akhir tepuk tangan kok ada yel-yel 'Islam Islam Yes Kafir Kafir No'," ujarnya.
Meski Salam Pramuka itu dimodifikasi dengan penambahan kata "Islam", sejarah Pramuka yang awalnya bernama kepanduan berawal dari Inggris akhir abad ke-19. Pada waktu itu belum ada gelombang imigrasi dari Asia Selatan dan Timur Tengah ke Inggris. Islam masih asing di tanah Ratu Victoria. Dengan kata lain, yang mengagas Pramuka pertama kalinya adalah orang yang disebut-sebut "kafir" dalam yel-yel di SDN Timuran Yogyakarta.
Berawal dari Perang Boer
Pasukan Inggris di kota Mafeking, Afrika Selatan, tengah dikepung. Lawan mereka, pasukan Boer (keturunan Belanda) tampak lebih kuat. Untuk menahan serangan musuh, pasukan Inggris mengerahkan anak-anak berusia di bawah 15 tahun yang dijadikan semacam cadetcorps (korps taruna). Salah seorang komandan militer Inggris dalam konflik tersebut adalah Kolonel Robert Stephenson Baden-Powell.
”Pasukan ini (anak-anak) diorganisir oleh Lord Edward Cecil,” kata Baden-Powell dalam Sketches in Mafeking and East Africa (1907: 71).
Mereka bertugas sebagai kurir penyampai pesan para perwira ke pasukan-pasukan Inggris yang tersebar. Mereka tak ubahnya pemandu yang mengenal medan perang. Berkat bantuan bocah-bocah ini, pasukan Inggris sukses mempertahankan Mafeking yang dikepung selama berhari-hari. Dan nama Baden-Powell mulai terkenal.
Menurutnya, anak-anak yang dikerahkan layaknya pandu dalam cadet corps itu cukup cerdas, bisa diandalkan, dan pemberani. Meski demikian, peperangan tak bisa menyelamatkan salah seorang kurir anak yang bernama Sidney Harrhy. Kematian itu membuat Baden-Powell terharu.
Pasukan Inggris tak hanya menggunakan anak-anak untuk membantu mereka dalam Perang Boer di Mafeking, melainkan juga dalam perang di Buluwayo, Zimbabwe. Di situ, mereka dilatih memakai senapan laras pendek.
"Anak-anak ini contoh hebat bagi anak-anak Inggris. Jika diorganisir, mereka nanti bisa mengambil tempat dalam membela kerajaan Inggris Raya," tulis Baden-Powell.
Ia barangkali tak pernah menyangka, penggunaan anak-anak sebagai kurir dalam peperangan yang ia lakoni akan terulang puluhan tahun kemudian. Bahkan kiwari tampil dengan wajah yang lebih menyeramkan. Jika dulu pasukan Inggris hanya memakai anak-anak sebagai pembawa pesan, maka sekarang para panglima perang di Afrika kerap menjadikan anak-anak sebagai tentara yang menenteng bedil AK-47.
Fokus pada Kepanduan
Selama di Afrika, Baden-Powell berkawan dengan Fredrick Russell Burnham, perwira Inggris asal Amerika Serikat. Dari kawannya inilah Baden-Powell belajar tentang pengetahuan alam yang bisa membantu bertahan hidup di alam liar. Setelah tugas di Afrika selesai, ia banyak menulis buku tentang kepanduan dan militer, termasuk pengalamannya di Mafeking saat mengerahkan anak-anak dalam pertempuran.
Ia berniat membentuk anak-anak Inggris seperti bocah-bocah Afrika dalam Perang Boer. Salah satu buku yang ia tulis dan laris di pasaran berjudul Aids to Scouting for N.-C.Os and Men (1899). Gerakan kepanduan yang digulirkan oleh Baden-Powell sebetulnya bukan yang pertama.
”Sebelum ada Pandu sudah ada Boys Brigade, gagasan seorang guru sekolah minggu di Glasgow bernama William Smith. Di tahun 1883, dia memulai kelompok studi alam bagi anak laki-laki berdasarkan keagamaan dan disiplin,” tulis Paul Fussell dalam Uniforms: Why We Are What We Wear (2003: 162).
William Alexander Smith bahkan pernah mengajaknya untuk berkemah bersama organisasi yang didirikannya. Sejak 1907, pelatihan kepada beberapa remaja diadakan di Brownsea Island, Poole Harbour, Dorset, Inggris. Pada 24 Januari 1908, tepat hari ini 112 tahun lalu, para remaja itu diberi latihan kepemimpinan. Itulah pertama kali dimulainya gerakan kepanduan.
Mulanya, Baden-Powell hanya ikut membina Boys Brigade. Setelah itu ia mulai membina kepanduan lainnya. Di Amerika Serikat, Fredrick Russell Burnham, sahabatnya sewaktu di Afrika, juga menjadi tokoh kepanduan.
Gerakan ini kemudian mendunia. Kepanduan tidak lagi hanya menjadi pencetak remaja yang siap membela kerajaan Inggris Raya. Di tempat lain, gerakan ini menghasilkan para pemuda yang siap membela negaranya masing-masing, termasuk di Indonesia yang mencetak para pemuda pergerakan nasional.
Belakangan, di Indonesia gerakan kepanduan berubah namanya menjadi Pramuka alias Praja Muda Karana. Dan Baden-Powell didapuk sebagai Bapak Pramuka Dunia.
”Membicarakan kepanduan tanpa menyebut Baden-Powell tentu saja terasa janggal,” tulis R. Darmanto Djojodibroto dalam Pandu Ibuku: Mengajarkan Budi Pekerti, Membangun Karakter Bangsa (2012: 103).
Karier Militer
Ketika Perang Boer berkecamuk, Baden-Powell sudah berkarier puluhan tahun di Angkatan Darat Kerajaan Inggris, tepatnya bagian dari militer kolonial di wilayah Asia dan Afrika.
Dalam The Victorians at War, 1815-1914: An Encyclopedia of British Military History (2004:41), dijelaskan bahwa Baden-Powell pernah berdinas di kesatuan berkuda Hussars ke-13 di India pada 1876. Pasukan ini terlibat dalam perang di Afganistan. Pada 1897, ia ditempatkan di komando Dragoon kelima. Mulai tahun 1899 dirinya ditugaskan ke Afrika Selatan dan akhirnya terlibat dalam Perang Boer.
Pangkat terakhir Baden-Powell adalah letnan jenderal. Sebelum berhenti dari kemiliteran pada 1910, ia pernah jadi Inspektur Jenderal Kavaleri (pasukan berkuda) dari tahun 1903 sampai 1907. Lalu pada 1908 sampai 1910, ia memimpin Divisi Northumbrian.
Setahun sebelum pensiun, ia dikukuhkan sebagai ksatria kerajaan Inggris. Pada 8 Januari 1941, Baden-Powell tutup usia di Kenya.
Editor: Irfan Teguh