tirto.id - Mirip seperti Kaesang Pangarep yang relasinya dengan Sea Limited akhirnya dikuak oleh publik karena postingan media sosial istrinya, Pavel Durov, pendiri Telegram, dicokok oleh kepolisian Prancis juga karena jejak digital kekasihnya, Yulia Vavilova. Setidaknya, begitulah dugaan banyak orang di media sosial.
Setelah Durov ditangkap pada Sabtu (24/8/2024) waktu setempat, netizen langsung bergerak untuk mengulik sosok Vavilova yang mendaku sebagai seorang pelatih kripto sekaligus streamer gim video. Seperti halnya Durov, 39 tahun, Vavilova yang berumur 24 tahun itu juga berdomisili di Dubai, Uni Emirat Arab.
Vavilova terbilang rajin mengunggah foto-foto tempat yang dia kunjungi, mulai dari Kazakhstan, Kyrgyzstan, hingga Azerbaijan (di mana Durov dikabarkan bertemu Presiden Rusia, Vladimir Putin). Perempuan asal Rusia itu juga mengunggah foto saat berada di jet pribadi milik Durov—mirip Erina Gudono yang mengunggah foto jendela jet Gulfstream.
Pada akhirnya, ketika Durov ditangkap di Paris, Prancis pun, Vavilova sedang bersama dirinya. Rangkaian fakta inilah yang kemudian memunculkan spekulasi bahwa Vavilova sesungguhnya adalah seorang mata-mata dan perjalanan ke Paris, Prancis, itu merupakan "jebakan madu" (honey trap) yang disiapkan oleh sang Vavilova untuk Durov.
Perlu ditegaskan bahwa segala informasi yang beredar mengenai Vavilova levelnya baru sebatas spekulasi. Namun, penangkapan Durov ini memang, mau tidak mau, membuat banyak orang melempar spekulasi. Pasalnya, kemungkinan ada yang janggal dengan kejadian ini. Menurut laporan BBC, penegak hukum Prancis terkesan menutup-nutupi alasan penangkapan Durov yang sebenarnya.
Pada Senin (26/8/2024), jaksa di Paris mengungkapkan bahwa penangkapan Durov tersebut merupakan bagian dari investigasi kejahatan siber. Jaksa itu menyebutkan bahwa ada 12 kejahatan yang diduga terkait dengan kelompok kriminal terorganisasi yang dilakukan melalui Telegram, termasuk transaksi ilegal, pornografi anak, dan penipuan.
Namun, penjelasan itu dianggap tidak memuaskan. Menurut seorang pengamat politik dalam sebuah siaran di televisi nasional Rusia, penangkapan Durov sangatlah konyol karena "itu sama saja dengan menyalahkan Emmanuel Macron atas semua kejahatan yang terjadi di Prancis”.
Surat kabar Rusia, Nezavisimaya Gazeta, bahkan menulis bahwa penangkapan Durov merupakan ancaman besar bagi Rusia karena itu memungkinkan "Intelijen Barat bisa mendapatkan kunci enkripsi dari layanan pesan tersebut”.
Relasi Kompleks Durov-Rusia
Durov adalah orang Rusia. Dia lahir dan besar di Rusia. Namun, hubungannya dengan Pemerintah Rusia tidaklah mulus. Itulah sebabnya pada 2014 dia melepas kewarganegaraan Rusia dan memindahkan seluruh operasi bisnisnya ke Dubai. Sebagai informasi, selain Telegram, Durov juga mendirikan platform media sosial VKontakte (VK) yang sangat mirip dengan Facebook—ini membuatnya dijuluki Mark Zuckerberg dari Rusia.
Platform VK ini pada akhirnya jadi tempat tumbuh suburnya banyak kelompok oposisi penentang Putin. Sejak 2011, Durov sudah diperintahkan untuk menutup akses bagi kelompok-kelompok tersebut, tapi dia senantiasa menolak. Bahkan, di suatu kesempatan, Durov sempat tertangkap kamera mengacungkan jari tengah pada Putin. Meski begitu, pada 2014, Durov akhirnya benar-benar meninggalkan Rusia.
Secara resmi, Durov kini bukan lagi warga negara Rusia karena sudah mengantongi paspor Prancis dan UEA. Namun, Pemerintah Rusia masih menganggapnya sebagai warga negara.
Telegram sendiri diluncurkan Durov pada 2013. Pada 2018, Pemerintah Rusia sempat menutup akses Telegram bagi warga negaranya. Akan tetapi, pada 2020, akses tersebut dibuka kembali. Bahkan, Telegram kini jadi salah satu instrumen penting bagi militer Rusia dalam operasinya di Ukraina. Kelompok paramiliter andalan Putin, Wagner Group, juga sangat mengandalkan Telegram dalam komunikasinya.
Oleh karena itu, di Rusia beredar spekulasi bahwa penangkapan Durov merupakan operasi intelijen Barat untuk mengakses informasi sensitif yang disebarkan militer serta pejabat Rusia melalui aplikasi tersebut. "Telegram akan menjadi senjata bagi NATO apabila Durov dipaksa mematuhi perintah badan intelijen Prancis," tulis surat kabar Moskovsky Komsomolets.
Meski berbagai media telah melempar bola panas spekulasi keterlibatan intelijen Barat dalam penangkapan Durov, Kremlin sejauh ini masih belum mau berkomentar lebih jauh.
"Kami masih belum tahu apa tuduhan kepada Durov. Kami belum dengar pernyataan resmi apa pun. Sebelum berkomentar lebih jauh, kami perlu kejelasan," tegas juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov.
Di sisi lain, Presiden Prancis, Macron, sendiri sudah membantah isu bahwa penangkapan Durov merupakan keputusan politis.
"Ini bukan keputusan politis. Biarkan nanti para hakim yang membuat keputusan," ujar Macron.
Masa Depan Telegram
Spekulasi-spekulasi di sekeliling penangkapan Durov tak berhenti sampai di situ. Yang tak kalah penting, tentu saja, adalah masa depan dari aplikasi Telegram itu sendiri.
Saat ini, Telegram memiliki 950 juta pengguna aktif bulanan. Bagi para pengguna itu, yang paling menarik dari Telegram adalah kualitas enkripsinya. Pengguna bisa mengatur agar pesan yang dikirimkan cuma bisa dibaca lewat gawai pengirim serta penerima alias tidak bisa diintersep.
Selain itu, kapasitas grup juga jadi daya tarik lainnya. Jika WhatsApp, misalnya, "hanya" bisa menampung 1.000 orang dalam satu grup, sebuah grup Telegram bisa diisi sampai 200.000 pengguna. Itulah mengapa Telegram kemudian jadi banyak digunakan untuk kepentingan kelompok.
Spektrum kelompok yang menggunakannya pun amat luas dan beragam. Ada pejuang prodemokrasi seperti di Iran dan Hong Kong, tapi ada pula kelompok terduga teroris yang turut memanfaatkannya. Selain itu, seperti yang telah disinggung di atas, kelompok kriminal terorganisir, pejabat negara, serta personel militer juga memanfaatkan Telegram sebagai media komunikasi andalan.
Karena luasnya jangkauan Telegram, aplikasi ini pun tidak lagi digunakan hanya untuk mengirim pesan, melainkan sebagai jalur penyampaian informasi kepada banyak orang. Artinya, bagi sebagian orang, Telegram adalah sarana komunikasi tak tergantikan. Itulah mengapa penangkapan Durov memantik amarah dari sejumlah pihak. Edward Snowden, mantan whistleblower NSA, termasuk yang mengecam penangkapan dan penahanan Durov.
"Penangkapan Durov adalah serangan terhadap kebebasan berpendapat dan berasosiasi. Saya terkejut dan sedih karena Presiden Macron memilih jalur penyanderaan untuk mengakses komunikasi pribadi. Ini tidak hanya membahayakan Prancis, tapi juga dunia," tulis Snowden di akun X-nya.
Pihak Telegram sendiri telah mengeluarkan pernyataan sikap. Menurut mereka, Durov "tidak menyembunyikan apa pun" dan penangkapan sang pendiri merupakan sesuatu yang absurd.
"Sungguh absurd ketika sebuah platform atau pemiliknya disalahkan atas penyalahgunaan platform tersebut," tulis Telegram dalam rilis resminya.
Sejumlah tokoh yang pernah bekerja bersama Durov, baik saat di VK maupun Telegram, pun sudah turut angkat bicara. Mereka semua mengkhawatirkan masa depan aplikasi tersebut apabila Durov sampai ditahan untuk waktu yang lama.
"Ini semua tergantung seberapa lama dia ditahan. Cara kerja perusahaan sama seperti sebuah pemerintahan. Sudah ada struktur dan semua orang tahu apa yang harus dilakukan. Akan tetapi, apa yang akan terjadi apabila perusahaan harus membayar penyedia infrastruktur dan dia masih ditahan? Karena setahuku, yang biasanya melakukan pembayaran adalah Pavel sendiri," kata Elies Campo, mantan petinggi Telegram dari 2015 sampai 2021, dilansir Wired.
Hal serupa disampaikan Anton Rozenberg yang pernah bekerja bersama Durov di VK dan Telegram. "Tanpa dirinya, Telegram bisa menghadapi masalah besar mulai dari soal pengambilan keputusan sampai urusan pembayaran."
Sejauh ini, belum ada informasi yang pasti mengenai durasi penahanan Durov. Menurut laporan TF1Info, seorang penyidik sudah berkata bahwa Durov akan berada dalam tahanan selama proses investigasi berlangsung. Artinya, bisa jadi Durov akan absen dari Telegram dalam waktu yang lama dan dengan demikian apabila tidak ada solusi mengenai pembayaran bagi penyedia infrastruktur, Telegram boleh jadi bakal kolaps.
Namun, perlu diingat bahwa situasi masih bisa berubah kapan saja dan kekhawatiran ini bisa jadi tidak akan terbukti.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi