Menuju konten utama
Mozaik

Sejarah Teknologi Nirkabel si Gigi Hitam Kebiruan

Memanfaatkan frekuensi 2.4 GHz dari gelombang radio yang bebas digunakan siapapun, Jaap Haartsen menciptakan Bluetooth.

Sejarah Teknologi Nirkabel si Gigi Hitam Kebiruan
Header Mozaik Bluetooth. tirto.id/Ecun

tirto.id - Pada awal Era Victoria, Michael Faraday baru selesai berguru kepada Humphry Davy, ilmuwan asal Inggris, tentang segala hal soal listrik.

Setelah itu, seperti ditulis Brian Cox dan Jeff Forshaw dalam Why Does E=MC² (2009), Faraday sangat membutuhkan gulungan kawat, magnet, dan kompas. Ia hendak membuktikan percobaan pertamanya tentang waktu.

Menurutnya, waktu—istilah yang dipahami masyarakat umum sebagai pembabakan kegiatan hidup, seperti "siang ini" dan "nanti malam" atau "pukul 11.00" dan "10 jam"—tidak seperti yang terlihat.

Memanfaatkan peralatan sederhana, Faraday melihat hubungan aneh antara magnet dengan listrik. Ketika magnet didekatkan dan digerakkan pada gulungan kawat, arus listrik muncul dan mengalir di kawat tersebut.

Sebaliknya, saat listrik dialirkan pada gulungan kawat, jarum kompas tak mengarah pada magnet bumi sisi Kutub Utara sebagaimana mestinya, tapi mengarah ke posisi di mana kawat berada.

Lewat eksperimen sederhana itu, Faraday menemukan keterikatan antara magnet dan listrik. Arus listrik menghasilkan magnet dan magnet yang bergerak menghasilkan arus listrik.

Beberapa tahun kemudian, James Clerk Maxwell, fisikawan cum matematikawan asal Skotlandia, menemukan penjelasan saintifik atas percobaan Faraday.

Seperti ditulis Lewis Coe dalam Wireless Radio (1996), Maxwell memilih pembuktian matematis dibandingkan eksperimen karena menurutnya persamaan matematika merupakan alat terkuat yang dimiliki dunia fisika untuk memahami alam.

"Di tataran terdasar, persamaan matematika dapat memprediksi hasil suatu eksperimen tanpa perlu melakukan eksperimen, yang dibuktikan dengan keindahan Teorema Pythagoras misalnya,” imbuh Maxwell.

Persamaan matematika yang dibuatnya, pada 1931 dipuji Albert Einstein sebagai yang paling mendalam dan paling bermanfaat yang pernah dialami dunia fisika sejak zaman Newton.

Maxwell mengungkap keterikatan ini dalam konsep abstrak bernama "field" atau "medan"—mirip seperti konsep abstrak ala dunia geografi bernama garis bujur dan garis lintang—yang bekerja dan muncul saat arus listrik dihantarkan atau magnet digerakkan dalam bentuk medan magnet atau medan listrik.

Dalam kemunculannya, medan ini memiliki gelombang alamiah yang kemudian dinamai Maxwell’s Wave. Ia bergerak secara konstan ke segala penjuru dalam tempo 299.792.458 meter per detik sebagai kunci utama terjadinya keterikatan itu. Persamaan ini kemudian dibuktikan melalui eksperimen yang dilakukan Heinrich Hertz.

Di tangan Einstein, penemuan Faraday dan persamaan Maxwell atau kemudian dikenal sebagai gelombang elektromagnetik, dijadikan bahan untuk mengungkap misteri waktu.

Sementara Guglielmo Marconi, fisikawan kelahiran Bologna, memilih memanfaatkan gelombang elektromagnetik sebagai medium berkomunikasi dengan menciptakan perangkat khusus bernama Coherer.

Lewat dua elektroda yang dipisah serbuk logam, perangkat tersebut dirancang untuk menghasilkan semacam gangguan dari gelombang elektromagnetik, turunannya bernama gelombang radio.

Dalam gelombang radio terkandung frekuensi yang berbeda-beda, persis seperti cahaya yang mengandung enam warna berbeda: merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan violet.

Memanfaatkan frekuensi tertentu dalam gelombang radio, data atau informasi diisi untuk dikirim melalui bagian khusus perangkat tersebut bernama transmitter atau pemancar. Sementara di tempat lain di kejauhan, informasi yang dipancarkan ini diterima dan diterjemahkan oleh receiver atau penerima.

Keberhasilan Marconi memanipulasi gelombang untuk mengirim dan menerima informasi diberdayakan melalui alat sederhana bernama antena.

Melalui Coherer, Marconi menginisiasi kemunculan medium baru dalam berkirim informasi, yakni berkirim data tanpa kabel atau wireless—istilah yang digunakan sejak awal kemunculannya hingga 1906 sebelum akhirnya diubah menjadi "radio" yang berarti "berkas cahaya".

Semenjak Marconi merilis Coherer, para ilmuwan berlomba menciptakan teknologi baru dalam memanfaatkan radio, di antaranya untuk mengirim sandi morse (wireless telegraphy); mendendangkan musik dari kejauhan (FM atau AM); bercakap-cakap secara real-time (GSM atau CDMA); dan ragam perangkat untuk memenuhi kebutuhan militer atau negara.

Karena radio memiliki frekuensi terbatas dan tiap-tiap frekuensi memiliki karakteristik tersendiri, maka perlombaan para ilmuwan dalam memanfaatkan radio tak bisa seenaknya. Terlebih karena pelbagai negara di dunia menerapkan regulasi pembatasan frekuensi gelombang radio.

Beruntung, soal keterbatasan ini, sejumlah menyepakati secara spesifik bahwa frekuensi 2.4 GHz dalam gelombang radio bebas digunakan ilmuwan untuk berkarya, dengan syarat alat yang diciptakan berhubungan dengan keperluan industri, saintifik, dan kesehatan.

Dari keterbatasan ini, teknologi baru yang diambil nama Raja Denmark di abad ke-10, Bluetooth, akhirnya lahir.

Terinspirasi dari Legenda Khas Bangsa Viking

Di puncak kejayaannya, Raja Harald membangun Prasasti Batu Jelling (Batu Rune) seolah untuk menghormati orang tuanya, Gorm dan Thyra, tetapi sebetulnya untuk dirinya sendiri. Demikian tulis Viggo Starcke dalam Denmark in World History (1968).

Bersisi tiga dengan ukiran masing-masing berupa gambar Kristus, Raja Herald, dan binatang besar berwujud singa yang dililit ular sebagai simbol Denmark, sang raja menyombongkan diri dengan menuliskan tiga pencapaian terbesarnya, yakni berhasil menguasai seluruh Denmark, menguasai Norwegia, dan mengkristenkan Denmark.

Lewat prasasti itu, Harald Gormsson atau lebih dikenal sebagai Harald Bluetooth—perubahan makna dari "Blachtent" atau "gigi berwarna hitam/hitam kebiruan"—ingin menegaskan bahwa ia memenangkan seluruh Denmark seorang diri.

"Meskipun prasasti tersebut dapat dipahami saat ini bahwa ialah yang mempersatukan kerajaan, kenyataan bahwa Bluetooth adalah anak seorang raja dan menjadi raja mewarisi kekuasaan ayahnya, prasasti itu tak bisa mentah-mentah dicerna begitu saja," tulis Starcke.

Terlebih, diamini pula oleh Else Roesdahl dalam "The Emergence of Denmark and The Reign of Harald Bluetooth" (The Viking World, 2008), termuatnya kata "Denmark" dan "Norwegia" di prasasti tersebut dapat diartikan bahwa kedua negeri sudah ada jauh sebelum Bluetooth dan ayahnya menjadi raja.

Hal ini terjadi karena sejarah telah tercampur dengan mitos dan legenda yang membuat kisah sebenarnya sulit diungkap.

"Para sejarawan menyakini tidak ada raja yang dikenal secara historis karena telah mempersatukan negara di abad ke-10 di area Skandinavia," tulis Starcke.

Makna menguasai seluruh Denmark dan Norwegia lebih pas dipahami sebagai konsep konsolidasi dari kekuasaan-kekuasaan yang dimiliki keluarganya sendiri. Gunhild misalnya, saudara perempuan Bluetooth ini menikah dengan Erik Bloodaxe sebagai anak penguasa wilayah paling utara di Norwegia modern. Ia sepakat berkongsi dengan Bluetooth setelah diserang Haakon Adelstensfostre, adik Bloodaxe sendiri.

Dalam kongsi-kongsi lain yang dilakukan, Bluetooth mencoba melanggengkan pengaruhnya dengan bungkus agama, yakni Kristen. Itu dilakukan demi memperoleh legitimasi ilahiah dan simpati masyarakat atas kian populernya Kristen.

Entah kisah seperti apa yang sebetulnya terjadi, yang jelas beribu tahun kemudian banyak orang menyukai cerita Bluetooth dengan bumbu mitos dan legenda khas dunia Viking. Tak terkecuali teknisi kelahiran Berlanda bernama Jaap Haartsen.

Setelah menyelesaikan studi doktoral di Delft University of Technology pada 1990 dan bergabung dalam divisi riset Ericsson-GE, Haartsen mengabadikan nama Bluetooth sebagai nama proyek yang tengah dilakukannya.

Proyek itu untuk menghubungkan telepon seluler dan perangkat elektronik lain dalam radius terbatas yang mendukung pertukaran suara dan data dengan memanfaatkan gelombang radio alias wireless—persis seperti kisah Raja Bluetooth mengonsolidasikan Skandinavia.

Infografik Mozaik Bluetooth

Infografik Mozaik Bluetooth. tirto.id/Ecun

Dipaparkan Haartsen sendiri dalam "How We Made Bluetooth" (Nature Electronics, Vol. 1 2018) dan "The Bluetooth Radio System" (Personal Communication, 2000), proyek yang dimulai pada 1994 ini diamanatkan bosnya, Nils Rydbeck, untuk dapat digunakan secara universal tanpa terganjal regulasi gelombang radio ala pemerintah.

Awalnya, karena tak tahu soal ketentuan frekuensi 2.4 GHz, Haartzen berupaya merealisasikan proyek ini dengan memanfaatkan Digital Enhanced Cordless Telecommunications (DECT) atau Wireless Local Area Network (WLAN) 802.11.

Namun, frekuensi kedua teknologi ini tak universal, juga tak mendukung pertukaran suara dan data. Beruntung, saat Haartsen mengikuti konferensi Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE) yang diadakan di Den Haag, ia akhirnya mengetahui kebebasan penggunaan frekuensi 2.4 GHz.

Karena frekuensi 2.4 GHz bebas digunakan siapa saja, Haartsen menghadapi petaka bernama interferensi. Mesin berbasis frekuensi 2.4 GHz yang dibuat ilmuwan lain di seluruh dunia dapat bertabrakan dengan teknologi yang hendak diciptakan Haartsen, saling berhubungan tanpa dikehendaki.

Untuk mengatasi masalah ini, Haartsen bersiasat lebih dulu dengan frequency hopping.

Bayangkan, Anda sedang bermain petak umpet dengan teman Anda menggunakan walkie talkie. Alih-alih selalu menggunakan saluran yang sama untuk berbicara, Anda dan teman Anda terus beralih di antara saluran yang berbeda dengan sangat cepat.

Ini mempersulit siapa pun yang mencoba mendengarkan percakapan Anda untuk mencari tahu di mana Anda berada dan apa yang Anda katakan. Alias bak mengubah kode rahasia saat bermain sehingga tidak ada yang mengerti apa yang Anda bicarakan.

Perubahan saluran ini diberdayakan oleh kejeniusan Haartsen dengan membagi frekuensi 2.4 GHz menjadi 79 bagian dalam rentang 80 MHz.

Didukung koleganya, Sven Mattisson, dengan membuat chip khusus untuk memberdayakan proyek ini, Bluetooth lahir pada Mei 1999.

Setahun kemudian, Ericsson merilis Bluetooth untuk pertama kalinya di tengah masyarakat dalam rupa wireless voice headset—lengkap dengan adaptor Bluetooth yang wajib dicolok pada ponsel atau komputer karena saat itu chip khusus Bluetooth belum digunakan produsen teknologi manapun.

Baca juga artikel terkait BLUETOOTH atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi