Menuju konten utama

Keterbatasan Earphone Nirkabel untuk Memuaskan Telinga Kita

Airpods dan ragam TWS lainnya memiliki kualitas lebih buruk dibandingkan penyuara telinga berkabel. Apa sebabnya?

Keterbatasan Earphone Nirkabel untuk Memuaskan Telinga Kita
Earphone stereo nirkabel. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Tak berjarak terlalu lama dari Serangan 9/11, Bill Gates mengadakan acara makan malam bersama para jurnalis. Ia mencoba merebut hati masyarakat lewat tinjauan produk terbaru dari para kuli tinta. Produk tersebut adalah Windows XP. Di tengah perjamuan, Steven Levy yang kala itu bekerja di Newsweek memperlihatkan sebuah barang kepada si pemilik hajat: produk terbaru dari pesaing utama Microsoft, Apple, bernama iPod.

"Sudah pernah melihat ini?" tanya Levy sebagaimana dikisahkan dalam The Perfect Thing (2016). "[Ketika melihat iPod] jiwa Gates seakan-akan terbang ke zona aneh," Levy menambahkan.

Setelah terdiam beberapa saat dan memperhatikan barang itu secara saksama, Gates kemudian menjawab pelan, "terlihat sebagai produk hebat." Jawaban ini, bagi Levy, mengagetkan. Biasanya, jika dihadapkan pada pertanyaan tentang produk pesaing, Gates selalu menjawab dengan nada skeptis bahkan sinis, misalnya, "produk sampah apaan, nih?"

Kembali termenung sesaat, Gates balik bertanya, "ini cuma bisa dipakai di Macintosh?" Levy mengonfirmasi, "ya, hanya untuk Macintosh."

Jawaban Levy tersebut, merujuk penuturan Brian Merchant dalam The One Device (2017), juga mencerminkan jati diri Apple sesungguhnya: closed ecosystem.

Keharusan iPod disinkronisasi dengan Macintosh di awal kemunculannya dimaksudkan untuk meningkatkan penjualan lini komputer Apple meski akhirnya dapat dipadukan juga dengan komputer berbasis Windows. Kala itu penjualan Macintosh kalah jauh dibandingkan komputer-komputer berbasis Windows. Sampai akhir 2002, Macintosh hanya terjual 3,1 juta unit, sementara di tahun yang sama 136,7 juta komputer berbasis Windows berhasil terjual di seluruh dunia.

Apple hendak menggiring masyarakat memiliki iPod lantas memiliki Macintosh. Dengan kata lain, merilis iPod merupakan langkah Apple memperbaiki nasib buruknya. "Semua orang cinta musik," ujar Jon Rubinstein, tangan kanan Steve Jobs di bidang teknis.

Satu setengah dekade usai iPod dirilis, tepatnya pada 2016, strategi serupa diterapkan kembali oleh Apple. Uniknya strategi lawas ini tak lagi dilakukan untuk menggenjot penjualan yang lain. Di tahun tersebut tak ada produk Apple yang tidak laku di pasaran. Macintosh terjual lebih dari 20 juta unit dan iPhone terjual lebih dari 211 juta unit.

Lalu apa tujuannya? Strategi ini diterapkan untuk memuluskan jalan penjualan produk terbaru, yakni AirPods, perangkat penyuara telinga (earphone) nirkabel. Perangkat ini menghilangkan auxiliary connector (konektor telepon/colokan audio/colokan 3,5mm) pada generasi iPhone 7. Hal tersebut menihilkan kemungkinan pemilik versi mutakhir iPhone menggunakan earphone berkabel.

AirPods menjadi salah satu produk tersukses Apple yang mendorong perusahaan-perusahaan lain membuat produk serupa. Dari sana lahirlah bisnis baru dunia teknologi, True Wireless Stereo (TWS).

TWS terjual tak kurang dari 300 juta unit per akhir tahun lalu dengan Apple sebagai jawaranya: menguasai pangsa pasar sebesar 40 persen.

Meskipun memudahkan pencinta musik untuk mendengarkan lagu tanpa terbelit kabel, keputusan Apple menghilangkan colokan audio demi AirPods--yang diikuti semua kompetitornya--memperoleh tentangan. Tentangan muncul dari para audiofil atau orang yang memiliki antusiasme terhadap reproduksi suara dengan ketelitian tinggi. Sebabnya sederhana, Airpods dan ragam TWS lainnya memiliki kualitas lebih buruk dibandingkan penyuara telinga berkabel.

True Wireless Stereo

"True Wireless Stereo (TWS) mengacu pada earphone yang tidak memiliki kabel di antaranya (kanan-kiri) maupun dengan sumber audio," tulis Thomas Girardier dalam "A Comparison of Radio Power Consumption of True Wireless Earbuds" (Journal of Audio Engineering, Vol. 1 2019).

Kabel tidak dibutuhkan di seluruh ragam TWS berkat andil teknologi bernama Bluetooth. Bluetooth dirancang sebagai alternatif pengganti kabel, namun bukan secara mutlak melainkan terbatas, short range. Bluetooth hanya untuk menghubungkan lebih dari satu perangkat dengan jarak tak lebih dari 10 meter. Karena dirancang terbatas, maka Bluetooth pun berbiaya rendah.

Bluetooth menggunakan spektrum radio yang tak diatur pemerintah, di titik 2,4 hingga 2,483 GHz. Memanfaatkan tenaga sekitar 1 mW, secara teoretis Bluetooth memiliki kecepatan pengantaran data mentah linier (maksimal) sebesar 1 Mbps. Namun, dalam kerja sesungguhnya, sebagaimana dituturkan Andreas Floros dalam "A Study of Wireless Compressed Digital Audio Transmission" (2002), kecepatan pengantaran data Bluetooth hanya berada di kisaran 64 Kbps.

Untuk terhubung ke sumber audio, semisal smartphone, Bluetooth digabungkan dengan Advanced Audio Distribution Profile (A2DP). Dalam hal ini terdapat empat pendekatan yang dipakai pengembang TWS untuk menyalurkan suara.

Pertama, yang paling jadul, adalah Bluetooth Forwarding. Di sini audio dari sumber hanya diterima satu bagian TWS (umumnya bagian kanan). Setelah itu bagian tersebut mengirimkan data yang sama ke bagian lain (umumnya bagian kiri).

Pendekatan kedua mirip seperti pertama. Bedanya, jika dalam Bluetooth Forwarding satu bagian yang menerima audio dari sumber meneruskannya ke bagian lain juga dengan Bluetooth, pendekatan kedua memanfaatkan teknologi lain berbasis magnet, namanya Near Field Magnetic Induction.

Pendekatan ketiga bernama Bluetooth Eavesdropping. Bagian TWS yang tak menerima audio diberi kemampuan "mengintip" transmisi dari sumber ke bagian TWS yang menerima audio. Secara bersamaan, bagian TWS yang tidak menerima audio dari sumber juga menerima kiriman data dari bagian TWS yang menerima audio dari sumber.

Terakhir, pada pendekatan keempat, kedua bagian TWS memiliki kemampuan menerima audio dari sumber. Pendekatan ini bernama Bluetooth Dual-Stream.

Dalam mengirim audio dari sumber (smartphone) ke TWS, Bluetooth memecah data ke dalam paket-paket kecil dengan terlebih dahulu membangun "jembatan" bertajuk Asynchronous Connection-oriented Logical (ACL). Ini dilakukan karena, sebut Andrew Fredman dalam "Mechanisms of Interference Reduction for Bluetooth" (2022), "kemampuan pengantaran data yang dimiliki Bluetooth terbatas, sesuai dengan rancang bangunnya."

Pada audio berkualitas CD (compact disk) yang lazim dijadikan patokan kualitas adiluhung dunia audio digital, bit rate (data yang diproses atau ditransfer) berada di kisaran 1,4 Mbps. Kisaran yang, tentu, tak sanggup dicerna Bluetooth--bahkan dengan kemampuan teoretis yang dimiliki.

Dengan keterbatasan yang dimiliki, audio yang dikirim dari sumber ke TWS harus dikompres atau ditekan lalu dipecah dalam paket. Inilah pangkal utama mengapa suara yang terdengar dari TWS tak secemerlang suara dari earphone berkabel.

Kembali merujuk Floros, dengan cara kerja ini, sekitar lima persen kualitas audio tergadai--demi proses pengantaran data nirkabel.

Selain itu, karena bekerja dalam spektrum radio yang sangat kecil, Bluetooth amat peka terhadap halangan. Pada pendekatan Bluetooth Forwarding, misalnya, audio yang disalurkan antar-TWS mudah terblokir kepala si pengguna. Juga, karena titik 2,4 hingga 2,483 GHz tak hanya digunakan Bluetooth, lazim terjadi interferensi, semisal dari perangkat yang memanfaatkan teknologi transmisi IEEE 802.11b-1999--mentransmisikan data 30 kali lebih kuat dibandingkan Bluetooth.

Infografik Bluetooth dalam TWS

Infografik Bluetooth dalam TWS. tirto.id/Fuad

Staffan Gadd dalam "A Hardware Accelerated MP3 Decoder with Bluetooth Streaming Capabilities" (2001) menyebut bahwa kualitas buruk earphone nirkabel tak hanya disebabkan Bluetooth, tetapi juga dari si audio sendiri.

Alasannya sederhana: spektrum gaib audio tidak dapat didengar manusia dalam wujud digital, melainkan analog. Di sisi lain, smartphone sebagai alat pemutar audio (dan Bluetooth sebagai teknologi yang mengantarkannya ke TWS) tak mengerti dunia analog.

Maka, untuk dimengerti smartphone, audio yang tercipta (dari tangan musisi) dalam wujud analog harus diubah dulu ke digital atau di-encode. Setelah itu diubah lagi ke wujud analog untuk didengar manusia alias di-decode. Proses pengubahan ini jamak memanfaatkan teknologi bernama MP3.

MP3 meng-encode audio dalam bentuk lebih ringkas dengan mengeliminasi ragam detail yang dianggap tak penting atau dapat dimanipulasi via algoritma psychoacoustics. Karena itu, meskipun dirancang untuk tetap mempertahankan kualitas, terdapat detail yang tergadai kala audio diubah kembali ke bentuk analog dengan cip Digital to Analogue Converter (DAC) demi dapat didengar manusia.

Pada earphone berkabel, praktis hanya proses pengubahan analog-digital-analog yang berpengaruh pada kualitas suara. Pada TWS, keterbatas Bluetooth ikut memengaruhinya.

Baca juga artikel terkait EARPHONE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi & Rio Apinino