Menuju konten utama
Mozaik

Ngebrik via Interkom, Ajang Ngobrol & Kesenangan Anak 1990-an

Setiap generasi butuh mengobrol dengan caranya masing-masing. Teknologi komunikasi yang terjangkau adalah pahlawan yang membantu menyalurkannya.

Ngebrik via Interkom, Ajang Ngobrol & Kesenangan Anak 1990-an
Header Mozaik brik-brikan di radio amatir. tirto.id/Fuad

tirto.id - “Break! Break! Dimonitor! Stasiun Barata dari Tanggo Kilo izin gabung frekuensi. Roger! Sekali lagi izin gabung gitu, Ganti!”

Saya sudah berseragam SMP saat bapak membelikan seperangkat interkom buat ngebrik, lalu dibantu saudara dan handai taulan yang memasang jaringan kabel kawat, melilit dari rumah ke rumah. Saat itu, saya anggota paling muda dibandingkan breaker lainnya.

Ngebrik merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kegiatan berkomunikasi menggunakan radio amatir atau interkom. Dengan peralatan sederhana ini, orang-orang dapat berinteraksi tanpa harus bertemu langsung. Ini sangat memudahkan dalam berkomunikasi, terutama di daerah-daerah yang memiliki keterbatasan akses komunikasi.

Interkom, alat komunikasi sederhana itu sudah lama ngetren di kampung. Mungkin bapak sudah menganggap saya cukup umur dan pantas untuk mendapatkannya. Dan seketika, suasana kehidupan sehari-hari dipenuhi dengan nuansa yang penuh warna.

Bayangkan memasuki libur sekolah, di sebuah rumah sederhana, saat listrik belum lama masuk desa, pesawat televisi masih langka, radio tape hanya milik segelintir, suara nyaring dari interkom sering kali jadi pilihan mewah untuk mencari hiburan. Ia menghubungkan setiap sudut rumah. Obrolan dengan ragam canda dan tawa menjadi sinyal bahwa komunikasi bisa berlangsung tanpa harus beranjak dari tempat duduk.

Setahun kemudian, di ruang tengah, keluarga sudah berkumpul di depan televisi, menyaksikan acara favorit mereka—dari film kartun, berita petang hingga sinetron yang mengharu biru. Di kalangan berada, anak-anak tetangga sudah asyik bermain dengan mainan baru, sementara suara musik dari kaset mengisi udara dengan melodi ceria.

Sedangkan di kamar, brik-brikan masih berlangsung mengabarkan beberapa pendatang baru di frekuensi jaringan. Sebagai anggota, saya juga ikut gotong royong ke kampung tetangga memasang kabel-kabel kawat interkom jika ada calon breaker baru.

Dikerubungi anak-anak yang berlarian di halaman, tertawa sembari bermain dan mengganggu kami mengakhiri pemasangan kabel yang panjangnya berpuluh-puluh meter itu. Tidak ada seremonial selain makan nasi liwet bersama. Setelahnya, orang dewasa berbincang-bincang di teras, saling bertukar cerita tentang kehidupan sehari-hari.

Suasana hangat dan akrab ini menciptakan rasa kebersamaan yang kuat. Jaringan di udara itu ternyata mampu mengembangkan jejaring baru di dunia nyata.

“Dicopy! Barata dari Tanggo Kilo selamat bergabung. Roger! Silahkan memperkenalkan diri, begitu, Ganti!”

Eksperimen dari Radio Amatir

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi komunikasi modern, ngebrik tetap bertahan sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat di beberapa daerah.

“Sekarang mungkin ada 120-an anggota radio lokal,” tutur Basuki Rahmat menyebut jumlah anggota Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI) yang ada di Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor.

Sejak 2008, Basuki telah mendapatkan sertifikat sebagai anggota RAPI yang bermarkas di Cipinang, Jakarta Timur. Setiap lima tahun sekali ia memperpanjang izin radionya dengan membayar iuran yang sudah ditetapkan.

“Jadi, sedikit-sedikit saya juga turut menyumbang pendapatan bagi negara,” ucapnya sembari senyum.

Jauh sebelumnya, ia sudah malang melintang di dunia per-brik-an sejak pertengahan 1980 hingga masa keemasan tahun 1990-an.

Menurutnya, awal mula radio amatir lahir pada komunikasi radio dalam band High Frequency (HF) pada tahun 1958 di Amerika Serikat dan terkenal dengan sebutan Citizen Band (CB). Tujuan utamanya adalah sebagai komunikasi antarpenduduk, komunikasi jarak jauh, radio amatir, dan komunikasi darurat yang akhirnya digunakan pihak kepolisian, tim SAR, pemadam kebakaran, rumah sakit, dan lain-lain.

Brik-brikan interkom

Brik-brikan interkom. FOTO/Ali Zaenal

Pada tahun 1970-an, untuk bergabung sebagai anggota radio amatir di bawah naungan dalam Organisasi Radio Amatir Indonesia (ORARI), seorang breaker dibutuhkan modal yang cukup besar untuk membeli peralatan radio seperti CB, handy talkie, antena, dan power supply.

Perkembangan radio amatir saat itu masih bersifat acak dan liar. Banyak gangguan yang dilakukan oleh pengguna yang menyalahi aturan. Pada pertengahan April 1985, seorang warga Purwokerto terpaksa masuk bui selama 2 bulan dan denda 50 ribu rupiah karena menggunakan pemancar yang lebih kuat sehingga kerap mengganggu kinerja kepolisian.

Maka pada awal tahun 1980-an, muncul sebuah fenomena menarik di Indonesia. Keterbatasan alat komunikasi zaman itu justru memicu kreativitas orang-orang.

Interkom yang awalnya dirancang untuk tujuan praktis menjadi sarana bagi banyak orang untuk berinovasi. Dengan alat yang cukup terjangkau dan mudah diakses, mereka mulai bereksperimen bagaimana cara menghubungkan interkom dengan alat-alat lain, menciptakan "jalur ngebrik" mereka sendiri.

Bermula dari keinginan untuk terhubung, mereka pun menemukan cara-cara unik. Misalnya, menggunakan kabel yang lebih panjang untuk mentransmisikan suara dan menghubungkan interkom dari satu rumah ke rumah lainnya.

Jadi, mereka tidak menggunakan frekuensi radio sebagaimana radio amatir. Alhasil, sekelompok anak muda di satu lingkungan permukiman bisa mengobrol tanpa harus keluar rumah.

Interkom pada masa itu umumnya berbasis analog, dengan kualitas suara yang tidak sejelas teknologi modern. Suara sering kali terdengar berisik atau terputus-putus, yang menambah kesan nostalgia.

“Gaya interkom ini memang turunan dari gaya komunikasi radio amatir itu,” ujar Basuki saat ditemui di ruang komunikasinya di Bogor, Jawa Barat.

Menurut Bram Palgunadi dalam Radio 2: Menggapai Angkasa (2022:355), di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia, kanal frekuensi yang dipakai melakukan komunikasi radio antar penduduk pada ban radio gelombang 11 meter atau ban frekuensi 27 MHz, umumnya disediakan sebanyak 40 kanal.

“Pada berbagai perangkat komunikasi radio ‘CB’ jenis ‘handy-talky’ atau ‘walky talky’ yang bekerja memakai satu kanal, biasanya beroperasi pada kanal 14 atau frekuensi 27,125 MHz, memakai emisi AM, dan berdaya pancar rendah, yakni sekitar 100 mW,” lanjut Bram.

Pada tanggal 10 November 1980, pemerintah lewat Dirjen Postel mengatur penggunaan Komunikasi Radio Antar Penduduk (KRAP) dengan ketetapan SK Dirjen Postel nomor :125/Dirjen/1980 tentang PENDIRIAN DAN PENGANGKATAN PENGURUS PUSAT ORGANISASI RADIO ANTAR PENDUDUK.

”Organisasi ini kemudian berubah menjadi RAPI dan tanggal keputusan tersebut diperingati sebagai hari lahirnya,” sambung Basuki.

RAPI pada akhirnya hanya mengatur komunikasi radio-radio lokal bersifat kemasyarakatan seperti kepramukaan, olahraga, kesenian, sosial, ketertiban, dan keamanan negara. Sementara ORARI dapat berkomunikasi antar benua dengan skala komunikasi yang lebih luas dapat menyiarkan berita marabahaya, bencana alam, pencarian orang hilang, atau pertolongan darurat.

Kini zaman telah berubah, Basuki mengaku tidak ada lagi regenerasi dan kebanyakan anak muda tidak mengenal apa itu radio amatir atau interkom. Keduanya memiliki jangkauan yang terbatas dibandingkan dengan internet, yang memungkinkan komunikasi global tanpa batas.

“Kebanyakan orang-orang tua seperti saya yang masih bertahan,” tukas ayah empat anak ini.

Brik-brikan interkom

Brik-brikan interkom. FOTO/Ali Zaenal

Ngebrik Memang Asyik

Papa Alpha Charlie Alpha Romeo

Mengajakku gombal di udara

Memang cinta asyik di mana saja

Walau di angkasa

Farid Hardja pernah mengabadikan fenomena ngebrik tersebut lewat judul lagu “Bercinta di Udara” pada tahun 1983.

Salah satu keunikan dari ngebrik adalah penggunaan bahasa yang khas dan unik. Mereka yang terlibat sering kali menggunakan bahasa yang berbeda dari bahasa sehari-hari. Kadang mereka menciptakan kosakata baru dan gaya bahasa yang khas, sehingga ngebrik tidak hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga menjadi wadah ekspresi kreativitas dalam berbahasa.

Jika umumnya anggota RAPI lebih banyak mengadopsi Ten Code Alphabetic Phonetic Internasional dalam berkomunikasi, lain halnya dengan anggota ORARI yang dominan menggunakan sandi morse dalam bahasa pergaulannya.

Seturut buku saku yang beredar di kalangan anggota RAPI, berikut beberapa istilah umum yang digunakan di kalangan breaker radio amatir dan interkom:

  1. Break: Istilah untuk memulai komunikasi atau masuk ke frekuensi.
  2. Roger: Menyatakan bahwa pesan telah diterima dengan jelas.
  3. Copy: Menyatakan bahwa informasi telah diterima.
  4. Call sign: Nama panggilan resmi yang diberikan kepada operator radio.
  5. NCS: Net Control Station, pemimpin net, tugasnya mengendalikan frekuensi dan mengatur giliran pemakaian frekuensi oleh warga/peserta net.
  6. CORRECT: Ya/Betul.
  7. CQ: Panggilan umum untuk mengundang siapa saja yang mendengarkan untuk berkomunikasi.
  8. DX: Jarak jauh, sering digunakan untuk menggambarkan komunikasi dengan stasiun di lokasi yang jauh.
  9. YL: Yangky Lady, sebutan wanita secara umum, khusus bagi yang telah bersuami sebutannya XYL (Extray Yangky Lady).
  10. YB: Yangky Bravo, sebutan laki-laki secara umum, khusus bagi yang telah beristri sebutannya XYB (Extray yangky Bravo).

Infografik Mozaik brik-brikan di radio amatir

Infografik Mozaik brik-brikan di radio amatir. tirto.id/Fuad

Tidak hanya itu, ngebrik juga menjadi sarana untuk berbagi informasi dan pengetahuan. Melalui interkom, orang-orang dapat berbagi cerita, pengalaman, dan pengetahuan tentang berbagai hal. Pada masa itu, tentu saja hal tersebut sangat bermanfaat, terutama di daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh media massa atau akses televisi.

Meskipun ngebrik menggunakan peralatan yang sederhana, namun hal ini tidak mengurangi nilai dan manfaatnya. Bahkan, ngebrik telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Ada yang mengadakan sesi ngobrol malam, meminjam interkom dari rumah tetangga, atau bahkan mendirikan tim ngebrik yang pergi dari rumah ke rumah hanya untuk menjalin komunikasi antar sesama. Proyek ngobrol ini menjadi salah satu aktivitas yang menjadikan hubungan sosial antar warga jadi lebih akrab.

Selain itu, ngebrik juga menjadi ajang hiburan dan kesenangan bagi masyarakat. Mereka sering kali mengadakan acara-acara khusus, seperti karaokean, ceramah keagamaan, atau bahkan kuis-kuis dan tebakan seru.

“Jadi enggak ada patokan bahasan apa pada hari ini, besok ngobrolin ini itu. Enggak ada. Semuanya mengalir begitu saja,” sambung Basuki yang beralasan tetap bertahan dengan radio amatirnya itu karena hobi.

Dalam perkembangannya, saat masa jaya interkom di tahun 1990-an, ngebrik juga telah memberikan dampak positif dalam hal perekonomian. Seiring dengan popularitasnya, banyak orang yang melihat peluang bisnis dalam kegiatan ngebrik, termasuk Basuki yang memiliki keahlian menangani alat-alat lektronik.

Kadang ia mulai menjual dan merakit peralatan interkom dengan biaya terjangkau. Sementara breaker lain ada yang menyelenggarakan acara-acara ngebrik dengan tema khusus, dan sering kali mendapat uang saku ketika ada acara kopi darat.

Tentu saja, keberhasilan ngebrik tidak lepas dari peran serta masyarakat itu sendiri. Mereka yang kreatif dan inovatif telah berhasil memanfaatkan teknologi sederhana ini untuk kepentingan bersama. Bahwa dengan semangat kolaborasi dan kebersamaan, hal-hal besar dapat tercapai meskipun dengan sumber daya yang terbatas.

Brik-brikan interkom

Brik-brikan interkom. FOTO/Ali Zaenal

Kerapatan komunikasi ini membawa dampak positif bagi interaksi sosial di masing-masing kalangan, memperkuat ikatan antarteman, tetangga, bahkan keluarga. Mereka, meminjam ungkapan Iqbal Aji Daryono dalam bukunya Sapiens di Ujung Tanduk (2022), adalah jalur desas-desus lisan.

“Bahkan, jalur itulah yang sebenarnya menjadi sarana persebaran paling efektifnya. Ketika ada koran, bukan berarti selebaran mati. Ketika ada televisi dan radio, tetap ada orang brik-brikan lewat radio amatir,” sambung Iqbal.

Di sisi lain, ada juga dampak negatif yang berlatar interkom. Misalnya yang terjadi pada awal September 1993 di Kota Tanjungbalai, Asahan, Sumatra Utara. Saat itu terjadi perkelahian antara Ilham Pane dan Agus Salim Marpaung yang berujung nyawa Agus melayang. Kisah ini terjadi saat terjadi crowdet atau keributan dalam frekuensi keduanya. Padahal keduanya bersahabat dan berdekatan.

"Hoi, siapa kau?" teriak Agus.

Ilham yang tamatan SMEA itu menyambut, "Kau kira nenek moyangmu yang punya jalur ini?"

Dilansir Tempo edisi 09 Oktober 1993, mereka lalu saling memaki. "Kalau kau jago kali, tunggu aku di luar," ujar Agus.

Ilham lalu mengiyakan seraya ke dapur mencomot belati, dan bergegas ke luar. Di sana mereka bertemu dan melampiaskan emosi. Agus tersungkur kena belati dan meninggal di rumah sakit. Sementara Ilham berhasil diringkus.

Semua gara-gara interkom. Begitu, ganti.

Baca juga artikel terkait KOMUNIKASI atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi