tirto.id - Seorang perempuan tua duduk gemetar di sebuah kantor telegraf di Belanda. Kerinduan terhadap anak laki-lakinya sudah tak tertahankan. Telah bertahun-tahun anaknya merantau ke Hindia Belanda. Usianya telah semakin senja, kini di kantor Telegraf itu ia menunggu kabar dari sang anak. Seorang petugas dengan ramah berkata, “Ibu, sudah tersambung dengan Bandung.”
Dengan kaki yang gontai dan kaku, perempuan itu berdiri meraih mikrofon. Dari seberang lautan suara anaknya terdengar. Ia lalu menyapa, “Hallo…! Bandung…!”
“Ya, Ibu, aku di sini,” jawab anaknya.
“Salam, anakku sayang,” katanya sambil menangis.
“Apa kabar, Ibu?”
“Aku sangat merindukanmu, Nak!” jawabnya lirih.
“Sayang, apa kabar istrimu yang berkulit sawo matang?”
“Baik-baik saja, Bu. Kami membicarakan ibu setiap hari di sini. Dan anak-anak mengucapkan doa malam sebelum tidur untuk nenek mereka yang belum pernah jumpa dengan mencium potretmu," jawab anaknya.
“Tunggu sebentar, Ibu, aku akan memanggil anak bungsuku.”
Kemudian terdengar jelas, “Nenek sayang, tabe, tabe.”
Tak tertahankan hatinya ketika mendengar suara itu. Ia pun berbisik lirih, “Oh, Tuhan. Terimakasih, Engkau izinkanku mendengarnya.”
Kemudian ia bersimpuh sambil menangis. Ia tidak menjawab, hanya terdengar isak tangis. Lalu terdengar suara “klik” di seberang lautan. Ia tiada, sesaat setelah cucunya mengucapkan, “Tabe!”
Kisah tersebut terdapat dalam lirik lagu berjudul “Hallo Bandoeng” yang mula-mula dinyanyikan oleh William Frederik Christiaan Dieben alias Willy Derby pada tahun 1929, enam tahun setelah Belanda dan Hindia Belanda bisa berkomunikasi lewat sambungan radio. Di Belanda bernama Stasiun Radio Kootwijk, dan Indonesia bernama Stasiun Radio Malabar.
Stasiun radio ini berlokasi di kawasan Gunung Puntang yang merupakan bagian dari rangkaian pegunungan Malabar, terletak di desa dan kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung.
Proyek pembangunan Stasiun Radio Malabar dirancang oleh Dr. Ir. Cornelis Johannes de Groot, seorang ahli teknik elektro lulusan sebuah universitas di Karlsruhe, Jerman. Ia lulus dengan disertasi tentang pengaruh iklim tropis pada koneksi radio.
Gagasan untuk menyambungkan Belanda dan Hindia Belanda secara langsung dan nirkabel, didorong oleh situasi Perang Dunia I yang tidak memungkinkan ketersediaan kabel, serta rentan secara teknis dan politis. Maka, koneksi gelombang panjang pun dipilih. Pembangunan Stasiun Radio Malabar dimulai sejak tahun 1916.
Willem Smit & Co’s Transformatorenfabriek memasok kumparan besar dan beberapa trafo. Sementara generator dipasok oleh Smit Slikkerveer. Sebagai pendukung tenaga listrik dibangun PLTA Dago, PLTA Plengan dan PLTA Lamadjan, serta PLTU di Dayeuhkolot. Antena dibentangkan sepanjang 2 kilometer antara Gunung Puntang dan Gunung Halimun untuk memancarkan gelombang radio. Ketinggian antena dari dasar lembah rata-rata 350 meter. Antena dibangun mengarah ke Belanda yang berjarak 12.000 kilometer dari Gunung Puntang.
Sudarsono Katam dalam Tjitaroemplein (2014) menjelaskan bahwa pemancar telegraf dan telepon radio yang dipakai menggunakan teknologi busur listrik untuk membangkitkan ribuan kilowatt gelombang radio dengan panjang gelombang 20 kilometer sampai 75 kilometer.
“Perangkat pemancarnya membutuhkan tenaga 750 Volts dan daya 1 MA. Bila pemancar sedang dihidupkan, kumparan akan memercikkan bunga api listrik yang sangat dahsyat,” tulisnya.
Stasiun Radio Malabar diresmikan oleh Gubernur Jenderal Dirk Fock pada 5 Mei 1923. Beberapa hari sebelum peresmian, badai tropis dengan kilatan-kilatan petir telah merusak sejumlah peralatan penting termasuk pemancar. Hal ini membuat peresmian terancam diundur.
Namun, ternyata peresmian tetap dilakukan dengan cara mengirim pesan telegraf radio kepada Ratu Belanda dan Menteri Urusan Koloni, tetapi tidak ada jawaban dari stasiun di Belanda. Baru pada 6 Mei 1923 malam, pemancar dapat berfungsi dengan baik. Pesan pertama yang dirimkan dari Belanda adalah dari Kantor Berita Aneta. Meski demikian, tanggal 5 Mei 1923 tetap dijadikan tanggal peresmian Stasiun Radio Malabar.
Untuk mengenang peristiwa telekomunikasi tersebut didirikan dua patung laki-laki tanpa busana yang tengah mengapit tiga perempat bola dunia. Patung pertama menaruh tangan tangannya di mulut yang menandakan tengah berteriak. Sedangkan patung yang satu lagi menaruh tangan kanannya di telinga seolah sedang mendengarkan.
Pada sisi barat daya dan timur laut bola dunia tersebut tertulis untaian kata-kata berikut:
Eenzam in trotsche natuur ligt zijn schepping op Malabar’s steilte: ‘t Woord harer machtige stem klink door tot de einden der aarde.
‘t Scheppend genie van De Groot verbonds trots d’oorlogsbezwaren, Nederland en Indie, zo ver uiteen, door den trillenden aether.
“Secara garis besar puisi tersebut menggambarkan keberadaan ciptaan dalam kesunyian kemegahan alam Malabar yang terjal, kekuatan suara rangkaian kata-kata berbunyi sampai ujung dunia. De Groot menciptakan sarana menghubungkan Nederland nun jauh di sana dengan Hindia belanda melalui gelombang udara,” tulis Sudarsono Katam dalam Tjitaroemplein (2014).
Monumen peringatan berdirinya Stasiun Radio Malabar dihancurkan sekitar tahun 1950-an, dan di lokasi bekas monumen tersebut didirikan sebuah masjid.
Saat Perang Dunia II berkecamuk, Stasiun Radio Malabar diperebutkan para kombatan yang berseteru. Menurut Ridwan Hutagalung, penggiat sejarah Bandung, seperti ia kutip dari Pemberontakan Cileunca, Pangalengan, Bandung Selatan (1996) karya Ahmad Mansur Suryanegara, Stasiun Radio Malabar sempat menjadi media propaganda Jepang dengan melakukan kontak dengan Hooshoo Kanri Kyoku di berbagai daerah lain di daerah pendudukannya.
Ketika Jepang hengkang dan Belanda ingin kembali menancapkan kekuasaan di Indonesia, para pejuang republik di Bandung Selatan menghancurkan Stasiun Radio Malabar.
Editor: Maulida Sri Handayani