Menuju konten utama
Mozaik

Saur Sepuh, Cerita Silat yang Mengudara di Radio dan Layar Perak

Saur Sepuh sukses karena rakyat sudah terbiasa dengan cerita-cerita babad di daerah masing-masing.

Saur Sepuh, Cerita Silat yang Mengudara di Radio dan Layar Perak
Header Mozaik Saur Sepuh. tirto.id/Tino

tirto.id - “Pendengar yang budiman, sandiwara Saur Sepuh dalam kisah 'Darah Biru' ini akan mengisahkan asal mulanya seorang tokoh digdaya, Brama Kumbara, satria sejati, pujaan rakyat Madangkara,” suara pembuka drama radio terdengar mengangkasa ke berbagai pelosok tanah air.

Para pendengar lalu diajak membayangkan suara keramaian saling bersahutan saat Brama Kumbara muda berdialog dengan rekan sebayanya saat bermain, lalu dipanggil ibunya.

Setiap hari, kisah Brama kian berkembang menjadi cerita yang selalu ditunggu. Musik latar yang intens dan dinamis menciptakan imaji yang kuat di benak pendengarnya, lebih-lebih kepandaian pengisi suara semakin memperkuat efek dramatis dari adegan perkelahian.

Setiap pendengar akan memiliki imajinasi yang berbeda-beda, sehingga pengalaman mendengarkan sandiwara radio menjadi sangat personal. Beberapa tahun kemudian, sandiwara radio itu bertransformasi menjadi media yang divisualisasikan, salah satunya ke dalam film Saur Sepuh I: Satria Madangkara (1987).

“Zaman sekarang banyak raja yang mengkhianati amanat Dewa Batara, bahkan merasa dirinya menjadi Dewa,” ujar Patih Gutawa kepada seorang pendeta di sebuah perkampungan Majapahit sebelum melanjutkan perjalanan menghadap Wikramardhana, menantu Hayam Wuruk.

Ditemani istrinya, Mantili, mereka menginap semalam di rumah pendeta tersebut di bawah kecurigaan prajurit Pamotan yang sudah menyebar ke pelosok desa. Mereka berpatroli siang dan malam untuk menangkap siapa saja yang dicurigai sebagai mata-mata.

Sejak Bhre Wirabhumi mendirikan Kerajaan Pamotan dan berniat menyaingi kebesaran Majapahit dengan meminta dukungan faksi-faksi kerajaan lain, ketakutan peperangan kian dirasakan rakyat kedua belah pihak.

“Keadaan makin gawat, Den. Kemungkinan perang saudara tidak dielakkan lagi,” tutur sang pendeta.

Patih Gutawa dan Lasmini diutus raja Brama Kumbara dari Kerajaan Madangkara untuk mendamaikan perselisihan dua kerajaan bersaudara tersebut. Berbagai konflik yang memicu akhirnya memaksa Majapahit dan Pamotan mengalami Perang Paregreg, perang yang menjadi awal keruntuhan Majapahit.

Bermula dari Sandiwara Radio

Di era ketika televisi masih terbatas dan tidak semua rumah memilikinya, radio menjadi salah satu media hiburan paling populer yang murah meriah. Saur Sepuh menawarkan cerita yang menarik dengan karakter yang melekat, menghadirkan pertualangan serta imajinasi yang membawa begitu banyak kenangan. Para pendengarnya yang setia berasal dari berbagai lapisan, bahkan rela ke rumah tetangga setelah Zuhur hingga lepas waktu Asar demi mendengarkan kisahnya.

Banyak orang yang tumbuh dengan mendengarkan sandiwara radio ini dan beberapa tahun kemudian menonton filmnya, menciptakan nostalgia yang membekas. Mulai mengudara pada tahun 1984, berdurasi 30 menit, termasuk iklan obat-obatan sebagai mitra sponsor, siaran sandiwara Saur Sepuh terkadang dibagi waktunya antara satu stasiun dengan stasiun lainnya agar tidak bentrok.

“Kalau tidak salah diputar di seluruh Indonesia 240 stasiun dan diputar setiap hari,” kata pengisi suara Mantili, Elly Ermawatie, sebagaimana dilansir Liputan 6.

Menghadirkan cerita sebanyak 20 episode dengan beberapa seri per episode, Saur Sepuh berhasil menarik jutaan pendengar di seluruh Nusantara. Saur Sepuh menggunakan teknik narasi yang kreatif, memanfaatkan suara dan efek suara untuk menciptakan suasana yang hidup, sehingga pendengar merasa seolah-olah berada di dalam cerita.

Adalah Niki Kosasih, seorang sarjana muda Fakultas Hukum dari Universitas Pasundan yang membuat karya tersebut. Lahir di Sukabumi, Jawa Barat, pada 16 Desember 1943, ia pernah belajar menulis naskah drama pada W.S. Rendra dari tahun 1969 sampai 1973.

Dengan latar belakang sejarah dan cerita yang menarik, Niki mampu membangkitkan imajinasi pendengarnya. Kekuatan pada tiap karakternya berhasil membuat pendengar menyelami konflik dalam setiap adegan. Tokoh-tokoh utama dalam Saur Sepuh seperti Brama Kumbara, Mantili, Lasmini, Pramitha, Raden Bentar, Garnis, dan lain-lain, digambarkan dengan sangat jelas dalam seni suara para pemerannya.

Lewat intonasi dan diksi yang tepat, para pengisi suara mampu menciptakan emosi yang kuat sehingga dengan mudah menular kepada pendengar. Saat seorang karakter marah, sedih, atau gembira, pendengar akan ikut merasakan emosi tersebut.

Keberhasilan Saur Sepuh dalam radio membuka jalan bagi adaptasi ke media lain, seperti film dan sinetron, yang membuktikan bahwa cerita-cerita ini memiliki daya tarik yang luas di hati masyarakat.

Saur Sepuh pun dianggap sebagai salah satu pelopor dalam industri sandiwara radio, memiliki standar tinggi dalam kualitas cerita, produksi, dan penyampaian. Kesuksesannya menginspirasi banyak sandiwara radio lainnya yang bermunculan di kemudian hari, seperti Misteri Gunung Berapi, Tutur Tinular, Satria Madangkara, Nini Pelet, dan banyak lagi.

Merambah Layar Lebar

Murti Sari Dewi masih duduk di kelas 1 SMA saat nekad datang ke Jakarta dari Solo untuk ikut casting salah satu pemeran film layar lebar berjudul Saur Sepuh yang akan digarap Imam Tantowi. Peran yang sedang dicari adalah tokoh bernama Lasmini yang lowongannya terpampang di berbagai surat kabar. Ia diberitahu temannya untuk coba-coba ikut seleksi.

Padahal saat bersamaan ia sudah izin selama tiga bulan ke sekolahnya untuk ikut tur bersama Sanggar Tari Suryo Sumirat ke Brazil, Australia, dan Amerika. Sanggar tersebut menjadi wadah penyaluran bakat Murti dalam menyalurkan hobinya menari Jawa. Lain itu, ia didapuk sebagai juara Tari Jawa Se-Surakarta, pemenang Puteri Luwes, juga aktif dalam Sarana Duta Perdamaian Indonesia (Sadupi), Mardi Budoyo, Wayang Kawula Muda Surakarta, dan Didi Nini Towok.

“Anda ini manis wajahnya. Apalagi ada gigi gingsul dua,” ujar Tantowi saat pertama kali bertemu Murti di studio Kanta Indah Film.

Ini kedua kalinya Murti menyambangi kantor film yang berada di Cengkareng, Jakarta Barat itu. Pada kedatangan pertama, ia gagal menemui sang sutradara karena sedang berada di Sumba untuk keperluan survei lokasi syuting.

Sudah hampir enam bulan Tantowi kesulitan mencari sosok yang pas untuk memerankan tokoh Lasmini. Menurutnya, Ivonne Rose yang menjadi pengisi suara Lasmini di sandiwara radio, masih dianggap kurang cocok. Begitu juga sosok Brama Kumbara yang dinarasikan Ferry Fadly di radio, Tantowi mengaku belum menemukan pemeran yang pantas.

“Suara keduanya memang cukup paten, tapi tongkrongan sebagai pendekar kurang meyakinkan,” lanjut Tantowi dikutip Majalah Film edisi 16-29 April 1988.

Akhirnya pada Maret 1988, para pemain yang sebagian besar adalah wajah-wajah baru di dunia perfilman lolos audisi. Mereka menghiasi film pertama Saur Sepuh berjudul Satria Madangkara yang tayang pada bulan September.

Murti Sari Dewi terpilih memainkan Lasmini dengan karakternya yang antagonis dan seorang pendekar penggoda yang memiliki perguruan Anggrek Jingga. Berasal dari Padepokan Gunung Lawu, ia banyak menebar cinta untuk mendapatkan berbagai tujuan, termasuk membalas Brama Kumbara sebab cintanya bertepuk sebelah tangan.

Tokoh Brama Kumbara yang menjadi Raja Madangkara dengan imajinasi sebagian besar pendengar di sandiwara radio sebagai pendekar dan raja gagah perkasa, arif dan berwibawa, berkumis, tinggi besar dan sakti mandraguna itu berhasil dimainkan dengan baik oleh Fendy Pradana.

Sebelumnya ia bermain film bersama aktris horor Suzzana dalam film Malam Satu Suro (1988). Untuk memerankan Brama Kumbara, Fendy berhasil lolos audisi usai menyisihkan 11.719 peserta lainnya.

Sementara sosok Mantili, adik Brama Kumbara yang kerap berseteru dan bertarung dengan Lasmini, diperankan oleh pemain yang sama dengan pengisi suara di sandiwara radio, yakni Elly Ermawatie. Ia dianggap cukup mewakili karakter tokoh yang terkenal dengan kepemilikan Pedang Setan dan Pedang Perak tersebut.

“Pokoknya saya ingin buktikan bahwa Elly itu enggak cuma pintar ciat-ciat di radio doang,” tukasnya kepada Anneke Putri dari Majalah Film edisi 20 Agustus-2 September 1988.

Brama Kumbara, Mantili, dan Lasmini merupakan tokoh-tokoh sentral dalam film yang setiap tahun diproduksi, menghasilkan lima seri dengan perolehan jutaan penonton yang fantastis.

Sekual pertama Saur Sepuh berjudul Pesanggrahan Keramat tayang pada 1989, menyusul Kembang Gunung Lawu setahun kemudian. Memasuki sekuel ketiga pada tahun 1991 yang berjudul Titisan Darah Biru, terdapat beberapa perubahan cerita yang sedikit sekali menyinggung perjalanan kisah Brama Kumbara maupun Kerajaan Madangkara.

Barulah di sekuelnya yang terakhir pada tahun 1992, Brama Kumbara, Mantili, dan Lasmini kembali menjadi tokoh-tokoh penting yang diangkat dalam cerita berjudul Istana Atap Langit. Torro Margens yang sebelumnya sukses di film laga Sepasang Mata Maut (1989) dan Prabu Anglingdarma (1990) didapuk menjadi sutradara menggantikan Imam Tantowi.

Sayangnya, dibalik kemegahan film dan penampilan apik para pemainnya, tak satupun dari mereka meraih Piala Citra. Hanya Janis Badar sebagai penyunting mendapatkan penghargaan Best Editing pada ajang Piala Citra 1988 untuk film Satria Madangkara. Selebihnya hanya nominasi di bagian Penata Artisitik dan Tata Musik.

Hal serupa didapatkan sebagai Penata Suara Terbaik dalam Piala Citra 1990 untuk film Kembang Gunung Lawu.

Film Kolosal Termahal

Sandiwara radio maupun film Saur Sepuh karya Niki Kosasih memiliki dampak terhadap budaya populer di Indonesia, terutama di akhir tahun 1980-an. Para tokohnya menjadi ikon yang sangat dikenal masyarakat.

Gambar-gambar mereka sering kali muncul pada kemasan makanan anak-anak, seperti Jipang, brondong dari tepung beras yang kerap dijual di warung-warung. Lalu mereka juga muncul di majalah atau sampul buku tulis sehingga semakin dikenal luas, menciptakan keterikatan emosional yang kuat dengan masyarakat.

Dengan sponsor utama PT. Kalbe Farma, film pertama Satria Madangkara menelan biaya sebesar 1 miliar rupiah. Biaya tersebut termasuk perjalanan kru dan dukungan 2.500 pemain di empat lokasi syuting berbeda, mulai dari studio di Cengkareng, Bandar Lampung, Pangandaran, dan Pulau Sumba.

Di tempat-tempat tersebut, film juga melibatkan 700 ekor kuda dan 5 ekor gajah. Di Sumba, adegan peperangan antara prajurit Majapahit melawan prajurit Pamotan melibatkan 1.200 orang yang sebagian besar direkrut dari penduduk setempat.

Menurut Imam Tantowi dalam Majalah Femina edisi 15-21 September 1988, ada beberapa adegan yang dianggap lucu karena bersinggungan dengan upacara Pasola yang rutin diadakan setiap tahun. Upacara tersebut terdiri dari atraksi perang tanding di atas kuda. Maka saat ada kebutuhan pemeran prajurit dalam film tersebut, antusias masyarakat lokal sangat tinggi datang dari berbagai pelosok desa.

Infografik Mozaik Saur Sepuh

Infografik Mozaik Saur Sepuh. tirto.id/Tino

Mereka tampak kikuk dan tertawa geli saat dipakaikan atribut prajurit Majapahit. Malah beberapa kali adegan harus diulang karena banyak dari mereka menolak adegan kalah atau mati.

“Terpaksa saya membuat trik-trik lain,” tutur Tantowi menahan gondok campur geli.

Penambahan efek tersebut akhirnya memengaruhi anggaran film. Selain adegan peperangan, syuting hanya membawa dua pemeran utama, yakni Elly Ermawati sebagai Mantili dan Hengky Tornado sebagai Patih Gotawa. Keduanya sebagai pengantin baru dalam cerita, dibawa Tantowi untuk berbulan madu, menelusuri perkampungan-perkampungan Majapahit.

Setelah syuting berhari-hari dan menghadapi berbagai tantangan, adegan kolosal megah terealisasi dengan puas. Semua kru senang, termasuk tiap figuran yang mendapatkan honornya sepuluh ribu per hari.

Berdasarkan buku Festival Film Indonesia Tahun 1989, Saur Sepuh I: Satria Madangkara yang tayang perdana pada 1 September 1988 meraih penonton sebanyak 2.275.887.

“Dengan karcis seribu rupiah mereka menuntaskan kepenasaranan bagaimana sosok Brama Kumbara dan Mantili ketika difilmkan!” seloroh Nunu Nazarudin Azhar dalam Hiburan di Tasikmalaya Kemarin Doeloe (2023:52).

Jumlah penonton tersebut sekaligus mengalahkan film garapan pemerintah berjudul Pengkhianatan G 30 S /PKI yang dirilis tahun 1984 dengan 1.724.704 penonton.

Keberhasilan film Saur Sepuh tak lepas dari kesuksesannya sebagai sandiwara radio. Menurut kritikus sastra, Jakob Sumardjo, seperti dikutip Tempo 13 Juli 1991, genre film silat merupakan kelanjutan tradisi tontotan rakyat. Adegan-adegan ajaib seperti silat terbang, kepala terbang, manusia menghilang, sudah hadir sejak 1890 di zaman sandiwara Stamboel sampai Dardanella.

“Penonton terbiasa dibesarkan lewat cerita-cerita babad di daerah masing-masing,” kata Jakob.

Sandiwara radio Saur Sepuh telah membangun basis penggemar yang kuat sebelum filmnya dirilis. Pendengar radio menggunakan imajinasi mereka untuk membayangkan karakter dan alur cerita. Ketika film dirilis, penggemar memiliki ekspektasi tinggi, dan banyak yang membandingkan bagaimana karakter di film sesuai dengan bayangan mereka dari radio.

Meskipun ada beberapa kekecewaan, film ini tetap berhasil menarik perhatian banyak orang, dan menjadi perbincangan memorable tentang bagaimana, pada era 1980 hingga 1990-an, sebuah kisah dapat menyajikan cerita yang sama dengan cara yang berbeda.

Baca juga artikel terkait SANDIWARA atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - News
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi