tirto.id - (Artikel sebelumnya: Riwayat Kampung Ahli Urut dan Pengobatan Patah Tulang).
Banyak yang berdatangan ke Cimande, sebuah desa di Kabupaten Bogor yang terkenal sebagai sentra pengobatan tradisional patah tulang, untuk belajar silat. Geliat melestarikannya kepada generasi muda semakin meningkat lebih-lebih ketika sebuah padepokan berdiri megah pada tahun 1997.
Semangat ini terlihat jelas setiap hari Minggu. Puluhan anak usia sekolah rutin mengikuti latihan yang dikelola Persatuan Pencak Silat Aliran Cimande (PPSAC). Sejak tahun 2014, PPSAC juga rutin menggelar festival pencak silat yang dihadiri berbagai perguruan dari tanah air bahkan mancanegara.
Selain padepokan tersebut, ada pula beberapa perguruan yang dikelola masyarakat secara mandiri. Misalnya Saung Penca Cimande, Lingkung Seni Balad Cinta Budaya, Lingkung Seni Budaya Tradisi Cimande, Lingkung Seni Ciseke, dan Lingkung Seni Gerak Rasa.
Setiap perguruan tidak menganggap yang lain sebagai saingan sebab bagi warga Cimande silat bermakna juga silaturahmi.
Selain itu, tiap perguruan juga mengajarkan 33 jurus dasar yang sama, yaitu: Tonjok Bareng, Tonjok Sabeulah, Kelid, Selup, Singgulan, Serong Timpah, Timpah Dua Kali, Batekan, Teke Sanggap, Teke Purilit, Tewekan, Tagogan, Guaran, Tagog Guar, Kelid Dibelah, Selup Dibelah, Kelid Tonjok, Selup Tonjok, Kelid Tilu, Selup Tilu, Kelid Lima, Selup Lima, Peuncitan, Timpah Bohong, Serong Panggul, Serong Guil, Serong Guar, Singgul Serong, Singgul Sabeulah, Sabet Pedang, Beulit Kacang, Pakalah Leutik, dan Pakalah Gede.
Jurus dasar tersebut dilakukan oleh dua orang yang saling berhadapan dengan posisi duduk, kemudian satu kaki dilipat dan satu lagi diselonjorkan ke depan. Garis besarnya adalah melatih kekuatan tangan dan daya ingat dalam memaksimalkan posisi kuda-kuda saat berdiri.
Setelah lulus mempelajari jurus dasar, pesilat akan dilatih pepedangan. Ini adalah teknik penyerangan dengan menggunakan pedang buatan dari bambu. Secara berturut-turut gerakan jurus ini mengandalkan tumpuan kaki, yakni: ela-ela sabeulah, selup kuriling, jagangan, tagogan, piceunan, balungbang, balumbang, sabeulah, opat likur, buang dua kali, selup kuriling langsung, selup bohong.
Jurus lain yang banyak ditampilkan pada pagelaran seni dan budaya adalah Tepak Salancar. Jurus ini didukung alat musik seperti gendang. Gendangnya terdiri dari dua buah, berukuran besar dan kecil, yang memiliki ciri khas masing-masing ketika ditepuk, yakni: tepak dua, tepak tilu, golempang, dan padungdung. Selain itu juga dipakai terompet dan gong kecil atau kempul.
Asal Usul dan Filosofi
Gabriel Facal dalam Keyakinan dan Kekuatan: Seni Bela Diri Silat Banten (2016) menyebut para ahli penca meyakini silat Cimande telah ada sejak abad ke-17. Pusat Cimande sendiri berada di Kampung Tarikolot, dibuktikan dengan keberadaan tiga makam tua dan keramat para tokoh pengembangnya.
Toponim Tarikolot sendiri merujuk pada tarik kolot (menghidupkan tradisi), tarekat kolot (tarekat leluhur, jalan leluhur), atau tari kolot (tarian tua, tarian kuno). Sementara Cimande dimaknai sebagai ciri jalma anu hade atau 'ciri manusia yang baik'.
Tidak ada catatan tertulis kapan silat Cimande diproklamirkan. Banyak sekali versi yang berkembang mengenai muasal aliran silat ini. Meski demikian, itu semua tak bisa dilepaskan dari tokoh bernama Abah Khair.
Versi pertama menyebut gerakan-gerakan silat Cimande berasal dari Abah Khair. Ia kerap memamerkan gerakan bela diri tersebut di perjalanan saat mengembara dari tempat asalnya di Baduy, Banten. Hal tersebut bahkan membuatnya terkenal.
Versi kedua menyebutkan bahwa Abah Khair terinspirasi dari istrinya. Sang istri datang terlambat ke rumah usai mencuci baju di Sungai Cimande lalu melihat pertarungan hewan buas antara harimau dan sekawanan monyet. Abah Khair yang kesal lalu bertanya, “Ti mana wae atuh anjeun?” yang berarti 'Dari mana saja kamu?' Pertanyaan tersebut tidak dijawab. Segera saja Abah Khair naik pitam dan mencoba menampar istrinya.
Di luar dugaan, istrinya dapat menghindar. Abah Khair menyerang bertubi-tubi tanpa dapat mengenai sasaran. Akhirnya dia lelah dan bertanya, “Dari mana kamu belajar maen poho?” “Istilah yang kemudian terkenal dengan akronim maenpo,” ujar sejarawan Reyhan Biadillah.
Dari peristiwa tersebut dan cerita istri tentang pertarungan binatang, Abah Khair lantas terpikir menciptakan gerakan-gerakan untuk mengasah kemampuan bela diri. Gerakan-gerakan mengelak melahirkan jurus dasar silat Cimande, kelid. Gerakan monyet yang menggunakan ranting pohon ketika menyerang harimau menginspirasinya membuat jurus pepedangan.
Versi yang dikenal cukup luas ini termasuk kontroversial di kalangan warga Cimande maupun beberapa ahli penca. Alasannya adalah silat Cimande berlandaskan pada nilai-nilai agama Islam yang salah satunya adalah sabar, sementara versi ini justru menceritakan guru panutan pemarah.
Versi ketiga adalah yang lebih banyak diyakini warga Cimande. Dikisahkan bahwa Abah Khair melakukan pengembaraan ke berbagai daerah untuk menemukan saudaranya yang bernama Eyang Rangga.
Menurut tokoh silat Cimande, Sudarma, Abah Khair mengembara ke Batavia, Cianjur, Garut, Bogor, Majalengka, sampai Cirebon. Di setiap ruang terbuka, ketika ada pagelaran bela diri, ia selalu tampil untuk membuktikan keberadaan dirinya. Harapannya adalah Eyang Rangga mampu mengenalinya.
“Nah, di Cirebon inilah ia mendapatkan petunjuk keberadaan Eyang Rangga yang kemudian diwariskannya ilmu silat yang kita kenal hari ini,” tambahnya. Eyang Rangga sendiri ditemukan di Cimande.
Beberapa tokoh lain yang ikut mengembangkan silat Cimande adalah Eyang Kerta Singa, Eyang Ursyi, dan Eyang Ace. Salah satu dari mereka, Eyang Ace, menikah dengan putri Eyang Rangga dan melahirkan seseorang yang kemudian menjadi tokoh karismatik, Eyang Abdul Somad (sebagian besar menyebutnya Ayah Haji Abdul Somad).
Meski banyak versi menempatkan Abah Khair berperan sentral dalam pengembangan silat Cimande, di Tarikolot, Eyang Abdul Somad-lah yang dianggap sebagai tokoh penjaga nilai-nilai silat Cimande secara islami. Eyang Abdul Somad memang juga dikenal sebagai penyebar ajaran Islam--yang kemungkinan besar dengan metode tasawuf. Ia juga merupakan tokoh yang menyusun struktur Cimande, terutama di Kampung Tarikolot, menjadi tertata dan tentram.
Eyang Abdul Somad dikenal memiliki karomah dan diyakini melahirkan ijab kabul pataleqan sebelum para murid silat berlatih.
Lateevhaq dalam artikel jurnal berjudul Perancangan Motif Batik Berbasis Filosofi Gerak Pencak Silat Cimande (2018) mengatakan bahwa ijab kabul pataleqan berfungsi sebagai sandi tata krama, tata darma (kode etik), serta falsafah hidup yang harus dipegang teguh. Rumusan kode etik yang dikenal dengan nama talek Cimande tersebut mengandung nilai-nilai agung kemanusiaan, keluhuran budi pekerti, serta keyakinan yang bulat terhadap Tuhan Yang Maha Suci.
Prosesi pataleqan dimulai dengan ritual pereuh, yakni meneteskan air dari daun sirih yang sudah dibacakan doa dari ayat-ayat suci Al-Qur'an ke dalam indera penglihatan. Calon murid kemudian dibacakan talek yang terdiri dari 14 pokok yang harus dipraktikkan dalam keseharian, yaitu:
- Taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
- Jangan melawan kepada ibu dan bapak serta wongatua karo (orang yang lebih tua).
- Jangan melawan kepada guru dan ratu (pemerintah).
- Jangan judi dan mencuri.
- Jangan ria, takabur dan sombong.
- Jangan berbuat zina.
- Jangan bohong dan licik.
- Jangan mabuk-mabukan dan madat.
- Jangan menganiaya sesama makhluk Allah.
- Jangan memetik tanpa izin, mengambil tanpa meminta.
- Jangan suka iri hati.
- Jangan suka tidak membayar utang.
- Harus sopan santun, rendah hati, ramah tamah, dan saling menghargai sesama manusia.
- Berguru silat Cimande bukan untuk gagah-gagahan dan ugal-ugalan, tetapi untuk mencari keselamatan dunia dan akhirat.
Tradisi Ngabungbang
Ada satu kisah tentang betapa terhormat dan karismatiknya Eyang Abdul Somad. Pada suatu hari, seorang pedagang sarung menawarkan dagangannya kepada Eyang Abdul Somad. Sepanjang menawar, wajahnya tak bisa terangkat lurus. Penjual sarung tersebut tertunduk hingga keluar keringat. Sebabnya tak lain karena sang pedagang takjub dengan sosok di depannya.
Ketokohan Eyang Abdul Somad, menurut sebuah versi, menyebabkan lahirnya ngabungbang, tradisi yang rutin diadakan setiap maulid.
Tradisi ini pada awalnya merupakan puncak peringatan 40 hari wafatnya Eyang Abdul Somad. Karena Eyang Abdul Somad meninggal pada 3 Safar (tidak ada catatan tahun resmi), maka ngabungbang diselenggarakan pada 14 Maulid (Rabiul Awal). Sebagian besar jamaah melakukan haul pada 3 Safar dan 40 harian dengan berziarah ke makam Eyang Abdul Somad.
Pada zaman dulu, banyak calon pesilat melakukan prosesi pereuh pada malam 14 Maulid.
Ngabungbang sendiri bisa diartikan sebagai penyucian diri. Berasal dari kata induk bungbang yang bermakna membersihkan atau membuang. Garis besar ngabungbang adalah ziarah ke makam leluhur Cimande: makam Eyang Rangga, makam Eyang Abdul Somad, dan makam Eyang Kerta Singa. Itu harus diawali dengan mandi di Sungai Cimande.
Dua hari sebelum ngabungbang, 12 Maulid, diadakan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad di Masjid Tarikolot. Beberapa warga Cimande akan mengeluarkan pusaka untuk dimandikan dengan bacaan-bacaan ayat suci, selawat, dan pembacaan riwayat Nabi melalui kitab Syariful Anam karya Al-Hariri dari Andalusia.
Di luar urusan religi, tradisi ngabungbang juga membuat roda ekonomi di sekitar Cimande berputar. Para pedagang dari berbagai daerah sudah berduyun-duyun membuka lapak sejak tanggal 7 Maulid. Sayangnya, warga lokalnya sendiri belum bisa memanfaatkan momen tersebut sebagai sumber pendapatan tambahan. Salah satu alasannya adalah karena biasanya mereka sendiri sibuk menjamu para peziarah yang datang bersilaturahmi.
Selain ngabungbang, banyak lagi tradisi yang masih bertahan di Cimande seperti Rebo Wakasan, Rajaban, Mapag Bulan, Khataman Quran, dan lain-lain.
Potensi lain yang juga dapat diangkat di Desa Cimande selain wisata tradisi dan budaya adalah wisata alam (termasuk agrowisata), wisata kuliner, hingga wisata kerajinan layang-layang.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Rio Apinino