tirto.id - Suara bedug bertalu-talu menandai waktu salat Isya telah masuk. Tawa anak-anak pulang mengaji terdengar renyah dari bilik rumah panggung yang ditinggali Santibi dan Endi. Keduanya bergegas ke masjid yang hanya berjarak tidak lebih dari 100 meter. Usai salat Isya, mereka melakukan rutinitas latihan bangkelid, salah satu dari 33 jurus dasar silat Cimande.
Santibi dan Endi adalah pemuda asal Banten yang dikirim keluarganya untuk menimba ilmu di Cimande. Tak hanya belajar silat, keduanya juga diajari ilmu agama dan ilmu pertanian. Mereka belajar pada keluarga Abah Juhadi yang terkenal tegas dalam menjaga adat dan tradisi.
Lazim dalam tradisi Cimande, hubungan kekerabatan disertai ikatan turun-temurun dengan orang luar dilakukan dari generasi ke generasi.
Sisa Jembatan, Beduk, dan Kentungan
Menurut data Pemerintah Kabupaten Bogor, Desa Cimande memiliki luas wilayah 335 hektare yang secara administratif terbagi ke dalam 4 Rukun Warga (RW), 5 perkampungan, dan 17 Rukun Tetangga (RT) dengan jumlah penduduk 6800 jiwa menurut sensus tahun 2020.
Masuk ke dalam wilayah Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Desa Cimande diapit oleh Gunung Gede-Pangrango di sebelah timur dan Gunung Salak di sebelah barat.
Adapun lima kampung yang ada di Cimande adalah Kampung Tarikolot, Kampung Nangoh, Kampung Babakan, Kampung Lemah Duhur, dan Kampung Baru.
Jika cuaca cerah, pemandangan indah Gunung Gede-Pangrango dan Gunung Salak dapat disaksikan dari Kampung Nangoh yang dikelilingi persawahan luas. Saban pagi, ada saja warga yang melakukan olahraga sambil menikmati pemandangan kedua gunung tersebut.
Pada hari Sabtu dan Minggu biasanya lebih ramai. Warga melengkapinya dengan sarapan bubur ayam Mang Enjam yang tak jauh dari kantor kepala desa. Bubur ini dianggap legendaris oleh masyarakat Cimande karena telah bertahan lebih dari empat dekade.
Selain tanah vulkanis dari kedua gunung tersebut, Cimande yang berada di ketinggian 550 mdpl juga menerima curah hujan yang cukup besar, menjadikannya termasuk wilayah yang subur di Kabupaten Bogor. Ini terbukti dengan banyaknya warga yang masih memiliki sawah, kebun, dan peternakan. Hasilnya dijual ke pasar-pasar sekitar Cigombong, Cicurug, dan Bogor.
Menurut sejarawan Reyhan Biadillah, pada masa kolonial Belanda, sistem administrasi Cimande berada di bawah administrasi Onder District Tjiawi, District Tjiawi, Regentschap Buitenzorg, Afdeeling Buitenzorg.
Sampai tahun 1980, Desa Cimande masuk ke dalam Distrik/Kecamatan Ciawi. Setahun kemudian Kecamatan Caringin lahir sebagai bagian dari pemekaran Kecamatan Ciawi.
“Yang menarik, pada masa kolonial Belanda, terdapat jalan tembus ke daerah Cipanas melalui Cisarua. Namun sayang sekali, jembatan penghubung yang ada di bagian atas desa telah runtuh. Warga Cimande saat ini yang akan bepergian ke daerah Cipanas, harus memutar terlebih dahulu ke Ciawi yang cukup jauh jaraknya,” ujar Reyhan.
Di RT 17, tepatnya di Kampung Baru, terdapat dua jembatan pada masa Belanda yang sisa-sisa rangkanya masih terlihat jelas. Jembatan tersebut menghubungkan dengan daerah Sukabumi di sebelah timur dan selatan. Reyhan berasumsi bahwa jalur tersebut digunakan untuk mengangkut komoditas kopi yang banyak tersedia di kawasan tersebut.
Hal ini menandakan bahwa interaksi, terutama perdagangan, warga Cimande dengan orang luar cukup intens terjadi pada masa lalu. Bahkan tokoh penca Cimande, Abah Khair (penulisan lain: Kahir, Kaher, Kair, Kaer, dan sebagainya), dikenal sebagai seorang pengembara sampai ia diizinkan tinggal di Cianjur atas undangan bupati Raden Arya Wiratanudatar VI.
“Pada tahun 1813, Abah Khair memutuskan untuk kembali ke daerah Bogor dan membuka desa Cimande yang dipusatkan di Kampung Tarikolot sebagai kampung baru bagi beliau, keluarga, serta pengikutnya. Abah Khair kemudian menurunkan seluruh ilmunya kepada saudaranya, yaitu Eyang Rangga. Abah Khair lalu berpindah ke Tanah Sareal hingga wafat pada tahun 1825,” tambah Reyhan.
Bukti lain interaksi Cimande dengan orang luar adalah keberadaan beduk dan kentongan berusia lebih dari satu abad yang masih digunakan di dalam masjid tua Tarikolot. Keduanya adalah pemberian dari Cirebon.
Karena itu ada semacam kearifan lokal dari warga Kampung Tarikolot bahwa jika masjid tua menggunakan pengeras suara, maka bedug dan kentongan harus dikembalikan ke Cirebon.
Dan sampai hari ini, masjid tersebut memang tidak pernah menggunakan pengeras suara untuk memberi penanda waktu salat telah masuk. Sebagian warga lain menganggap keberadaan masjid di tengah-tengah permukiman juga menjadi alasan mengapa pengeras suara pada akhirnya tidak digunakan.
Ahli Urut dan Patah Tulang
Hampir setiap warga Cimande minimal bisa melakukan pijat. Setidaknya dari anak usia sekolah dasar sudah diajari bagaimana memijat orang tua mereka sendiri.
Orang tua menyuruh anaknya untuk memijat. Biasanya dimulai dari betis, pinggang, sampai punggung dengan alas kaki alias diinjak. Cara ini cukup efektif bagi anak dalam mengenal titik-titik tertentu, sehingga ketika remaja, pijatan sudah dilakukan dengan tangan mereka sendiri.
Sampai tahapan ini, anak-anak di Cimande belajar pijat secara otodidak berdasarkan pengalaman mereka memijat orang tua, saudara, dan kerabatnya. Pemahaman mengenai titik tertentu untuk dipijat merupakan teori yang mudah dipraktikkan.
Sementara untuk pengobatan patah tulang, cara mewarisinya adalah dengan mengajak si anak melihat langsung bagaimana orang tua--dalam hal ini kebanyakan seorang ayah, karena di masa lalu banyak juga ahli pijit dan pengobatan patah tulang adalah ibu-ibu--merawat pasien patah tulang.
Seorang anak akan dipertontonkan bagaimana menangani luka dalam pasien, mengganti perban, hingga menggunakan balur atau minyak Cimande.
Di Kampung Tarikolot, salah satu kampung tertua di Cimande, nilai-nilai yang diwariskan dalam metode pengobatan alternatif masih terjaga. Hubungan dengan pasien dan keluarganya sebisa mungkin tetap terjaga dengan baik.
Leteevhaq, pemerhati tradisi dan budaya Cimande dari Universitas Bina Nusantara, menuturkan bahwa menjaga tradisi adalah sebuah kelayakan karena itu merupakan salah satu peran manusia dalam kehidupan.
“Ada yang tugasnya menjaga, menginovasi, dan melakukan pembaharuan terhadap tradisi. Para tokoh ini harus ada dan setara dalam satu masa secara bersamaan,” tuturnya.
Ia menambahkan bahwa tradisi-tradisi Cimande yang ada hari ini harus selaras dengan perkembangan zaman, “Itulah tugas para inovator agar warisan para leluhur tersebut bisa kekinian, namun tetap memiliki pakem yang jelas.”
Dalam pengobatan patah tulang dan pijat Cimande, ada pantangan untuk menangani pasien pada hari Selasa dan Sabtu. Dalam tradisi awalnya, pada dua hari tersebut warga Cimande akan mengelola pertanian, perkebunan, maupun ladang-ladang peternakan.
“Kecuali dalam kondisi darurat, misalnya pasien yang baru tiba, ya tetap harus ditangani,” ujar Agus Asmara, tokoh masyarakat yang berprofesi sebagai guru.
“Pada hari Selasa dan Sabtu kami harus mempersiapkan logistik bagi pasien dan keluarganya yang menginap di Cimande,” tambahnya.
Beberapa warga memang menjadikan rumahnya sebagai tempat menginap bagi pasien patah tulang. Bahkan ada yang merenovasi atau membuat ruangan baru layaknya rumah sakit.
“Pernah ada tawaran dari pemerintah untuk membuat rumah sakit khusus patah tulang, tapi kami menolak karena akan menghilangkan esensi kekeluargaan. Apalagi jika ditentukan dengan harga-harga tertentu,” pungkas Agus.
Pengobatan patah tulang dan terapi pijat tidak bisa dilepaskan dari keberadaan silat Cimande. Penciptaan pengobatan alternatif ini mulanya adalah untuk pengobatan para pesilat yang mengalami cedera saat berlatih. Maka lahirlah balur Cimande yang dikenal juga dengan minyak Cimande.
Menurut Didih Supriyadi, tokoh masyarakat dan guru silat yang mengelola Saung Penca Cimande, metode pembuatan balur tidak bisa dilakukan sembarangan karena harus dilakukan oleh orang yang sesuai dengan silsilah, masih keturunan asli Cimande.
“Dan itu tidak ditarif berapa harga atau maharnya. Seikhlasnya yang memberi saja,” ujarnya dalam satu kesempatan.
Dari sekian banyak ahli pengobatan patah tulang maupun ahli pijat di Cimande, di Kampung Tarikolot-lah yang masih terjaga nilai-nilai dan batasan sesuai tradisi leluhur, baik dari segi pelayanan terhadap orang luar, tidak mematok tarif tertentu untuk jasa yang ditawarkan, maupun cara mereka membangun ikatan persaudaran.
(Bersambung...)
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi