tirto.id - Wartawan surat kabar Bintang Timur Andjar Asmara tidak bisa menutupi rasa herannya saat menyaksikan pertunjukan perdana The Malay Opera Dardanella di Batavia pada 1929. Grup sandiwara asal Jawa Timur itu tampil berbeda dengan tidak mengadakan upacara pembukaan sebelum pentas dimulai. Padahal, dalam dunia sandiwara kala itu, upacara pembukaan dianggap laiknya ritual sakral.
Sebelum lakon dimainkan, seturut kebiasaan, para pemain akan naik ke atas panggung untuk memperkenalkan diri di hadapan penonton. Dardanella dianggap melakukan tindakan berani karena memilih tidak membuang waktu untuk introduksi yang bertele-tele. Begitu lampu mati dan tirai naik, lagu pembuka berjudul Dardanella langsung mengalun.
“Mereka yang biasa menonton komedi bangsawan sudah terbiasa dengan tradisi pembukaan ini dan akan merasa dirugikan kalau kebiasaan ini dilanggar,” ungkap Andjar yang kelak lebih dikenal sebagai penulis sandiwara itu dalam tulisan kenang-kenangannya yang terbit di majalah Pedoman (10/9/1958).
Namun, para penonton toh tidak sempat menggerutu karena jalannya lakon dengan segera membetot perhatiannya.
Malam itu, bertempat di Gedung Thalia di Jalan Mangga Besar, Dardanella membawakan lakon berjudul The Sheik of Arabia. Para pemain satu per satu muncul berkostum khas Timur Tengah sambil melemparkan lelucon yang dibawakan lewat dialog dan nyanyian dalam bahasa Melayu. Hiburan yang juga biasa disebut komedi stambul ini sudah menjadi kegemaran masyarakat Hindia Belanda sejak pertama kali muncul pada akhir abad ke-19.
Menurut ingatan Andjar, itu adalah kali pertama dia menyaksikan komedi stambul yang berjalan cepat dan teratur. Dardanella mewajibkan setiap pemerannya mengikuti program acara, alih-alih mengandalkan improvisasi dengan berdialog tanpa naskah. Demikian Dardanella dianggap memelopori tata laksana pertunjukan dengan standar teater modern Eropa.
“Segala sesuatu berjalan dengan lancar, non-stop, cepat dan teratur,” tulis Andjar lagi. “Satu babak berakhir, layar turun. Musik lantas berbunyi dengan tidak buang tempo dan beberapa detik kemudian sudah berdiri penyanyi di tengah panggung. Segala sesuatu telah diatur lebih dulu sesuai rencana.”
Dalam memoar bertajuk “Suka Duka di Belakang Lajar Sandiwara” yang terbit di majalah Varia (1958), Andjar meramalkan bahwa Dardanella akan menjelma menjadi kelompok sandiwara revolusioner. Sesuai perkiraannya, pada dekade 1930-an kelompok ini berhasil merajai dunia panggung dan dikenal sampai ke luar negeri. Riwayat pertunjukannya menjelajah tiga benua: Asia, Eropa, dan Amerika Utara.
Piedro sang Pendiri
The Malay Opera Dardanella dibentuk di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 21 Juni 1926. Pendirinya adalah orang Rusia kelahiran Penang bernama Willy Klimanoff alias Piedro. Andjar Asmara menyebut jebolan sekolah Inggris yang fasih berbahasa Melayu itu sebagai sosok yang idealis.
Sejak kecil Piedro karib dengan dunia pertunjukan. Ayahnya adalah pemain sirkus yang cukup dikenal di Semenanjung Malaya dan Singapura. Ketika beranjak remaja, Piedro pindah ke Jawa dan sempat menjadi pemain akrobat. Pengetahuannya tentang manajemen pertunjukan dan kedisiplinan ala orang-orang sirkus yang dia dapat dari sang ayah menjadi bekalnya membangun Dardanella.
“Dalam satu sirkus disiplin yang paling utama. Saya tidak akan lupa bagaimana sesekali waktu dipaksa oleh ayah saya mengangkat tahi kuda dengan kedua tangan saya, karena kebetulan tidak ada sapu. Sebenarnya jijik, tapi apa boleh buat saya harus menurut,” tutur Piedro kepada Andjar.
Jejak sandiwara Melayu di Hindia Belanda bermula di sekitar era 1880-an, ketika rombongan teater bernama Pushi Indera Bangsawan asal Penang yang dipimpin Mamak Pushi dan Bai Kassim melakukan pertunjukan keliling dari Malaysia ke Batavia.
Kendati menawarkan bentuk hiburan baru bagi masyarakat Batavia, rombongan ini tidak lantas berhasil menjaring penonton. Menurut budayawan Jakob Sumardjo, pemakaian bahasa Melayu tinggi dan jenis cerita yang hanya dipahami bangsawan Melayu agaknya kurang berkenan di hati masyarakat Jawa kala itu. Usai pertunjukan keliling yang berantakan itu, Pushi Indera Bangsawan terpaksa tutup tirai selamanya.
“Khasanah musik dan lagu-lagu Melayu yang belum merasuk selera telinga penduduk Batavia atau karena repertoar ceritanya yang kemelayu-melayuan, maka rombongan ini mengalami kebangkrutannya di tanah rantau,” tulis Sumardjo dalam “Seratus Tahun Teater Modern Indonesia” yang terbit di harian Kompas (28/10/1990).
Bai Kassim lalu bangkit kembali dengan memunculkan modifikasi teater baru yang disebut komedi stambul. Dibantu orang Turki bernama Djaafar, dia membuat pementasan cerita-cerita berbau Timur Tengah dengan tata busana ala Kesultanan Turki. Dari itulah sebutan komedi stambul berasal. Stambul adalah pengucapan populer untuk Istambul, kota bersejarah di Turki.
Menurut Abduh Aziz dalam bukunya Dari Balik Layar Perak: Film di Hindia Belanda 1926-1942 (2019: 37), popularitas stambul naik bersamaan dengan munculnya film di Hindia Belanda. Untuk menfasilitasi keduanya, gedung-gedung yang berfungsi ganda sebagai tempat pertunjukan dan pemutaran film mulai dibangun di Batavia dan Surabaya.
Kelompok Dardanella lahir saat publik Hindia Belanda tengah gandrung pada pertunjukan sandiwara. Popularitas Dardanella perlahan naik hingga kemudian bersaing dengan kelompok Miss Riboet Orion pimpinan Tio Tek Djin yang lebih dulu berdiri.
"Mereka bersaing ketat, baik dalam naskah, nomor-nomor hiburan, maupun cara penyajian. Bahan naskah mereka kutip dari berbagai sumber," tulis Misbach Yusa Biran dalam Sejarah Film 1900-1950 (2009: 23).
Lakon-Lakon Nakal
Pada awal berdiri, jumlah anggota Dardanella belum diketahui secara pasti. Pun begitu kelompok ini tidak terlalu dikenal di luar Jawa Timur. Namanya perlahan mulai moncer pada paruh pertama dasawarsa 1930-an. Sambil menggelar pertunjukan keliling dari Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, sampai Maluku, Piedro merekrut talenta-talenta baru.
Pada 1927, Piedro merekrut seorang penari Jawa berusia 14 tahun bernama Sutidjah yang kelak tenar dengan nama panggung Dewi Dja. Setahun kemudian, berturut-turut bergabung penyanyi keroncong bernama Tan Tjeng Bok dan pemain peran bernama Tirtosari alias Astaman. Lalu, diikuti kakak beradik Frederik dan Eduard de Kock.
Njoo Cheong Seng, penyair yang pernah bekerja untuk Miss Riboet Orion, dan istrinya Fifi Young turut bergabung pula ke Dardanella pada 1932. Kala itu, pasangan seniman ini sudah berpengalaman dalam sandiwara keliling mancanegara. Para rekrutan top inilah yang kemudian menjadi kunci melambungnya nama Dardanella.
Dardanella memiliki sekira 150 anggota pada 1935. Mereka berasal dari berbagai latar belakang etnis dan karena itu perkumpulan sandiwara ini jadi populer di hampir seluruh kelas sosial Hindia Belanda. Orang-orang bumiputra, Tionghoa, Indoeropa, hingga Eropa totok mengenal setidaknya satu atau dua bintang panggung Dardanella.
Kemampuan Dardanella menyatukan keragaman itu pun ikut jadi perhatian beberapa tokoh pergerakan nasional. Haji Agus Salim, misalnya, pernah memuji Dardanella sebagai sebuah “kelahiran baru dan bukan reinkarnasi dari tahap-tahap tonil yang terdahulu.” Pujian dedengkot Sarekat Islam itu berhasil mengetuk semangat nasionalisme para anggota Dardanella.
“Orang-orang Dardanella bangga bahwa mereka ikut mempelopori persatuan bangsa, karena berbagai suku bangsa diwakili di dalamnya,” aku Dewi Dja kepada Ramadhan KH dalam biografi Gelombang hidupku: Dewi Dja dari Dardanella (1982: 69).
Kedudukan Dardanella semakin menonjol di mata kaum terpelajar semakin setelah Andjar Asmara bergabung pada 1930. Andjar ikut mengurus reklame pertunjukan Dardanella sekaligus juga menulis naskah. Menurut Misbach, dialah yang meninggikan mutu Dardanella dengan naskah-naskah orisinal dengan latar kehidupan masyarakat Hindia Belanda.
Cerita-cerita gubahan Andjar agak lebih berat dicerna karena memang dia maksudkan untuk memenuhi selera seni khalayak terpelajar. Lakon gubahan Andjar--seperti Perantaian 99, Haida, dan Dr. Samsi--kemudian menggeser lakon Timur Tengah yang sebelumnya biasa ditampilkan Dardanella.
Karya Andjar yang terkenal dan mampu menarik banyak penonton adalah lakon Dr. Samsi yang mulai dipentaskan pada akhir 1931. Kisah yang konon terinspirasi dari sandiwara Perancis berjudul La Femme X ini berhasil mengaduk perasaan kaum terpelajar Hindia Belanda kala itu.
Misbach menyebut Dardanella mengiklankan Dr. Samsi dengan dibubuhi label "Moderne Indische Roman" alias roman modern Hindia. Ia menceritakan seorang juru rawat bernama Leo van de Brink yang memeras dokter yang terlibat skandal asmara di sebuah rumah sakit. Tokoh utama perempuannya diperankan oleh Dewi Dja yang di kala itu terkenal sebagai aktor spesialis tragedi.
"Adapun peranan Leo van de Brink yang lagak lagunya menjengkelkan, tapi bisa menimbulkan tawa dipegang oleh Tan Tjeng Bok. Permainan Tan Tjeng Bok bagus," tulis Misbach.
Maka itu, pada tahap ini Dardanella boleh dikata telah menampilkan drama modern, bukan lagi pertunjukan gaya komedi stambul. Dardanella juga terbilang kelompok sandiwara yang berani. Mereka sering mementaskan lakon yang sarat ejekan terselubung bagi penguasa kolonial dan feodal seperti The Thief of Bagdad, Mark of Zorro, De graaf van Monte-Cristo, dan The Three Musketeers. Gara-gara lakon-lakon itu, pemerintah kolonial sempat mencurigai Dardanella sebagai sarang komunis.
Seturut amatan sejarawan Harry Poeze, penonton di negeri seberang pun pernah pula curiga pada kelompok sandiwara ini. Dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008: 284), Poeze menyebut Dardanella sempat dekat dengan orang-orang Nazi Jerman kala mereka tengah melakukan tur keliling Eropa pada 1938. Perhimpunan Indonesia sampai melayangkan kecaman karena Dardanella dianggap membiarkan dirinya tenggelam dalam propaganda kelompok fasis.
Riwayat Dardanella tamat jelang pecahnya Perang Dunia II. Ketika situasi politik Eropa mulai memanas, Dardanella sedang tur keliling Eropa. Mereka lalu buru-buru pindah ke Amerika pada akhir 1939. Mereka sempat menggelar pertunjukan perdana di New York dengan nama Devi Dja’s Bali dan Java Cultural Dancers sebelum akhirnya bubar.
Meski begitu, namanya tak lekang. Dardanella tetap dikenal orang sebagai kelompok sandiwara terbesar di era kolonial. Pada 1947, Sutan Sjahrir bahkan menyebut Dardanella sebagai duta kebudayaan Indonesia ketika berkunjung ke New York untuk memperjuangkan pengakuan internasional atas kedaulatan RI di PBB.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi