tirto.id - “Komik di Indonesia masih dianggap bastard, Guh. Dan dianggap sebagai sampah yang merusak moral masyarakat,” ucap Jan Mintaraga kepada Teguh Esha, penulis Ali Topan Anak Jalanan, pada suatu sore di rumah Jan di Jalan Haji Muhi, Jakarta Selatan. Kejadian itu dikisahkan Teguh Esha saat ia masih menjadi wakil pemimpin redaksi majalah Sonata, sekitar 1983.
Dalam lini masa sejarah komik di Indonesia, Jan Mintaraga adalah generasi setelah kelahiran buku komik pertama karya R.A. Kosasih dan kelompok Komik Medan yang dimotori Taguan Hardjo serta Zam Nuldyn.
Bersama Zaldy Armendaris dan Simon Iskandar, ia menjadi salah satu orang yang memulai genre komik roman pada 1965. Warsa itu adalah senjakala Orde Lama yang anti terhadap berbagai kebudayaan yang berbau Barat. Lewat komik-komik romannya, Jan menampilkan tokoh-tokoh yang “memberontak” terhadap kungkungan rezim.
“Karakter-karakter dalam komik karya Jan: anak muda dengan mata sayu, rambut bagian depan menutupi jidat, berjaket jeans, dan bersepatu kanvas. Begitulah pada era setelah tumbangnya Orde Lama yang menyikat semua ekspresi kebudayaan yang dianggap kontra revolusioner, komik semacam ini malah bisa dikatakan salah satu tonggak revolusi dalam kronik kebudayaan pop Indonesia,” tulis Bre Redana dalam Kompas, Desember 1999.
Agus Dermawan T. dalam Gatra edisi 20 Desember 1999 menyebut komik-komik Jan sebagai genre pasca-“ganyang Amerika” di Indonesia. Hal inilah menurutnya yang membuat komik-komik Jan mampu diterima pasar secara luas.
Komikus Gaya Amerika
Jan Mintaraga lahir di Wates, Yogyakarta pada 8 November 1941. Setelah menamatkan sekolah di SMA 9 Jakarta, ia sempat belajar di Institut Teknologi Bandung (ITB) meski tak selesai, dan di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI).
Seperti dikutip beberapa media, dalam membuat tokoh komiknya, Jan terpengaruhi oleh komikus Amerika, Frank Robbin, pencipta Johnny Hazard. Dalam Jurnal Kalam 16 (2000), Seno Gumira Ajidarma memperkuat pendapat itu dengan menyebut bahwa ciri yang sangat dikenal dari gaya Jan Mintraga adalah gaya Amerika.
Menurut Bre Redana, secara teknis karya Jan berbeda dengan karya-karya komikus terkenal sebelumnya. Ketika R.A. Kosasih tetap bersetia memakai sistem arsir, Jan justru membuat panel-panel dengan sistem block yang dasarnya hitam pekat.
Sementara menurut Amir Machmud dalam Suara Merdeka, karya Jan yang ekspresif kerap dibandingkan oleh para peminat komik dengan karya Teguh Santoso, komikus yang membuat serial komik Tambusa.
“Bedanya, ‘wajah’ para tokoh ciptaan Teguh lebih membumi dengan pemanfaatan ruang yang juga lebih detail,” tulisnya.
Secara popularitas, karya Jan memang bersaing dengan karya Ganesh TH, Djair, Teguh Santosa, Sim, dan Hans Jaladara. Para komikus itu adalah pembuat Si Buta dari Gua Hantu, Jaka Sembung, Tambusa, Buku Harian Monita, dan Panji Tengkorak—karya-karya yang sangat membumi dalam masyarakat Indonesia.
Bahkan menurut Agus Dermawan T., Jan mengharapkan karya-karyanya mampu melampaui komik wayang R.A. Kosasih, komik Taguan Hardjo, dan komik perang Sie Djin Koei karya Siauw Tik Kwie.
Para komikus yang semasa dengan Jan, berdasarkan catatan Seno Gumira Ajidarma dalam Jurnal Kalam 16, hidup pada zaman keemasan budaya pop saat hadirnya majalah Eres yang terbit pertama kali pada 8 September 1969. Seno menambahkan bahwa kehadiran Eres yang melambungkan para komikus setara dengan Horison bagi para sastrawan, dan Aktuil bagi para musisi pop.
“Majalah itu menjadi kiblat, dan untuk pertama kalinya perbincangan tentang komik di Indonesia berlangsung di majalah tersebut,” tulisnya.
Kena Razia Aparat
Meski transisi kekuasaan nasional membuat arah kebudayaan berubah, tapi Jan sempat menulis dalam majalah Eres No. 8 (1970) tentang kegagapan yang mengiringi masa peralihan tersebut dalam artikel bertajuk “Dalam Negara Modern Komik Mutlak Ada”. Seno menilai tulisan Jan ini sebagai manifesto para komikus.
Sikap Jan ini, jika dilihat dari catatan Alinda Rimaya dalam “Mencari Identitas Komik Indonesia”, dilatari represi aparat terhadap karya-karyanya. Pada 1967, komik-komik roman karyanya, juga karya Sim dan Zaldy yang tengah digandrungi remaja, tiba-tiba kena razia polisi karena dianggap terlalu banyak memuat adegan percintaan. Ini membuat popularitas komik-komik tersebut menurun.
Dalam tulisannya di majalah Eres, Jan mengungkapkan kekecewaannya terhadap perlakuan pemerintah Orde Baru yang melakukan sensor ketat terhadap komik karena dianggap akan merusak perkembangan jiwa anak-anak. Ia lalu mempertanyakan perlakuan pemerintah terhadap media lain selain komik yang ia anggap mempunyai daya rusak yang lebih hebat.
Kekuasaan Orde Baru memang dibangun di atas pedagogi moralisme. Dalam hal ini, penguasa dibayangkan sebagai "bapak" yang penuh nasihat dan rakyat diperlakukan layaknya "anak" yang senantiasa harus dibimbing. Saya Shiraishi mengungkapkan dengan baik moralisme negara Orde Baru dalam Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik (2001).
Pidato-pidato para pejabat, menurut Shiraishi, banyak diisi petuah moral yang sebenarnya bertendensi agar rakyat selalu tunduk kepada penguasa. Sementara kelakuan para pejabat justru berkebalikan dengan nilai-nilai moral yang mereka khotbahkan.
Dalam komik-komiknya, Jan Mintaraga menyuguhkan "realitas moral" yang berbeda dan berusaha mendobrak hipokrisi macam itu.
Lebih jauh ia bertanya dengan nada menggugat bahwa tidak semua buku, termasuk komik, mesti mempunyai unsur pendidikan di dalamnya. Sebagai contoh, Jan menyebut Romeo and Juliet karya Shakespeare, yang menurutnya tidak ada satu pelajaran pun dari kisah itu.
“Seperti Romeo and Juliet isinya adalah dua keluarga yang tak dapat didamaikan. Dua dendam! Jadi seniman bukanlah dilahirkan buat mendidik. Pendidikan sudah ada. Banyak guru-guru kita yang bijaksana. Nanti mereka merasa tak senang kalau ‘tukang komik’ ikut-ikutan mendidik,” tulisnya geram.
Mayoritas karya Jan Mintaraga dan komikus lain yang lahir setelah komik wayang populer seperti karya R.A. Kosasih, Oerip, dan Ardisoma, menurut Seno Gumira Ajidarma, adalah sebuah kondisi yang membenturkan nilai-nilai dari dua jenis komik tersebut.
“[...] ini menjelaskan sebuah situasi, bahwa komik adalah bagian dari nilai baru yang mengalami konflik dengan nilai lama. Memang, sebelumnya komik wayang sudah juga populer lewat R.A. Kosasih (Mahabharata, Ramayana) maupun Oerip dan Ardisoma (Wayang Purwa). Namun nilai-nilai dalam komik wayang adalah nilai klasik, dan komik itupun disebut komik klasik. Tidak ada sengketa nilai antara komik wayang dan masyarakat tradisional yang juga menganut nilai-nilai pewayangan,” tutur Seno.
Pada warsa itu, kehadiran komik memang mendapat pengawasan ketat. Setiap komik yang hendak diedarkan ke masyarakat mesti diperiksa dulu oleh aparat terkait. Jika dinyatakan lulus sensor maka komik tersebut akan dibubuhi stempel. Ini berlaku untuk semua komik termasuk komik tentang nikmat surga dan siksa neraka yang berhasil meneror anak-anak dengan gambar-gambar yang mengerikan.
Tetap Produktif Meski Kecewa
Di luar kekecewaannya terhadap sikap pemerintah yang masih gagap terhadap derasnya kehadiran komik, sepanjang hayatnya Jan Mintaraga amat produktif membuat komik dengan berbagai tema. Selain komik roman, ia juga membuat komik sejarah, komik legenda, komik silat, komik fantasi. Tak hanya itu, Jan juga membuat ilustrasi untuk cerita pendek dan cerita bersambung di sejumlah majalah, ilustrasi sampul cerita bergambar, buku pelajaran menggambar, dan lain-lain.
“Dalam blantika komik Indonesia, popularitas Jan memang menjulang, ia merupakan tonggak, karyanya menjadi ikon,” tulis Seno.
Namun popularitas tersebut rupanya tak mengurangi keresahan Jan. Di tahun-tahun akhir hayatnya, seperti ditulis Bre Redana dalam obituari di harian Kompas (16/12/1999), Jan masih mengerjakan bidang lain di luar komik.
“Betapa pun penting posisi Jan dalam sejarah komik Indonesia berikut kronik kebudayaan pop di sini, Jan tampak tetap resah. Dia kelihatannya ingin diakui juga sebagai pelukis. Selain kegiatannya di tahun-tahun terakhir hidupnya seperti membuat naskah sinetron, membikin story board untuk produksi film, Jan juga aktif melukis dengan cat minyak. Karya lukisnya dipamerkan antara lain dalam pameran di Balai Budaya Jakarta tahun 1989,” tulisnya.
Jan Mintaraga wafat pada 14 Desember 1999 di Pamulang, Banten. Titimangsa itu membuat keresahan-keresahannya berakhir. Warsa 1983, Teguh Esha sempat meredakan keresahan Jan yang kecewa karena komik masih dianggap bastard dan sampah yang merusak morak masyarakat.
Kepada kawannya itu, Teguh Esha berkata, “Yang bastard itu mereka, Jan, yang sembarangan memvonis.”
==========
Artikel ini telah dikoreksi berdasarkan keterangan salah satu anak Jan Mintaraga melalui akun Twitter @yoyen. Sebelumnya tertulis Jan Mintaraga lahir di "Yogyakarta pada 8 November 1942" dan wafat "pada 14 Desember 1999". Kami menggantinya dengan "Wates, Yogyakarta pada 8 November 1941" dan "pada 14 Desember 1999 di Pamulang, Banten".
Editor: Ivan Aulia Ahsan