tirto.id - Gunung Agung di kawasan Karangasem, Bali, meletus pada Kamis (10/1/2019) malam kemarin, saat ini statusnya masih Siaga atau Level III. Sejarah mencatat, Gunung Agung juga pernah erupsi pada 1963 silam dan menelan ribuan korban jiwa serta menimbulkan kerusakan yang cukup parah.
Erupsi Gunung Agung sebenarnya sudah pernah terjadi sejak awal abad ke-17. Namun, sebagian warga Bali yakin bahwa gunung sakral ini tidak akan mencelakai mereka. Terlebih di kawasan itu terdapat Puri Besakih yang menjadi tempat peribadatan untuk menggelar upacara adat terkait Gunung Agung dan alam sekitarnya.
Salah satu ritual tersebut adalah Eka Dasa Rudra, upacara khusus yang dihelat setiap 100 tahun sekali. Dan, siapa yang menyangka, siklus Eka Dasa Rudra bertepatan dengan hari-hari menjelang meletusnya Gunung Agung pada 1963 itu.
Eka Dasa Rudra merupakan upacara besar dan istimewa. Ribuan masyarakat Bali dan para pendeta Hindu berbondong-bondong menuju Puri Besakih di lereng gunung. Gunung Agung terbatuk-batuk dan sesekali melontarkan abu, pasir, juga kerikil. Namun, nyali umat untuk tetap melaksanakan ritual tidak surut.
“Upacara berlangsung selama satu bulan dan persiapan dilakukan selama tiga bulan sebelumnya, di tengah letusan dan saat terjadi tanda-tanda akan meletus,” kenang Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet, tokoh adat Bali, dikutip dari BBC.
Letusan Dahsyat Gunung Keramat
Dari hari ke hari, Gunung Agung semakin aktif. Pemerintah memberikan peringatan agar Pura Besakih dikosongkan mulai tanggal 9 Maret 1963. Warga yang masih tinggal di sekitarnya pun harus segera mengungsi.
Dentuman keras sebenarnya sudah terdengar pada 18 Februari 1963, disertai asap tebal. Enam hari berselang, aliran lahar berlangsung terus-menerus selama beberapa pekan. Namun, masih ada orang yang tetap bertahan di Besakih untuk merampungkan Upacara Eka Dasa Rudra.
Tanggal 17 Maret 1963, langit Pulau Dewata mendadak gelap, matahari sama sekali tidak tampak di pagi itu. Terdengar gemuruh dan menggelegar dari puncak gunung. Orang-orang mulai panik dan mengungsi. Desas-desus kiamat bakal segera tiba menambah ketegangan saat itu.
Pada hari itu, Gunung Agung menyemburkan abu vulkaniknya ke udara, setinggi hingga 10 kilometer. Inilah puncak erupsi. Letusan masih terjadi beberapa kali dalam pekan-pekan berikutnya. Gunung memuntahkan lahar dingin di sepanjang lereng selatan, tenggara, dan utara, yang menghancurkan banyak bangunan
Riset M.T. Zen dan Djajadi Hadikusumo bertajuk “Preliminary Report on the 1963 Eruption of Mountain Agung in Bali” dalam Bulletin Volcanologique (1964) menyebutkan, tidak kurang dari 1.500 orang meregang nyawa, belum termasuk yang luka-luka, juga rumah, ternak, dan tanaman yang hangus terbakar, serta ratusan unit bangunan yang rusak parah.
Editor: Iswara N Raditya